BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA DAN ADAB MENCARI ILMU (Tafsir Q.S. Luqman Ayat 13-15 dan Q.S. An-Nahl Ayat 43) SANTRI21

BERBAKTI KEPADA KEDUA ORANG TUA
DAN ADAB MENCARI ILMU
(Tafsir Q.S. Luqman Ayat 13-15 dan Q.S. An-Nahl Ayat 43)

Disusun Guna Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah                : Tafsir Tarbawi II
Dosen pengampu        : Drs H., Masduki, M.Si




Oleh:

Fatchurahman Ali   (2021114145)
Khafidotul Firoh    (2021114149)
Muzayani                (2021114161)

Kelas : PAI H


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI 
PEKALONGAN
2016

BAB I
PENDAHULUAN


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Q.S. Luqman ayat 13-15
وَاِذْقَالَ لُقْمَانُ لِاَبْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللّهِ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (١٣) وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ اُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ(١٤) وَاِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى اَنْ تُشْرِكَ بِي ما لَيْسَ لكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا وَاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ
 اِلَيَّ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَاكُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ (١٥)
Terjemah :
Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya pada saat dia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu menyekutukan Allah. Sesungguhnya mempersekutukan itu benar-benar merupakan kedzaliman yang besar.” (13) Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah lemah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya Akulah tempat kembali. (14)  Dan jika keduanya memaksa mu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak kamu ketahui, maka janganlah kamu menaati keduanya, namun bergaullah dengan keduanya di dunia dengan baik. Ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian kepada Akulah tempat kamu kembali, lalu aku beritahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.(15).[1]

Penjelasan
Luqman memerintah kepada anaknya supaya menyembah  Allah semata, dan melarang berbuat syirik (menyekutukan Allah dengan lain-Nya). Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu merupakan kedzaliman besar. Syirik dinamakan perbuatan yang dzalim, karena perbuatan syirik itu berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dan ia dikatakan dosa besar, karena perbuatan itu berarti menyamakan kedudukan Tuhan yang hanya dari Dia-lah segala nikmat, yaitu Allah SWT. dengan sesuatu yang tidak memiliki nikmat apapun, yaitu berhala-berhala. 
Sesudah Allah menuturkan apa yang telah diwasiatkan oleh Luqman terhadap anaknya, yaitu supaya ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan semua nikmat, yang tiada seorang pun bersukutu dengan-Nya didalam menciptakan sesuatu. Kemudian Luqman menegaskan bahwasannya syirik itu adalah perbuatan yang buruk. Selanjutnya Allah SWT. megiringi hal tersebut dengan wasiat-Nya kepada semua anak supaya mereka berbuat baik kepada kedua orang tuanya, karena sesungguhnya kedua orang tua adalah penyebab pertama bagi keberadaannya didunia. (ayat 13).
Selanjutnya Allah SWT menyebutkan jasa ibu secara khusus terhadap anaknya, karena sesungguhnya didalam hal ini terkandung kesulitan yang sangat berat bagi pihak ibu. Ibu telah mengandungnya, sedang ia dalam keadaan lemah yang kian bertambah disebabkan makin membesarnya kandungan sehingga ia melahirkan, kemudian sampai dengan selesai dari masa nifasnya.
Kemudian Allah menyebutkan lagi jasa ibu yang lain, yaitu bahwa ibu telah memperlakukannya dengan kasih sayang dan telah merawatnya dengan sebaik-baiknya sewaktu ia tidak mampu berbuat sesuatu pun bagi dirinya.[2] Dan menyepihkan dari persusuan sesudah ia dilahirkan dalam jangka waktu dua tahun. Selama masa itu ibu mengalami berbagai masa kerepotan dan kesulitan dalam rangka mengurus keperluan bayinya. Hal ini tiada dapat menghargai pengorbanannya selain hanya Yang Maha Mengetahui keadaan ibu, yaitu Tuhan Yang tiada sesuatu pun samar bagi-Nya baik dilangit maupun di bumi.
Allah telah memerintahkan supaya berbuat baik kepada kedua orang tua, akan tetapi Dia menyebutkan penyebab dari pihak ibu saja. Karena kesulitan yang dialaminya lebih besar, ibu telah mengandung anaknya dengan susah payah, kemudian melahirkannya dan merawatnya di malam dan siang hari. Oleh karena itu Rasulullah SAW. Ketika ada seseorang yang bertanya tentang siapa yang paling berhak ia berbakti kepadanya, maka beliau menjawab, ibumu, ibumu, kemudian ibumu. Sesudah itu Rasulullah baru mengatakan, kemudian ayahmu.
Selanjutnya Allah memerintahkan kepadanya, bersyukurlah kamu kepada-Ku atas semua nikmat yang telah Kulimpahkan kepadamu, dan bersyukur pulalah kepada ibu bapakmu. Karena sesungguhya keduanya itu merupakan penyebab bagi keberadaanmu. Dan keduanya telah merawatmu dengan baik, yang untuk itu keduanya mengalami berbagai macam kesulitan. Sehingga kamu menjadi tegak dan kuat.
Kemudian Allah SWT. Mengemukakan alasan perintah bersyukur kepada-Nya itu dengan nada memperingatkan, yaitu: Hanya kepada-Kulah kamu kembali, bukan kepada selain-Ku. Maka aku akan memberikan balasan terhadap apa yang telah kamu lakukan yang bertentangan dengan perintah-Ku. Dan Aku akan menanyakan kepadamu tentang apa yang telah kamu perbuat, yaitu tasyakurmu kepada-Ku atas nikmat-nikmat-Ku yang telah Kuberikan kepadamu, dan rasa terima kasihmu terhadap ibu bapakmu serta baktimu kepada keduanya. (ayat 14).[3]
Sesudah Allah menyebutkan pesan dan perintah-Nya, yaitu berkaitan dengan berbakti kepada kedua orang tua, dan setelah mengukuhkan hak keduanya yang harus ditaati. Lalu dia mengecualikan hal tersebut akan hak-hak-Nya dengan kesimpulan, bahwa tidak wajib taat kepada kedua orang tua bila disuruh untuk mengerjakan hal-hal yang membuat Dia murka.
Dan apabila orang tua memaksa serta menekanmu untuk menyekutukan Allah dengan selain-Nya dalam hal ibadah, maka janganlah kamu menaati apa yang diinginkan oleh keduanya. Sekalipun keduanya menggunakan kekerasan supaya kamu mau mengikuti kehendak keduanya, maka lawanlah dengan kekerasan pula bila keduanya benar-benar memaksamu.
Menurut suatu riwayat disebutkan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sa’ad ibnu Abi Waqas. Sehubungan dengan hal ini sahabat Sa’ad ibnu Abi Waqas telah menceritakan, ketika aku masuk Islam, ibuku bersumpah, bahwa ia tidak tidak mau makan dan tidak mau minum. Lalu pada hari pertama aku membujuknya supaya mau makan dan minum, akan tetapi ia menolak dan tetap pada pendiriannya. Dan pada hari yang kedua, aku membujuknya pula supaya mau makan dan minum, tetapi masih tetap menolak. Sehingga hari ketiga aku membujuknya lagi, dan ia masih juga menolak, maka aku berkata, “Demi Allah seandainya engkau mempunyai seratus nyawa niscaya semua itu akan keluar dan aku tidak akan meninggalkan agamaku ini.” Dan ketika ibuku melihat bahwasannya diriku benar-benar tidak mau mengikuti khendaknya, akhirnya ia mau makan.
Dan pergaulilah keduanya dalam urusan dunia dengan pergaulan yang diridhai oleh agama, dan sesuai dengan watak yang mulia serta harga diri, yaitu dengan memberi pangan dan sandang kepada keduanya, tidak boleh memperlakukan keduanya dengan perlakuan kasar, menjenguknya apabila sakit, serta menguburnya apabila mati.
Dan tempuhlah jalan orang yang bertaubat dari kemusyrikan lalu kembali kepada agama Islam dan ikuti jejak Nabi Muhammad SAW. Dengan mentauhidkan Allah SWT. Serta mengikhlaskan diri dan taat kepada-Nya, bukan mengikuti keduanya. Orang yang berbuat baik akan menerima pahala kebaikan, dan orang yang berbuat buruk akan menerima hukuman keburukan. (ayat 15).[4]
B.     Q.S.An-Nahl Ayat 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلا رِجَالا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (٤٣) Terjemah:
“Dan tidak Kami mengutus sebelum engkau, melainkan laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kamu kepada mereka yang berilmu jika kamu tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl 43).[5]
Penjelasan:
“Dan tidakkah kami mengutus sebelum engkau melainkan orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka.”
Hal ini diperingatkan kembali bahwa semua Rasul Allah, isi pengajaran yang dibawanya adalah sama. Yaitu bahwa Allah Ta’ala itu ada dan tunggal, tidak berserikat dengan yang lain. “Kitab-kitab”, zubur kata jama’ dari zabur, artinya kitab-kitab. Semua kitab-kitab itu, baik Taurat yang diturunkan kepada Musa, Injil kepada Isa, Mazmur atau Zabur kepada kepada Daud, dan Shuhuf, yaitu catatan-catatan yang diterima Nabi Ibrahim, demikian juga catatan wahyu kepada Nabi-nabi Armiyah, Hazqial, Asy’iya, Malaikhi, Danial, dan lain-lain, semuanya itu disebut “zubur”, artinya kitab-kitab, besar dan kecil.
Bahkan mereka semua sama-sama mendapatkan pertentangan. Sebab mereka itu semuanya adalah manusia, orang-orang yang tidak lepas daripada suka dan duka. Maka disuruhlah Nabi Muhammad SAW. Untuk menyampaikan kepada orang-orang: “maka bertanyalah kepada ahli-ahli yang telah mempunyai peringatan, jika kamu belum mengetahui” maka teranglah bahwa kewajiban Nabi Muhammad SAW. Menyampaikan peringatan (Al-Qur’an) bukanlah kewajiban yang baru sekarang, melainkan sambungan mata rantai saja dari rencana Tuhan membimbing dan memberi petunjuk umat manusia yang telah dimulai sejak Adam sampai kepada berpuluh Rasul sesudahnya, sampai kepada Muhammad SAW. Sebab maksud Al-Qur’an atau peringatan itu, memang yang utama sekali mengajak orang berfikir tentang dirinya, tentang hidupnya, tentang Tuhannya dan hubungannya dengan Tuhan itu.
Kalau masih kurang percaya akan hal itu, mereka boleh menanyakan kepada Ahludz-Dzikri, ahli peringatan, yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan ajaran dari Nabi-nabi yang dahulu itu. Kalau mereka orang-orang yang jujur, niscaya akan mereka beritahukan hal yang sebenarnya itu.
Disini tersebut Ahludz-Dzikri, orang yang ahli peringatan, atau orang-orang yang berpengetahuan luas. Umum arti ayat menyuruh orang yang tidak tahu bertanya kepada yang lebih tahu, karena ilmu pengetahuan itu adalah umum sifatnya, berfaedah buat mencari kebenaran. Menurut yang dirawikan oleh Mujahid dari Ibnu Abbas bahwa Ahludz-Dzikri disini maksudnya ialah Ahlu-Kitab. Sebelum Ahlul-Kitab itu dipengaruhi oleh Nafsu ingin menang sendiri, mereka akan mengakui bahwa Nabi-nabi dan Rasul-rasul yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia yang yang diberi wahyu oleh Allah.
Dengan ayat ini kita mendapatkan pengertian bahwasanya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, dimana saja dan siapa saja, sebab yang kita cari ialah kebenaran.
Ulama Besar Syi’ah yang terkenal, cucu Rasulullah SAW. Ja’far Al-Baqir, menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan Ahludz-Dzikri ialah kita sendiri, yaitu bahwasanya Ulama dari ummat inilah yang berhak disebut Ahludz-Dzikri. Sebab beberapa ayat dalam Al-Qur’an menyebutkan bahwa Al-Qur’an menyebutkan bahwa Al-Qur’an itulah ­Adz-Dzikr.
Yang manapun diantara kedua tafsir itu tidaklah berlawanan. Dalam hal yang mengenai ilmu-ilmu Agama Islam sendiri niscaya kita bertanya kepada Ahludz-Dzikri dalam hal Islam, dan ilmu-ilmu lain, yang lebih umum kita tanyai pula kepada ahludz-dzikrinya sendiri, tandanya kita berfaham luas dan berdada lapang.[6]

BAB III
PENUTUP

A.     kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Terjemah Indonesia. 2005. alih bahasa Nazri Adlany dkk. Jakarta: PT Sari Agung
Al-Maragi, Ahmad Mushthafa. 1989. Tafsir Al-Maragi, Juz XXI. alih bahasa Anwar Rasyidi dkk., Semarang: PT Karya Toha Putra.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasir. 2006. Tafsir Ibnu Katsir, Jil.3. Jakarta: Gema Insani.
Hamka. 1983. Tafsir Al-Azhar, Juz XIII-XIV. Jakarta: Pustaka Panjimas.







                                                                                                  











[1] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir, Jil.3, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 789.
[2] Ahmad Mushthafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi Juz XXI, alih bahasa Anwar Rasyidi dkk., (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1989), hlm.153-154
[3] Ibid., hlm. 155
[4]  Ibid., hlm. 156-157
[5] Al Qur’an Terjemah Indonesia, alih bahasa Nazri Adlany dkk., (Jakarta: PT Sari Agung, 2005), hlm. 509
[6] Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz XIII-XIV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 248-250


EmoticonEmoticon