BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Perilaku yang baik hanya bisa
dilakukan dengan pembiasaan secara terus menerus untuk bersikap baik.
“Pembiasaan selama 24 jam dengan pengawasan, pembinaan dan pendampingan terus
menerus adalah bentuk pendidikan karakter yang sudah lama dilakukan di
pesantren, jauh sebelum isu pendidikan karakter muncul.”[1]
Mengingat
proses pendidikan yang tidak bisa instan, maka pendidikan karakter haruslah benar-benar
diupayakan dan dimulai sejak dini. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu
yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi karakter murid. Guru membantu
membentuk watak murid. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru,
cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan
berbagai hal yang terkait lainnya.
Kesemuanya itu
akan lebih mudah tercipta di lingkungan pendidikan yang terintegrasi, baik
pengetahuan, kesadaran, tindakan, keteladanan dan komponen penting lainnya,
seperti halnya di pesantren. Pesantren menjadi tempat pendidikan karakter
sekaligus sebagai wahana pemberdayaan yang efektif bagi masyarakat dengan tetap
berpijak pada nilai-nilai kultural yang melandasinya.
Nilai-nilai itu
antara lain meliputi keakraban antar santri, sikap hormat dan segan antara
santri kepada kyai dan seniornya, hidup hemat dan sederhana, semangat tolong
menolong dalam kebersamaan, disiplin, berani menderita dan sebagainya. Inilah
sikap-sikap yang akan menjadi landasan terbangunnya karakter setiap individu
peserta didik, dan secara umum akan berdampak kepada masyarakat sekitarnya. [2]
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADITS
HIDUP BERSAMA PENDIDIKNYA
حَدَثَنَا مُعَلَّى بْنُ اَسَدٍ قَالَ : حَدَثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ
اَيُّوْبَ, عَنْ أَبِي قِلَابَةَ, عَنْ مَالِكِ بْنِ اْلحُوَيْرِثِ : أَتَيْتُ
النَّبِىَّ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَاَقَمْنَا
عِنْدَهُ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً – وَكَانَ رَحِيْمًا
رَفِيْقًا- فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا اِلَى اَهَالِيْنَا قَالَ : (( اِرْجِعُوا فَكُوْنُوْ
فِيْهِمْ وَعَلِّمُوْهُمْ
وَصَلّو, فَاِذا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذّنُ
لَكُمْ أَحَدُكُمْ, وَلْيَؤُمَّكُمْ اَكْبَرُكُمْ))
B.
TERJEMAH HADITS
Mu’alla bin
As’ad menyampaikan kepada kami dari wuhaib, dari Ayub, dari Abu Qilabah bahwa
Malik bin al-Huwair berkata, “Aku bersama beberapa orang kaumku datang menemui
Nabi saw. kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh malam. Nabi
adalah orang yang sangat penyayang dan penuh belas kasihan. Ketika Nabi
melihat kerinduan kami pada keluarga, beliau bersabda, ‘Pulanglah dan
tinggallah bersama keluarga kalian, ajarilah mereka dan lakukanlah shalat. Jika
waktu shalat sudah tiba, hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan
adzan. Dan, hendaknya orang yang paling tua diantara kalian menjadi Imam’.”[3]
C.
ANALISA HADITS
Hadits diatas menunjukkan
bahwa semasa muda, Malik bin al-Huwair beserta beberapa orang dari kaumnya berguru
kepada Nabi Saw. dan hidup bersama dengan beliau selama dua puluh malam. Hal
ini menjadikan Malik bin al-Huwair dan kaumnya dapat mengambil keteladanan secara
langsung bagaimana perilaku nabi, cara nabi berbicara atau menyampaikan ajarannya,
bagaimana bertoleransi, dan berbagai hal
lainnya. Lebih jelas, seperti tertulis dalam hadits diatas bahwa Nabi adalah
orang yang sangat penyayang dan
lemah lembut.
Lalu bagaimana
dengan pendidikan dizaman sekarang? Pendidikan seperti apa yang sesuai dengan
hadits diatas? Sebagaimana kita ketahui, Pendidikan dizaman sekarang terbagi
menjadi tiga yaitu: pendidikan formal, non-formal, dan informal.
1.
Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah pendidikan yang dimulai dari tingkat
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Strata Tiga (S3). Permasalahan utama
dan serius pendidikan di Indonesia – adalah pendidikan yang masih bersifat
pengajaran, murid cenderung dibebani pengetahuan kognitif, dan sedikit sampai
penghayatan nilai secara afektif, ini mengakibatkan moral yang ada pada peserta
didik berkurang, maka terjadi tawuran, kehidupan yang hedonis atau foya-foya,
hilangnya kepedulian terhadap lingkungan, sopan santun keluarga bahkan sampai
guru pun yang notabenya memberikan pengajaran serta pendidikan kepada mereka.
Pandangan dasarnya, bahwa kemerosotan
akhlak, moral, dan etika peserta didik disebabkan belum maksimalnya pendidikan
agama disekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, pendidikan agama disekolah
memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, dari jumlah jam yang sangat minim,
materi pendidikan yang terlalu teoritis, sampai kepada pendidikan agama yang
cenderung bertumpu pada aspek kognitif daripada afektif dan psikomotorik
peserta didik. Jika dihitung dari rerata pertemuan formal antara seorang
pendidik dengan peserta didiknya, maka (pendidik yang mengajar agama) misalnya
hanya akan bertemu sebanyak 48 jam per bulan dari total 672 jam yang tersedia
setiap bulannya. Berarti porsi pendidik (guru) dalam membentuk karakter anak
didiknya hanya 14%.[4]
2.
Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan
formal, seperti pondok pesantren. K.H. Dr. Muhammad Achmad Sahal
Mahfudz. Inilah tokoh yang sangat peduli (concern) terhadap masa depan
pesantren, pendidikan, dan ini yang paling menonjol fikih sosial. Kyai Sahal menaruh
harapan besar pada pesantren, terutama sekali karena tidak puas terhadap
pendidikan formal. Kyai Sahal mengkritik dunia pendidikan modern (atau istilah
Kyai Sahal, Pendidikan non pesantren) telah gagal membawa misi kemanusiaan.
Termasuk sasaran kritik Kyai Sahal adalah lembaga pendidikan Islam. “Lembaga
pendidikan Islam diluar pesantren yang pada awalnya diharapkan menjadi media
alternatif, pada perkembangannya justru dianggap tidak mampu menjaga harapan
itu. Kebijaksanaan pendidikan yang bersifat kognitif (dengan asumsi, bahwa
pemahaman keilmuan yang mendalam akan melahirkan perilaku agamis yang bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah), pada akhirnya justru melahirkan produk
yang menguasai secara ilmiah, tetapi sering dipertanyakan dari segi penghayatan
(amaliyah)”. Ide awal penyelenggaraan pendidikan untuk mengembangkan Islam
tidak terpenuhi, pada prakteknya justru hanya terbatas pada pengembangan
Islamologi. Pendidikan Islam kita, meletakkan Islam hanya sebagai obyek kajian.
Kini perkembangannya semakin mengkhawatirkan, karena lembaga pendidikan nyaris
melupakan peran sejati Islam sebagai subyek penentu arah kehidupan. Pendidik
harus memiliki nuansa pada terciptanya manusia yang sholih dan akrom.
Manusia sholih berarti secara potensial mampu berperan aktif,
trampil, dan berguna dalam kehidupan sesama makhluk. Sedangkan akram
merupakan pencapaian kelebihan dalam relasi makhluk dengan khaliq. Lebih
dari itu kata akrom juga mencakup etika pergaulan dengan masyarakat
dalam segala aspek kehidupan.
Tujuan-tujuan ideal tersebut menurut Kyai Sahal tidak dapat dicapai
melalui pendidikan formal, seperti sekolah dan madrasah, hingga PTAI. Kyai
Sahal mempercayakannya pada pesantren. hanya saja, nasib pesantren semakin lama
semakin mengkhawatirkan. Lembaga pendidikan yang memiliki akar kultural
masyarakat, oleh karenanya, bisa menjadi reservasi moral kepribadian
masyarakat, justru kurang mendapat dukungan dan apresiasi pemerintah sebagai
salah satu model pendidikan, lantaran pemerintah cenderung mengikuti paradigma
modernisasi. Modernisasi adalah suatu paket besar, didalamnya terdapat tata dan
perspektif hukum, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Modernisasi lantaran
matang di Barat sangat agresif menyiapkan suatu perspektif tertentu, juga paket
pendidikan, terhadap negara-negara ketiga, yang sebagian besar berpenduduk
Muslim. Seperti “wabah” Coca Cola saja, yang menggusur produk minuman
lokal, maka konsep dan perspektif pendidikan sebagai disiapkan modernisasi
Barat itu potensial menggusur jenis-jenis pendidikan lokal, seperti pesantren.
bahayanya dengan demikian, menjadi jelas, lembaga pendidikan non pesantren
sebagai produk Barat tidak bisa diharapkan berperan secara ideal sebagai diharapkan.[5]
Dalam merealisasikan idenya-idenya. “Semua kendala harus dihadapi”
katanya. “Sombong sekali kalau sebagai manusia, kalau dia merasa tidak
mempunyai kendala apapun dalam menjalankan usahanya” imbuh Kyai Sahal. Salah
satu masalah kompleks adalah beragamnya asal usul dan latar belakang para
santri. Masalah yang lain adalah kurangnya daya dukung, khususnya dalam
pendanaan. Selain itu adalah Budaya
Pesantren salafi yang masih terasa didominasi budaya sami’na wa atho’na
mengikuti apa saja yang dikatakan kyai, menjadi permasalahan tersendiri dalam
menciptakan suasana kreatif dilingkungan pesantren. namun, masalah ini bukan
tidak teratasi, Kyai Sahal justru berhasil menciptakan suasana santri yang
mempunyai penghormatan yang tinggi pada kyai tetapi juga mempunyai pemikiran
dan pemahaman keagamaan yang relatif bebas dan tercerahkan.
3.
Pendidikan Informal
Singkatnya pendidikan informal adalah pendidikan keluarga dan
lingkungan. Ketika ditanya kita harus memulai untuk perbaikan permasalahan
pendidikan ini, maka diperlukan revitalisasi pendidikan keluarga. Karena dari
situlah karakter seorang anak manusia ditentukan. Sekarang ini banyak orang tua
tidak sadar akan pentingnya pendidikan keluarga ini. Sementara dalam institusi
keluarga telah hadir media informasi
televisi yang gencar memberikan nilai-nilai yang belum tentu baik. Kalau
orang tua tidak sadar akan kenyataan seperti itu, maka mereka bisa merasa
kecolongan pada suatu saat nanti melihat perangai anak yang bisa jadi tidak diinginkan.
Siapa lagi yang mempengaruhi, kalau bukan informasi yang datang di sekitar
kita. Di lembaga keluargalah, seharusnya orang tua mengajari anak menghadapi
kehidupan nyata.[6]
D. ASPEK
TARBAWI
1.
Pendidikan yang ideal adalah pendidikan dengan pengawasan 24 jam.
2.
Hidup bersama pendidiknya akan memudahkan sistem pembinaan dan
pengontrolan pendidikan bagi para murid (santri) oleh guru (kyai).
3.
Hidup bersama pendidiknya juga akan membuat murid (santri) dapat
mengambil keteladanan secara langsung dari guru.
4.
Keteladan yang baik dari guru memerlukan waktu yang lama untuk
dapat diteladani oleh murid. Sulit didapat di lembaga selain pesantren. dimana
keteladanan seorang guru akan sangat terbatas yakni pada jam atau waktu
disekolah saja, sedang dirumah tidak semua keluarga mampu memberikan
keteladanan bagi anak-anak. Berbeda
dengan di pesantren, keteladanan dari seorang Kyai akan mereka jumpai setiap
saat dalam kesehariannya. Dan tidak diragukan lagi, seorang Kyai pasti memiliki
integritas yang tinggi dalam hal ilmu maupun akhlak dan karakternya.
5.
Disamping itu, potensi para murid (santri) akan selalu dapat
diidentifikasi secara cepat dan mudah oleh guru baik pada aspek kognitif,
afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian potensi tersebut akan dapat
dikembangkan secara optimal. Sebaliknya jika terdapat kejanggalan pada perilaku
santri juga akan dapat segera diketahui dan dicegah.
6.
Pendidikan sistem ini juga akan dengan cepat mengajarkan akan
kemandirian atau tidak menggantungkan hidup kepada orang lain, karena secara
otomatis mereka akan mengurus diri mereka sendiri, tidak ada orang tua, tidak ada pembantu layaknya dirumah. Sehingga
kelak mereka dengan mudah survive dalam kehidupannya mendatang.
7.
Kehidupan di pondok pesantren juga melahirkan solidaritas antara
komunitas penghuni pondok baik sesama santri, pengurus, maupun kyai. Mereka
merasakan hidup senasib sepenaggungan, dan setelah mereka menyadari bahwa hidup
itu tidak sendirian, dan orang-orang juga beraneka ragam, berasal dari berbagai
suku, berbeda bahasa, warna kulit, status sosial, dan perbedaan yang lainnya,
maka akan terbangun sikap tenggang rasa, kerjasama, kepedulian, menghargai
perbedaan dan yang lainnya. Sehingga anak akan siap menghadapi tantangan di era
globalisasi ini yakni berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai
macam latar belakang budaya dan agama. [7]
8. Ketika santri
dirasa sudah matang, maka santri akan mulai mengamalkan ilmunya kepada
masyarakat dengan izin dari guru (kyai). Seperti tertulis dalam hadits diatas.
“hiduplah bersama mereka, ajari mereka dan salatlah
tatkala datang (waktu) salat, kemudian adzanlah seseorang dari kalian dan
jadilah yang paling tua dari kalian imam bagi kalian.”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Janganlah pendidikan di Indonesia berhenti pada pengajaran
(transfer pengetahuan) saja. Pendidikan hendaknya dapat menjadikan anak didik
menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Untuk menjadikan manusia seutuhnya itu,
kita perlu memperhatikan, merevitalisasi, dan memulai dari pendidikan dalam
keluarga. Karena dari keluargalah, karakter manusia dibentuk.
Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat
tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja sama, patuh pada
peraturan bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan
menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan
sosial menghasilkan berbagai tindak kriminal, kekerasan, terorisme dan
lain-lain. Oleh sebab itu pendidikan karakter adalah sebuah keniscayaan bagi
generasi mendatang, dan pesantren adalah tempat yang sangat representatif bagi
pendidikan karakter di negeri ini.
Rusaknya bangsa ini bukan karena kekurangan para doktor dan
orang-orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur yang committed terhadap
kebenaran ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Untuk itu, marilah kita senatiasa
memohon kepada Allah SWT agar diberi kejelasan penglihatan bahwa yang benar itu
benar, dan diberi kemampuan serta kemauan untuk mengikutinya. Juga, diberi
kejelasan penglihatan bahwa yang salah itu salah, dan diberi kemampuan serta
kemauan untuk menjauhinya.
[2] Chusna Maulida,
Character Building Through Education (Pesantren dan Pendidikan Karakter),
(Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm.267-268
[3] Abu Abdullah
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits, Shahih
al-Bukharin 1, alih bahasa Masyar dan Muhammad Suhadi. (Jakarta: Almahira, 2011),
hlm.141.
[4] Abd. Majid,
Character Building Through Education (Model Pengembangan Karakter di Lembaga
Pendidikan Formal), (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm.2-3
[5] Choirul Fuad
Yusuf dan Ahmad Syahid, PEMIKIR PENDIDIKAN ISLAM:Biografi Sosial Intelektual,
(Jakarta: PT. Pena Citasatria, 2007), hlm.270-272
[6] Ibid., hlm.274
[7] Chusna Maulida,
Op. cit., hlm.269-272
EmoticonEmoticon