MAKALAH FIQH MAWARIS TENTANG ‘AUL, RADD DAN WASIAT WAJIBAH (SANTRI21)



‘AUL, RADD DAN WASIAT WAJIBAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah                  : Fiqh III
Dosen pengampu          : Ali Muhtarom, M.H.I

Disusun Oleh:
Fatchurahman Ali              (2021114145)
Saras Prabowo S               (2021114113)
Titik                                   (2021114)

KelasF

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PEKALONGAN
2016

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris  harus mendapatkan harta warisan sesuai dengan bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya. Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang ‘aul, radd yaitu ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta dan wasiat wajibah.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.      Apakah yang dimaksud dengan ‘Auldan bagaimana penyelesaiannya?
2.      Apakah yang dimaksud dengan Radd dan bagaimana penyelesaiannya?
3.      Apakah yang dimaksud dengan Wasiat Wajibah?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian A’ul
‘Aul artinya meningkat atau bertambah. Maksudnya adalah meningkatkan (membesarkan) angka asal masalah sehingga menjadi sama dengan jumlah angka pembilang dari bagian ahli waris yang ada.[1]
B.       Sejarah Penetapan‘Aul
Pada masa Rasulullah SAW. dan kekhalifahan Abu Bakar Ash Shiddiq peristiwa Aul belum pernah terjadi. Aul pertama kali terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab.Di dalam sejarah dijelaskan, Pada suatu hari khalifah Umar bin Khattab ra. Didatangi oleh seorang sahabat yang menanyakan tentang masalah kematian seseorang, di mana ada seorang wanita meninggal dunia dengan meninggalkan seorang suami dan dua orang saudara perempuan sekandung. Menurut ketentuan yang berlaku, seorang suami mendapatkan bagian 1\2 (seperdua) dan dua saudara perempuan sekandung mendapat bagian 2\3 (dua pertiga). Atas pendapat dari Zaid bin Tsabit dan Abbas bin Abdul Muthalib memberikan pendapatnya agar masalah ini di-aul-kan. Atas usul ini, Umar bin Khattabmenetapkan ‘Aul.[2]
Adapun cara penyelesaiaan kasus ‘aul ini ialah menentukan bagian masing-masing ashabul furudh, sekaligus menetukan asal masalah. Kemudian dicari porsi mereka masing-masing dan semua mereka dijumlahkan. Selanjutnya jumlah dari porsi mereka dijadikan menjadi asal masalah baru.

Contoh :   Suami                                                  : 1/2
Dua saudara perempuan                      : 2/3
Asal masalah dari penyebutnya (2 dan 3) adalah 6
Maka cara pembagiaannya adalah :
Suami                                                  : 1/2 x 6 = 3
Dua saudara perempuan                      : 2/3 x 6 = 4
Jumlah ............................................................  = 7
Angka 7 dijadikan sebagai asal masalah yang baru maka
Suami                                                  : 3/7 dari jumlah harta warisan.
Dua saudara perempuan                      : 4/7 dari jumlah harta warisan.[3]
Pendapat kedua adalah pendapat Abdullah bin Abbas yang tidak membenarkan ‘aul, hanya saja pendapat beliau tidak dikemukakannya ketika Umar bin Khattab menetapkan ‘aul tersebut. Setelah kekuasaan Umar berakhir, barulah muncul fatwa dari Abdullah bin Abbas yang bertentangan dengan fatwa dari Umar bin Khttab dan Abbas bin Abdul Muthalib (Ayah dari Abdullah).
Pendapat jumhur ulama mengikuti pendapat yang paling kuat dan lebih adil, yaitu dengan menyamakan kedudukanpara ahli dalam pengurangan bagian mereka secara proporsional. Jadi pendapat Umar bin Khattab tersebut menjadi rujukan.
C.      Asal Masalah yang Mengalami ‘Aul
Menurut penyelidikan para ulama Faraidh, asal masalah yang dapat terjadi ‘aul adalah asal masalah 6, 12, 24. Tiap-tiap Asal Masalah tersebut mempunyai cara ‘aul tersendiri. Asal masalah 6 bisa di aul kepada 7, 8, 9, 10, dan tidak lebih dari itu. sedangkan asal masalah 12 bisa di-aul-kan kepada 13, 15, 17 dan asal masalah 24 hanya bisa di ‘aul kepada 27.



D.    Contoh ‘Aul dan Cara Penyelesaiannya
Dalam catatan sejarah ada dua kasus ‘Aul yang terkenal dikalangan ulama’, yaitu :
1.      Ahli Waris              Bagian AM          Harta Warisan             Penerimaan
                                            6              Rp50.000.000,-
Suami                      1/2       3          3/10 x 50.000.000           15.000.000
2 Sdr PerKandung    2/3     4          4/10 x 50.000.00020.000.000
2 Sdr Per Seibu       1/3       2          2/10 x 50.000.000        10.000.000
Ibu                            1/6     1          1/10 x 50.000.000       5.000.000
Jumlah                                10                                                50.000.000
Penetapan tersebut diatas pernah dilakukan oleh Qadi (hakim) Syuraih, sehingga kasus ini terkenal dengan nama masalah (kasus) Syuraihiyah.
2.      Ahli Waris              Bagian AM      Harta Warisan            Penerimaan
                                            24              Rp.54.000.000,-
Istri                         1/8       3          3/27x 54.000.000.     6.000.000
2 AnakPer                 2/3     16       16/27 x 54.000.000.   32.000.000
Ibu                          1/6       4          4/27x 54.000.000.     8.000.000
Ayah                         1/6     4          4/27 x 54.000.000.   8.000.000
Jumlah                                27                                            54.000.000
Penetapan tersebut pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dalam pidatonya di atas mimbar Kufah, untuk menjawab pertanyaan dari Haidar, sehingga kasus ini terkenal dengan nama masalah (kasus) Minbariyah.[4]


E.     Pengertian Radd
Radd adalah membagi sisa harta peninggalan kepada para ahli waris sesuai dengan bagiannya masing-masing. Masalah radd adalah kebalikan dari masalah ‘aul/yaitu dimana jumlah semua bagian ahli waris ternyata lebih sedikit dari pada jumlah harta warisa yang ada (jumlah harta warisan lebih banyak dari pada jumlah bagian-bagian ahli waris.
Tidak terjadi radd dalam suatu masalah, kecuali bila terdapat tiga rukun dibawah ini:
1.      Adanya Ashhab  Al-Furudh saja.
2.      Tidak adanya ahli Al-‘Ashabah sama sekali.
3.      Adanya sisa harta waris.
Yang tidak bisa mendapatkan Ar-Radd hanyalah suami atau istri ketika ada ahli waris An-Nasabiyyah ‘hubungan nasab’ yaitu Al-Ashlu Al-Warits, Al-Far’u Al-Warits, Al-Hawasyi dan Al-A’mam.[5]
F.       Perselisihan Seputar Radd
Dalam masalah radd ini, ada beberapa orang diantaranya Ulama mutaqaddimin yang tidak menyetujui, yaitu Zaid bin Tsabit, Az Zuhry, Maliki, Syafi’i dan Ibnu Hazm. Alasan mereka ialah bahwa besarnya bagian-bagian para ahli waris telah ditetapkan secara pasti oleh nash. Adanya radd berarti merubah ketetapan nash. Oleh karena itu apabila ada kelebihan harta warisan, tidak perlu dikembalikan lagi kepada ahli waris, tetapi diserahkan ke baitul mal untuk kebutuhan kaum muslimin. Menurut Imam Syafi’i, jika kas Negara tidak berfungsi, maka sisa sisa itu boleh diberikan kepada ashabul furud.[6]
Kelompok Utsman bin Affan mengakui adanya radd dalam pembagian harta peninggalan dan diserahkan kepada semua ahli waris kecuali suami-istri. Pendapat ini dipegang oleh Imam Hanafi, Ahmad bin Hambal dan fuqaha mutaakhirin dari madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah. [7]
Semua ahli waris yang mempunyai bagian tertentu (ashabul furud), kecuali suami istri, berhak menerima kembali sisa harta yang masih ada :
1.    Anak perempuan.
2.    Anak perempuan dari anak laki-laki.
3.    Saudara perempuan seayah dan seibu (saudari kandung).
4.    Saudari perempuan seayah.
5.    Ibu nenek sahihah.
6.    Saudara perempuan seibu.
7.    Saudara laki-laki seibu.
Mengenai ayah dan kakek meskipun termasuk ahli waris ashabul furud, merka tidak mempunyai hak untuk menerima pengembalian (Radd). Hal ini karena mereka juga termasuk ahli waris golongan ashabah. Sehingga tidak mungkin memenuhi persyaratan adanya radd.
G.      Contoh Penyelesaiaan Masalah Radd
Seorang meninggal dunia meninggalkan ahli waris; ibu, dan seorang anak perempuan. Harta warisannya sebesar Rp 12.000.000,-, maka penyelesaiaannya sebagai berikut :
Ahli Waris              Bagian   AM        Harta Warisan             Penerimaan
                                               6           Rp 12.000.000,-
Ibu                            1/6        1          1/4 x 12.000.000          3.000.000
Seorang anak Pr        1/2        3          3/4 x 12.000.000          9.000.000
Jumlah                                   4                                             12.000.000
Catatan : Dari enam dikurang (di radd) menjadi empat (Asal Masalah).[8]

H.    Wasiat Wajibah
Para fuqaha tabi’in dan imam-imam fiqh, diantaranya Said Ibnu Musayyab, Ad-ahak, Thaus, Al Hasnul Bisri, Ahmad Ibnu Hambal, Daud Ibnu Ali, Ishak Ibnu Ruhawaih, Ibnu Jarir, dan Ibnu Hazm berpendapat  bahwa wasiat itu wajib untuk kerabat-kerabat terdekat yang tidak mendapat harta pusaka. Hal ini ditetapkan berdasarkan firman Allah SWT. Dalam surat Al-Baqarah ayat 180.
Al- Jashshash dalam kitabnya Ahkamul Qur’an menandaskan bahwa ayat tersebut menunjukkan kewajiban wajibnya wasiat kepada para keluarga yang tidak mendapat warisan.
Kata kutiba dalam ayat tersebut artiya furida, yaitu difardhukan sedangkan perkataan bil ma’rufi haqqan ‘alal muttaqin artinya menurut ma’ruf sebagai suatu hak (kewajiban) atas setiap orang yang bertakwa, merupakan suatu lafal yang sangat kuat menunjuk kepada wajibnya wasiat.
Dalam hal tersebut, ulama berselisih pendapat tentang masih berlakunya hukum yang telah di-nash-kan oleh ayat tersebut, yaitu tentang wajibnya wasiat untuk bapak dan kerabat-kerabat terdekat atau tidak berlaku lagi.
Kebanyakan ahli tafsir jumhur fiqh berpendapat bahwa wajibnya wasiat itu sudah mansukh, baik terhadap yang menerima wasiat maupun tidak. Karena ayat waiat itu telah dimansukh oleh ayat-ayat mawaris dan oleh sabda Nabi SAW yang artinya, “ tidak ada wasiat untuk para ahli waris”.
Abu Muslim Al-Ashbahani mengemukakan bahwa ayat wasiat itu sama sekali tidak mansukh, karena tidak ada pertentangan antara ayat wasiat dan ayat mawaris. Golongan yang diwajibkan wasiat untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat waris berpendapat bahwa ayat wasiat tidak mansukh dan tetap berlaku sampai sekarang untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat warisan, karena ada penghalang atau ada orang yang lebih utama daripada mereka. Oleh karena itu, wajiblah dibuat wasiat untuk mereka dengan nash ayat wasiat sebab ayat itu tetap berlaku untuk mereka. Terhadap kerabat-kerabat yang mendapat warisan, dipergunakan ayat-ayat mawaris.
Iman Ibnu Hazm berpendapat, apabila diadakan wasiat untuk kerabat-kerabat yang tidak mendapat waris, hakim harus bertindak memberi sebagian dari harta peninggalan kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapat bagian waris sebagai suatu wasiat yang wajib untuk mereka. Oleh karena itu, wajiblah dibuat wasiat untuk cucu mereka yang tidak mendapat waris, baik karena mereka anak dari anak perempuan atau anak dari anak laki-laki yang meninggal ayahnya sebelum kakeknya.
I.       Syarat-syarat  Washiyat Wajibah
Washiyat Wajibah ini harus memenuhi dua syarat :
Pertama, yang wajib menerima wasiat, bukan waris. Kalau dia berhak menerima pusaka walaupun sedikit, tidaklah wajib dibuat wasiat untuknya.
Kedua,orang yang meninggal (baik kakek meupun nenek) belum memberikan kepada anak yang wajib dibuat wasiat sejumlah yang diwasiatkan dengan jalan lain, seperti hibah misalnya. Jika dia telah memberikan kurang dari jumlah wasiat wajibah, wajiblah disempurnakan wasiat itu. Apabila lebih dari sepertiga harta, wasiat yang berlaku hanyalah sejumlah sepertiga harta tanpa perlu persetujuan para ahli waris.[9]




BAB III
                                                           PENUTUP
                                                                    
A.    Kesimpulan





DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama RI. 2013. Panduan Praktis Pembagian Waris Dalam Islam. Jakarta
Hasbiyallah. 2013.Belajar Mudah Ilmu Waris. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Mardani. 2014.Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Maruzi, Muchlis. 1981.Pokok-Pokok Ilmu Waris.Semarang: Mujahidin
Nasution, Amin Husein. 2012.Hukum Kewarisan,: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Raja Grafindo Jaya
Umam, Dian Khairul. 1999.Fiqh Mawaris. Bandung: CV Pustaka Setia



[1]Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama RI, Panduan Praktis Pembagian Waris Dalam Islam, (Jakarta: 2013), hlm. 58
[2]Hasbiyallah, Belajar Mudah Ilmu Waris, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), hlm.47-48
[3]Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan,: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Jaya, 2012), hlm. 150
[4]Ibid.,hlm.150-152
[5]Op cit., hlm. 58-59
[6]Muchlis Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), hlm. 66
[7]Loc cit., hlm. 55
[8]  Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. ( Jakarta:           PT RajaGrafindo Persada, 2014), hlm. 60-61
[9] Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), hlm. 241-243


EmoticonEmoticon