MAKALAH METODE FATWA BANK SYARI’AH (staimafa pati pbs)

MAKALAH
METODE FATWA BANK SYARI’AH
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Metode Fatwa Bank Syari’ah
Dosen pengampu: Jamal Ma’mur, M.A

Image result for staimafa

DISUSUN OLEH:
AMIROTUN NIKMAH (11.21.00347)
LUCY ZULIES ULFIANA (11.21.00324)


PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARI’AH
TAHUN AKADEMIK 2013/2014
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MATHALI’UL FALAH
MARGOYOSO PATI


 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada masa awal perkembangan Islam, Rasulullah s.a.w. telah menghadapi berbagai persoalan-persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan keagamaan dan keduniaan, terutama di kalangan bangsa Arab Makkah. Bersamaan dengan itu, Allah menurunkan wahyu sebagai tanda kemukjizatan Rasulullah s.a.w. penutup para Nabi. Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah s.a.w. mengeluarkan fatwa-fatwa sebagai petunjuk, pedoman dan panduan bagi umat Islam dalam memberikan penjelasan, jawaban dan alternatif terhadap persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu akidah, sosial, ekonomi, adat, budaya, politik dan lain-lain. Dengan demikian, kehidupan terus berjalan di bawah ajaran (hukum-hukum ) dan bimbingan agama Allah.
Setelah wafatnya Nabi s.a.w, dengan sistem sentralisasi kekuasaan (urusan dunia dan agama), maka yang mengambil alih kekuasaan berikutnya (urusan dunia/politik) adalah para khalifah yang bertindak sebagai eksekutif dan legislatif sekaligus, terutama yang berkaitan dengan urusan-urusan duniawi.
Ini menunjukkan imstitusi fatwa secara tidak langsung telah dapat dibangun. Para khulafa Rasyidin adalah penguasa-penguasa yang berhak mengeluarkan fatwa untuk memberikan jawaban atau suatu alternatif kepada isu-isu terbaru demi memastikan kerelevanan syariat islam dalam memperjuangkan kemaslahatan umat yang semakin luas.
Pada  masa modern ini seluruh umat manusia berpacu dalam segala bidang kehidupan baik bersifat duniawi maupun ukhrawi. Untuk  keseimbangan antara tujuan duniawi dengan tujuan ukhrawi diperlukan adanya pengetahuan yang luas, baik pengetahuan umum maupun pengetahuan agama Islam.
Dengan ilmu pengetahuan tersebut manusia akan mengalami kemajuan, kebahagiaan dan kesejahteraan pada dirinya apabila ilmu pengetahuan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Akan tetapi sebaiknya jika tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya, karena ilmu tersebut digunakan untuk kezaliman, maka malapetaka akan selalu menimpa pada setiap insan di bumi ini.Bagi umat Islam harus mengetahui, mempelajari dan menggali ajaran-ajaran Islam secara mendetail, dengan demikian umat Islam tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran yang sesat dan zalim.
Fatwa hukum sebagai hasil pemikiran para ahli agama Islam tentu memberikan warna dan corak yang pasti tentang ajaran al-Quran dan hadits, sehingga umat Islam akan mengetahui secara persis seluk beluk ajaran Islam dengan segala keistimewaannya.
Dalam tradisi Islam, hukum  Islam  menempati posisi teratas dalam kaitannya dengan  dinamika  perkembangannya.  Dengan seperangkat metodologinya yang begitu kuat, ia dapat merespons berbagai perkembangan yang terjadi di dunia kontemporer  saat  ini. Diasumsikan bahwa hukum Islam dapat  berubah karena adanya perubahan faktor-faktor seperti kondisi geografis, waktu, adat kebiasaan, politik, sosial-budaya, dan paradigma pengetahuan.
Di antara pranata hukum Islam yang ikut mengalami perkembangan karena  adanya  perkembangan-perkembangan  ini adalah fatwa. Perubahan-perubahan tersebut  dalam realitasnya menyebabkan terjadinya perubahan dalam model pemberian fatwa, materi dan juga media transmisinya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian fatwa dan macam- macamnya?
2.      Apa syarat serta unsur- unsur pembentuk fatwa?
3.      Bagaimana etika dalam berfatwa?


4.       
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian dan Ketentuan Fatwa
Ifta’ berasal dari kata  ا فتى, yang artinya memberikan penjelasan. Secara sederhana ifta’ atau berfatwa dapat diartikan usaha memberikan penjelasan tentang hukum syara’ oleh ahlinya kepada orang yang belum mengetahuinya. Fatwa adalah hukum syara’ yang disampaikan oleh mufti kepada mustafti’ .[1]
Makna fatwa menurut syar’i adalah penjelasan hukum syara’ dalam permasalahan tertentu sebagai jawaban dari pihak lain yag bertanya. [2]
Hakikat atau ciri- ciri tertentu dari berfatwa adalah:
a.       Ia adalah usaha untuk memberikan penjelasan.
b.      Penjelasan yang diberikan itu adalah hukum syara’ yang diperoleh melalui hasil ijtihad.
c.       Yang memberikan penjelasan itu adalah orang yang ahli dalam bidang yang dijelaskannya itu.
d.      Penjelasan itu diberikan kepada orang yang bertanya yang belum mengetahui hukumnya.
Rukun ifta’ antara lain:
a.       Usaha memberikan penjelasan yang disebut ifta’.
b.      Orang yang menyampaikan jawaban hukum terhadap orang yang bertanya yang disebut mufti.
c.       Orang yang meminta penjelasan hukum kepada yang telah mengetahuinya disebabkan oleh ketidaktahuannya tentang suatu hukum kejadian (kasus) yang telah terjadi yang disebut mustafti.
d.      Materi jawaban hukum syara’ yang disampaikan oleh mufti kepada mustafti yang disebut fatwa.[3]
B.     Fungsi Fatwa
1.      Menyelesaikan masalah umat.
2.      Membimbing dan mendidik umat.
3.      Mendinamisir pemikiran hukum Islam agar mampu merespon secara dinamis problematika aktual.
4.      Menjadikan hukum Islam sebagai ruh umat.
5.      Memfungsikan hukum Islam sebagai tools of social enggenering (alat perekayasa sosial).
C.    Otoritas Fatwa
Proses  positivisasi  fatwa  atau  transformasi  fatwa  menjadi regulasi  sehingga  berkekuatan  mengikat  publik.  Proses  transformasi ini terjadi  di  negara  yang  menjadikan  Islam  sebagai  dasar  negara.  Negara demikian  memiliki otoritas  fatwa resmi,  sehingga produk  fatwa dari lembaga atau  perorangan  yang  memiliki  otoritas  itu  langsung  berkekuatan  mengikat.
Sementara  di  negara  yang  menganut  model  negara  kebangsaan (nation-state), seperti  Indonesia,  meski  mayoritas  penduduknya  muslim,   memerlukan  fase peralihan dari fatwa menjadi regulasi yang dikeluarkan lembaga berwenang Karena fatwa pada dasarnya tidak berkekuatan mengikat.[4]
Penetapan  pihak  mana  yang  memegang  otoritas  fatwa,  dalam  banyak praktek  regulasi  di  sejumlah  negara,  berada  dalam  tarik  menarik  antara prinsip  legalitas,  kompetensi,   dan  independensi.  Prinsip  legalitas  diperlukan, agar  fatwa  itu  memiliki  kekuatan  mengikat.  Agar  mengikat,  maka  beberapa negara,  seperti  Pakistan,  Sudan,  Iran,  dan  Malaysia,  membentuk  dewan  atau majelis  yang  memiliki  otoritas  fatwa,  dengan  cara  disatukan  dalam  lembaga resmi, seperti bank sentral, selaku badan hukum publik.
Isu  transformasi  fatwa  menjadi  regulasi  yang  mengikat  ini  relevan diulas  karena  fatwa  pada  dasarnya  tidak  mengikat  publik.  Fatwa  hanya mengikat  pemberi  fatwa  dan  peminta  fatwa.   Menurut  teori  hukum  Islam, hanya  ada  dua  produk  hukum  Islam  yang  mengikat  publik:  qadha'  (putusan pengadilan) dan qanun (undang-undang). Dalam praktek lembaga keuangan Islam, diperlukan ketentuan hukum agama  yang  mengikat.  Maka  itu,  di  Indonesia,  terjadi  proses  transformasi fatwa  keluaran  MUI,  yang  pada  dasarnya  tidak  mengikat,  menjadi  Peraturan BI, sehingga berkekuatan hukum mengikat.
D.    Unsur pembentuk Fatwa
Sistem dan prosedur penetapan fatwa adalah merupakan manhaj dalam menetapkan fatwa (manhaj fi itsbat al-fatwa) yang diharapkan mampu memberikan jawaban terhadap setiap persoalan yang muncul. Karena itu, pendekatannya harus dilakukan melalui nash qath’i, qauli, dan manhaji. Melalui ketiga pendekatan itu, setiap persoalan yang muncul diharapkan akan dapat terjawab.
Metode penetapan fatwa yang digunakan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan nash qath’i, pendekatan qauli (pendapat para mujtahid) dan pendekatan manhaji yakni manhaj yang ditempuh oleh para ulama salaf dan kholaf.
1.      Pendekatan nash qath’i dilakukan dengan berpegang kepada nash al-Qur’an atau al-Hadits untuk sesuatu masalah apabila masalah yang ditetapkan terdapat dalam nash Al-Qur’an ataupun al-Hadits secara jelas. Sedangkan apabila tidak terdapat dalam nash Al-Qur’an maupun al-Hadist maka penjawaban dilakukan dengan pendekatan qauli dan manhaji.
2.      Pendekatan qauli dilakukan apabila jawaban dapat dicukupi oleh pendapat dalam al-kutub al-mu’tabaroh dan hanya terdapat satu pendapat (qaul), kecuali jika qaul yang ada dianggap tidak cocok lagi untuk dipegangi karena ta’assur atau ta’adzdzur al-’amal atau shu’ubah al-’amal, sangat sulit untuk dilaksanakan, atau karena illat-nya berubah. Dalam hal ini perlu dilakukan telaah ulang (i’adatun nazhar). Melakukan telaah ulang merupakan kebiasaan para ulama terdahulu. Karena itu mereka tidak terpaku terhadap teks-teks hukum yang ada bila teks-teks tersebut sudah tidak tepat lagi untuk dipegangi. Apabila jawaban tidak dapat dicukupi oleh nash qath’i dan pendapat yang ada dalam al-kutub al-mu’tabarah, maka jawaban dilakukan melalui pendekatan manhaji.
Pendekatan manhaji dilakukan melalui ijtihad jama’i, ijtihad kolektif, dengan menggunakan metode: al-jam’u wat taufiq, ilhaqi dan tarjihi.Dalam masalah yang terjadi khilafiyah di kalangan imam madzhab maka penetapan fatwa didasarkan pada hasil usaha penemuan titik temu diantara pendapat-pendapat madzhab melalui metode al-jam’u wa al-taufiq. Jika usaha al-jam’u wa al-taufiq tidak berhasil maka penetapan fatwa dilakukan melalui metode tarjihi, yaitu dengan menggunakan metode muqaran al-madzahib dan dengan menggunakan kaedah-kaedah ushul fiqh al-muqaran.
Dasar Penetapan Fatwa
Penetapan fatwa didasarkan pada Al-Qur’an, As Sunnah/Hadits, Ijma’ dan Qiyas atau ijtihad. Karena keempat hal tersebut adalah merupakan sumber hukum syara’ yang disepakati oleh jumhur ulama, sedangkan yang lainnya seperti al-istihsan, al-istishlah, sadd al dzari’ah dan lain sebagainya diperselisihkan keberadaannya sebagai sumber hukum oleh jumhur ulama. Walaupun begitu, dalam pendekatan manhaj, khususnya melalui metode istinbath, istihsan, istishlah, dan saddu al-dzari’ah, dapat dijadikan metode dalam memberikan jawaban terhadap suatu masalah disamping qiyas. Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri dalam menetapkan hukum/syari’ah karena tidak membutuhkan pihak lain dalam menetapkan suatu hukum. Sedangkan qiyas tidak dianggap sebagai sumber hukum yang berdiri sendiri karena membutuhkan kepada sumber hukum yang ada dalam Al-Qur’an, As-Sunnah dam Ijma’ dalam menetapkan hukum dan memerlukan untuk mengetahui ‘illat hukum asalnya.
E.     Syarat- Syarat dalam berfatwa
a.       Mufti
1.      Syarat umum, yaitu : muslim, dewasa sempurna akalnya.
2.      Syarat keilmuan, yaitu : bahwa ia ahli dan mempunyai kemampuan untuk berijtihad. Sehingga ia harus mempunyai syarat- syarat yang berlaku bagi seorang mujtahid antara lain mengetahui dalil- dalil sam’i dan mengetahui secara baik dalil- dalil akli.
3.      Syarat kepribadian, yaitu adil dan dapat dipercaya.
4.      Syarat pelengkap, yaitu dalam kedudukannya sebagai ulama panutan yang oleh al- Amidi diuraikan antara lain: dengan berfatwa ia bermaksud untuk mendidik untuk mengetahui hukum syara’bersifat tenang (sakinah) dan berkecukupan. Ditambah sifat lain oleh Imam Ahmad menurut yang dinukilkan oleh ibn al-Qayyim yaitu: mempunyai niat dan i’tiqad yang baik, kuat pendirian dan dikenal ditengah umat.[5]
b.      Mustafti
Kewajiban yang harus terpenuhi bagi seorang pemohon fatwa (mustafti) adalah sebagai berikut:
1.      Mengajukan pertanyaan yang ada manfaatnya.
2.      Mintalah fatwa pada keyakinan hati.
3.      Memperjelas fatwa berikut batasannya.[6]

F.     Jenis- jenis Fatwa
1.      Fatwa perorangan maksudnya  ialah hasil penelitian dan penelaahan individu terhadap dalil dan hujjah yang akan dijadikan dasar berpijak dalam perumusan sesuatu fatwa. Para ulama Islam pada umumnya mengikuti bahwa hasil ijtihad individu yang menghasilkan fatwa individu pula, lebih banyak memberi warna terhadap fatwa kolektif. Hal ini di dunia fikih Islam selama ini ijtihad perorangan dijadikan landasan ijtihad kolektif yang disebut jalan fikiran individu ( mazhab).
2.       Fatwa kelompok (kolektif) adalah fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad yang dilakukan oleh kelompok para pakar terhadap persoalan tertentu yang umumnya menyangkut kepentingan luas.[7] Maksudnya ialah fatwa yang dihasilkan oleh ijtihad sekelompok orang, tim atau panitia yang sengaja dibentuk. Pada lazimnya dihasilkan melalui diskusi dalam lembaga ilmiah yang terdiri atas para personal yang memiliki kemampuan tinggi dalam bidang fikih dan berbagai ilmu lainnya.
3.      Fatwa Tarjih.
Maksudnya  Fatwa kolektif yang dihasilkan oleh sekelompok orang atau suatu tim yang memilah-milah dan menyeleksi hujjah dari berbagai pihak atau berbagai mazhab, kemudian ditetapkan yang paling kuat argumentasinya. Menurut Yusuf Qardhawi bahwa tolok ukur tarjih :
a.       Pendapat itu lebih cocok dengan zaman sekarang.
b.      Lebih banyak mencerminkan rahmat kepada manusia.
c.       Pendapat itu dekat dengan kemudahan yang diberikan oleh syara`
d.      Pendapat itu lebih utama dalam merealisasi maksud-maksud syara`, maslahat makhluk dan usaha untuk menghindari kerusakan dari manusia.
4.      Fatwa Kreatif (fatwa insya`)
Maksudnya  ialah mengambil konklosi hukum baru dalam suatu permasalahan yang belum pernah dikemukakan oleh ulama terdahulu, baik masalah itu baru maupun lama.
G.    Etika Berfatwa Dalam Hukum Islam
1.      Menjauhi otoritarianisme
Dalam berfatwa seorang mufti harus menghindari maksud dan tujuan sepihak terhadap perumusan dan pengambilan keputusan fatwa-fatwa misalnya karena kepentingan politiknya. Kepentingan politik ini nantinya akan menimbulkan pertikaian politik ideologis yang lebih tampak dari pertikaian penafsiran tersebut tentang kekuasaan, gender, pensekatan dan “kekerasan” ideologi, kepemimpinan  perempuan, partai Islam, kekuasaan negara Islam, keharusan hukum Islam dan kekafiran. Isu-isu tersebut dipertahankan dengan menggunakan teks-teks hukum Islam klasik yang sebenarnya telah berhenti berabad-abad silam dengan tanpa melakukan pengkajian secara metodologis yang akurat. Maka yang terjadi bukan mendapatkan solusi, melainkan bentuk penjajahan baru terhadap manusia atas nama hukum Islam, yang dalam hal ini Tuhan. Otoritarianisme membenarkan tindakan sewenang-wenang serta betapa sempit dan rigid-nya ulama-ulama dalam menyimpulkan pembacaan mereka terhadap teks-teks (al-Qur’an dan hadis) dalam memahami dan menginterpretasikan teks terhadap persoalan-persoalan kontemporer.
2.      Mempertimbangkan tradisi mustafti
Dalam berfatwa seorang mufti harus mempertimbangkan tradisi audien. Para ulama terdahulu mengingatkan bahwa dalam berfatwa seorang mufti tidak boleh terpaku pada teks-teks yang terdapat dalam kitab. Jika seorang datang dari daerah yang berbeda tradisinya dengan mufti, maka mufti harus menanyakan dan memutuskan berdasarkan tradisi daerah mustafti bukan tradisi mufti.
3.      Fatwa harus bersifat moderat
Kita harus hati-hati dalam mengeluarkan sebuah fatwa baik individual maupun organisasi. Fatwa dalam sejarah Islam memang memegang peranan penting dan mulia dalam menjawab persoalan-persoalan agama –umumnya persoalan-persoalan fiqh. Fatwa itu sendiri merupakan pendapat mengenai masalah-masalah agama yang bisa benar bisa juga salah –karena merupakan bagian dari ijtihad itu sendiri. Bagi umat Islam sekarang ini rasanya sulit untuk menerima “absolutisme fatwa”. Pengeluaran fatwa tidak hanya memerlukan ilmu yang memadai tentang al-Qur’an dan hadis, tetapi juga tentang sejarah, konteks dan bahasa zaman. Karena itu fatwa bisa saja bersifat moderat.
4.      Mengikuti Bahasa hati Bukan Hawa Nafsu
Seorang mufti ketika akan berfatwa harus mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan yang dimiliki, bahasa hati dan tidak mengandalkan hawa nafsu. Rasulullah mengingatkan agar seorang mufti menanyakan kepada hati nuraninya (istafti qalbaka) sebelum berfatwa demi menghindari ganjalan, keragu-raguan dan dorongan hawa nafsu. Karena di antara hal yang sangat membahayakan dan menggelincirkan mufti ialah mengikuti dan memperturutkan hawa nafsunya dalam berfatwa, baik hawa nafsunya sendiri maupun hawa nafsu orang lain, khususnya keinginan atau pesanan penguasa dan pejabat yang diharapkan pemberiannya.
5.      Mempermudah, tidak Mempersulit
Seorang mufti harus memegang prinsip mempermudah jawaban mustafti bukan mempersulit, hal ini didasarkan pada dua alasan:
a.       Bahwa syari’at dibangun atas dasar memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan bagi manusia.
b.      Karakteristik zaman yang terus berubah. Dalam hal ini Ibnu Qayyim menjelaskan: “Tidak bias dipungkiri adanya perubahan fatwa (hukum) karena adanya perbedaan waktu, tempat, keadaan, niyat dan tradisi”. [8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Makna fatwa menurut syar’i adalah penjelasan hukum syara’ dalam permasalahan tertentu sebagai jawaban dari pihak lain yag bertanya. Fungsi fatwa antara lain: Menyelesaikan masalah umat, Membimbing dan mendidik umat, mendinamisir pemikiran hukum Islam agar mampu merespon secara dinamis problematika aktual, menjadikan hukum Islam sebagai ruh umat, memfungsikan hukum Islam sebagai tools of social enggenering (alat perekayasa sosial). Proses  positivisasi  fatwa  atau  transformasi  fatwa  menjadi regulasi  sehingga  berkekuatan  mengikat  publik.  Proses  transformasi ini terjadi  di  negara  yang  menjadikan  Islam  sebagai  dasar  negara.  Negara demikian  memiliki otoritas  fatwa resmi,  sehingga produk  fatwa dari lembaga atau  perorangan  yang  memiliki  otoritas  itu  langsung  berkekuatan  mengikat. Sementara  di  negara  yang  menganut  model  negara  kebangsaan (nation-state), seperti  Indonesia,  meski  mayoritas  penduduknya  muslim,   memerlukan  fase peralihan dari fatwa menjadi regulasi yang dikeluarkan lembaga berwenang Karena fatwa pada dasarnya tidak berkekuatan mengikat. Jenis- jenis fatwa meliputi: fatwa kelompok, perorangan, tarjih, dan kreatif. Sedangkan etika dalam berfatwa itu harus menjauhi otoritarianisme, mempertimbangkan tradisi mustafti, fatwa harus bersifat moderat, mengikuti bahasa hati bukan hawa nafsu, mempermudah, tidak mempersulit.

 
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid 2.
Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas, 2008).
Masnun Tahir, Menimbang Etika Berfatwa dalam Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: ULUMUDDIN, 2009), Vol. V.
Wahiduddin  Adams,   Fatwa-Fatwa Hukum  MUI  (Pola  Terserapnya  Dalam  Peraturan  Perundang-Undangan  1975-1997), disertasidi UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, 5 Juli 2002.
Yusuf al-Qardhawi, Mengapa Fatwa Ulama Digugat?, (Bandung: Pustaka Setia, 2006).






[1] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid 2, hlm. 429.
[2]Yusuf al-Qardhawi, Mengapa Fatwa Ulama Digugat?, (Bandung: Pustaka Setia, 2006),hlm.11
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid 2, hlm. . 429 – 430.
[4] Wahiduddin  Adams,   Fatwa-Fatwa Hukum  MUI  (Pola  Terserapnya  Dalam  Peraturan  Perundang-Undangan  1975-1997), disertasidi UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta, 5 Juli 2002.
[5]Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2008), jilid 2, hlm. 430-431.

[6] Yusuf al-Qardhawi, Mengapa Fatwa Ulama Digugat?, (Bandung: Pustaka Setia, 2006),hlm.48-56
[7] Ma’ruf Amin, Fatwa Dalam Sistem Hukum Islam, (Jakarta: Elsas 2008), hlm.36

[8] Masnun Tahir, Menimbang Etika Berfatwa dalam Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: ULUMUDDIN, 2009), Vol. V, hlm.394-397


EmoticonEmoticon