MAKALAH HADITS TARBAWI 1 (SANTRI 21 HIDUP BERSAMA PENDIDIK)



BAB I
PENDAHULUAN

A.       LATAR BELAKANG
Perilaku yang baik hanya bisa dilakukan dengan pembiasaan secara terus menerus untuk bersikap baik. “Pembiasaan selama 24 jam dengan pengawasan, pembinaan dan pendampingan terus menerus adalah bentuk pendidikan karakter yang sudah lama dilakukan di pesantren, jauh sebelum isu pendidikan karakter muncul.”[1]
Mengingat proses pendidikan yang tidak bisa instan, maka pendidikan karakter haruslah benar-benar diupayakan dan dimulai sejak dini. Pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh guru, yang mampu mempengaruhi karakter murid. Guru membantu membentuk watak murid. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal yang terkait lainnya.
Kesemuanya itu akan lebih mudah tercipta di lingkungan pendidikan yang terintegrasi, baik pengetahuan, kesadaran, tindakan, keteladanan dan komponen penting lainnya, seperti halnya di pesantren. Pesantren menjadi tempat pendidikan karakter sekaligus sebagai wahana pemberdayaan yang efektif bagi masyarakat dengan tetap berpijak pada nilai-nilai kultural yang melandasinya.
Nilai-nilai itu antara lain meliputi keakraban antar santri, sikap hormat dan segan antara santri kepada kyai dan seniornya, hidup hemat dan sederhana, semangat tolong menolong dalam kebersamaan, disiplin, berani menderita dan sebagainya. Inilah sikap-sikap yang akan menjadi landasan terbangunnya karakter setiap individu peserta didik, dan secara umum akan berdampak kepada masyarakat sekitarnya. [2]

BAB II
PEMBAHASAN

A.   HADITS HIDUP BERSAMA PENDIDIKNYA
حَدَثَنَا مُعَلَّى بْنُ اَسَدٍ قَالَ : حَدَثَنَا وُهَيْبٌ عَنْ اَيُّوْبَ, عَنْ أَبِي قِلَابَةَ, عَنْ مَالِكِ بْنِ اْلحُوَيْرِثِ : أَتَيْتُ النَّبِىَّ صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ نَفَرٍ مِنْ قَوْمِي فَاَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِيْنَ لَيْلَةً –  وَكَانَ رَحِيْمًا رَفِيْقًا- فَلَمَّا رَأَى شَوْقَنَا اِلَى اَهَالِيْنَا قَالَ : (( اِرْجِعُوا فَكُوْنُوْ فِيْهِمْ        وَعَلِّمُوْهُمْ وَصَلّو,  فَاِذا حَضَرَتِ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذّنُ لَكُمْ أَحَدُكُمْ, وَلْيَؤُمَّكُمْ اَكْبَرُكُمْ))
B.     TERJEMAH HADITS
Mu’alla bin As’ad menyampaikan kepada kami dari wuhaib, dari Ayub, dari Abu Qilabah bahwa Malik bin al-Huwair berkata, “Aku bersama beberapa orang kaumku datang menemui Nabi saw. kami tinggal di sisi beliau selama dua puluh malam. Nabi adalah orang yang sangat penyayang dan penuh belas kasihan. Ketika Nabi melihat kerinduan kami pada keluarga, beliau bersabda, ‘Pulanglah dan tinggallah bersama keluarga kalian, ajarilah mereka dan lakukanlah shalat. Jika waktu shalat sudah tiba, hendaknya salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan. Dan, hendaknya orang yang paling tua diantara kalian menjadi Imam’.”[3]
C.     ANALISA HADITS
Hadits diatas menunjukkan bahwa semasa muda, Malik bin al-Huwair beserta beberapa orang dari kaumnya berguru kepada Nabi Saw. dan hidup bersama dengan beliau selama dua puluh malam. Hal ini menjadikan Malik bin al-Huwair dan kaumnya dapat mengambil keteladanan secara langsung bagaimana perilaku nabi, cara nabi berbicara atau menyampaikan ajarannya, bagaimana  bertoleransi, dan berbagai hal lainnya. Lebih jelas, seperti tertulis dalam hadits diatas bahwa Nabi adalah orang yang sangat penyayang dan lemah lembut.
Lalu bagaimana dengan pendidikan dizaman sekarang? Pendidikan seperti apa yang sesuai dengan hadits diatas? Sebagaimana kita ketahui, Pendidikan dizaman sekarang terbagi menjadi tiga yaitu: pendidikan formal, non-formal, dan informal.
1.      Pendidikan Formal
Pendidikan formal adalah pendidikan yang dimulai dari tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai Strata Tiga (S3). Permasalahan utama dan serius pendidikan di Indonesia – adalah pendidikan yang masih bersifat pengajaran, murid cenderung dibebani pengetahuan kognitif, dan sedikit sampai penghayatan nilai secara afektif, ini mengakibatkan moral yang ada pada peserta didik berkurang, maka terjadi tawuran, kehidupan yang hedonis atau foya-foya, hilangnya kepedulian terhadap lingkungan, sopan santun keluarga bahkan sampai guru pun yang notabenya memberikan pengajaran serta pendidikan kepada mereka.
 Pandangan dasarnya, bahwa kemerosotan akhlak, moral, dan etika peserta didik disebabkan belum maksimalnya pendidikan agama disekolah. Harus diakui, dalam batas tertentu, pendidikan agama disekolah memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, dari jumlah jam yang sangat minim, materi pendidikan yang terlalu teoritis, sampai kepada pendidikan agama yang cenderung bertumpu pada aspek kognitif daripada afektif dan psikomotorik peserta didik. Jika dihitung dari rerata pertemuan formal antara seorang pendidik dengan peserta didiknya, maka (pendidik yang mengajar agama) misalnya hanya akan bertemu sebanyak 48 jam per bulan dari total 672 jam yang tersedia setiap bulannya. Berarti porsi pendidik (guru) dalam membentuk karakter anak didiknya hanya 14%.[4]



2.      Pendidikan Nonformal
Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal, seperti pondok pesantren. K.H. Dr. Muhammad Achmad Sahal Mahfudz. Inilah tokoh yang sangat peduli (concern) terhadap masa depan pesantren, pendidikan, dan ini yang paling menonjol fikih sosial. Kyai Sahal menaruh harapan besar pada pesantren, terutama sekali karena tidak puas terhadap pendidikan formal. Kyai Sahal mengkritik dunia pendidikan modern (atau istilah Kyai Sahal, Pendidikan non pesantren) telah gagal membawa misi kemanusiaan. Termasuk sasaran kritik Kyai Sahal adalah lembaga pendidikan Islam. “Lembaga pendidikan Islam diluar pesantren yang pada awalnya diharapkan menjadi media alternatif, pada perkembangannya justru dianggap tidak mampu menjaga harapan itu. Kebijaksanaan pendidikan yang bersifat kognitif (dengan asumsi, bahwa pemahaman keilmuan yang mendalam akan melahirkan perilaku agamis yang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah), pada akhirnya justru melahirkan produk yang menguasai secara ilmiah, tetapi sering dipertanyakan dari segi penghayatan (amaliyah)”. Ide awal penyelenggaraan pendidikan untuk mengembangkan Islam tidak terpenuhi, pada prakteknya justru hanya terbatas pada pengembangan Islamologi. Pendidikan Islam kita, meletakkan Islam hanya sebagai obyek kajian. Kini perkembangannya semakin mengkhawatirkan, karena lembaga pendidikan nyaris melupakan peran sejati Islam sebagai subyek penentu arah kehidupan. Pendidik harus memiliki nuansa pada terciptanya manusia yang sholih dan akrom. Manusia sholih berarti secara potensial mampu berperan aktif, trampil, dan berguna dalam kehidupan sesama makhluk. Sedangkan akram merupakan pencapaian kelebihan dalam relasi makhluk dengan khaliq. Lebih dari itu kata akrom juga mencakup etika pergaulan dengan masyarakat dalam segala aspek kehidupan.
Tujuan-tujuan ideal tersebut menurut Kyai Sahal tidak dapat dicapai melalui pendidikan formal, seperti sekolah dan madrasah, hingga PTAI. Kyai Sahal mempercayakannya pada pesantren. hanya saja, nasib pesantren semakin lama semakin mengkhawatirkan. Lembaga pendidikan yang memiliki akar kultural masyarakat, oleh karenanya, bisa menjadi reservasi moral kepribadian masyarakat, justru kurang mendapat dukungan dan apresiasi pemerintah sebagai salah satu model pendidikan, lantaran pemerintah cenderung mengikuti paradigma modernisasi. Modernisasi adalah suatu paket besar, didalamnya terdapat tata dan perspektif hukum, politik, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Modernisasi lantaran matang di Barat sangat agresif menyiapkan suatu perspektif tertentu, juga paket pendidikan, terhadap negara-negara ketiga, yang sebagian besar berpenduduk Muslim. Seperti “wabah” Coca Cola saja, yang menggusur produk minuman lokal, maka konsep dan perspektif pendidikan sebagai disiapkan modernisasi Barat itu potensial menggusur jenis-jenis pendidikan lokal, seperti pesantren. bahayanya dengan demikian, menjadi jelas, lembaga pendidikan non pesantren sebagai produk Barat tidak bisa diharapkan berperan secara  ideal sebagai diharapkan.[5]
Dalam merealisasikan idenya-idenya. “Semua kendala harus dihadapi” katanya. “Sombong sekali kalau sebagai manusia, kalau dia merasa tidak mempunyai kendala apapun dalam menjalankan usahanya” imbuh Kyai Sahal. Salah satu masalah kompleks adalah beragamnya asal usul dan latar belakang para santri. Masalah yang lain adalah kurangnya daya dukung, khususnya dalam pendanaan.  Selain itu adalah Budaya Pesantren salafi yang masih terasa didominasi budaya sami’na wa atho’na mengikuti apa saja yang dikatakan kyai, menjadi permasalahan tersendiri dalam menciptakan suasana kreatif dilingkungan pesantren. namun, masalah ini bukan tidak teratasi, Kyai Sahal justru berhasil menciptakan suasana santri yang mempunyai penghormatan yang tinggi pada kyai tetapi juga mempunyai pemikiran dan pemahaman keagamaan yang relatif bebas dan tercerahkan.  

3.      Pendidikan Informal
Singkatnya pendidikan informal adalah pendidikan keluarga dan lingkungan. Ketika ditanya kita harus memulai untuk perbaikan permasalahan pendidikan ini, maka diperlukan revitalisasi pendidikan keluarga. Karena dari situlah karakter seorang anak manusia ditentukan. Sekarang ini banyak orang tua tidak sadar akan pentingnya pendidikan keluarga ini. Sementara dalam institusi keluarga telah hadir media informasi  televisi yang gencar memberikan nilai-nilai yang belum tentu baik. Kalau orang tua tidak sadar akan kenyataan seperti itu, maka mereka bisa merasa kecolongan pada suatu saat nanti melihat perangai anak yang bisa jadi tidak diinginkan. Siapa lagi yang mempengaruhi, kalau bukan informasi yang datang di sekitar kita. Di lembaga keluargalah, seharusnya orang tua mengajari anak menghadapi kehidupan nyata.[6]  
D.  ASPEK TARBAWI
1.        Pendidikan yang ideal adalah pendidikan dengan pengawasan 24 jam.
2.        Hidup bersama pendidiknya akan memudahkan sistem pembinaan dan pengontrolan pendidikan bagi para murid (santri) oleh guru (kyai).
3.        Hidup bersama pendidiknya juga akan membuat murid (santri) dapat mengambil keteladanan secara langsung dari guru.
4.        Keteladan yang baik dari guru memerlukan waktu yang lama untuk dapat diteladani oleh murid. Sulit didapat di lembaga selain pesantren. dimana keteladanan seorang guru akan sangat terbatas yakni pada jam atau waktu disekolah saja, sedang dirumah tidak semua keluarga mampu memberikan keteladanan bagi anak-anak.  Berbeda dengan di pesantren, keteladanan dari seorang Kyai akan mereka jumpai setiap saat dalam kesehariannya. Dan tidak diragukan lagi, seorang Kyai pasti memiliki integritas yang tinggi dalam hal ilmu maupun akhlak dan karakternya.
5.        Disamping itu, potensi para murid (santri) akan selalu dapat diidentifikasi secara cepat dan mudah oleh guru baik pada aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dengan demikian potensi tersebut akan dapat dikembangkan secara optimal. Sebaliknya jika terdapat kejanggalan pada perilaku santri juga akan dapat segera diketahui dan dicegah.
6.        Pendidikan sistem ini juga akan dengan cepat mengajarkan akan kemandirian atau tidak menggantungkan hidup kepada orang lain, karena secara otomatis mereka akan mengurus diri mereka sendiri, tidak ada orang tua,  tidak ada pembantu layaknya dirumah. Sehingga kelak mereka dengan mudah survive dalam kehidupannya mendatang.
7.        Kehidupan di pondok pesantren juga melahirkan solidaritas antara komunitas penghuni pondok baik sesama santri, pengurus, maupun kyai. Mereka merasakan hidup senasib sepenaggungan, dan setelah mereka menyadari bahwa hidup itu tidak sendirian, dan orang-orang juga beraneka ragam, berasal dari berbagai suku, berbeda bahasa, warna kulit, status sosial, dan perbedaan yang lainnya, maka akan terbangun sikap tenggang rasa, kerjasama, kepedulian, menghargai perbedaan dan yang lainnya. Sehingga anak akan siap menghadapi tantangan di era globalisasi ini yakni berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan agama. [7]
8.      Ketika santri dirasa sudah matang, maka santri akan mulai mengamalkan ilmunya kepada masyarakat dengan izin dari guru (kyai). Seperti tertulis dalam hadits diatas. “hiduplah bersama mereka, ajari mereka dan salatlah tatkala datang (waktu) salat, kemudian adzanlah seseorang dari kalian dan jadilah yang paling tua dari kalian imam bagi kalian.


BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Janganlah pendidikan di Indonesia berhenti pada pengajaran (transfer pengetahuan) saja. Pendidikan hendaknya dapat menjadikan anak didik menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Untuk menjadikan manusia seutuhnya itu, kita perlu memperhatikan, merevitalisasi, dan memulai dari pendidikan dalam keluarga. Karena dari keluargalah, karakter manusia dibentuk.
Karakter bangsa adalah modal dasar membangun peradaban tingkat tinggi, masyarakat yang memiliki sifat jujur, mandiri, bekerja sama, patuh pada peraturan bisa dipercaya, tangguh dan memiliki etos kerja tinggi akan menghasilkan sistem kehidupan sosial yang teratur dan baik. Ketidakteraturan sosial menghasilkan berbagai tindak kriminal, kekerasan, terorisme dan lain-lain. Oleh sebab itu pendidikan karakter adalah sebuah keniscayaan bagi generasi mendatang, dan pesantren adalah tempat yang sangat representatif bagi pendidikan karakter di negeri ini.
Rusaknya bangsa ini bukan karena kekurangan para doktor dan orang-orang pintar, tetapi kekurangan orang jujur yang committed terhadap kebenaran ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Untuk itu, marilah kita senatiasa memohon kepada Allah SWT agar diberi kejelasan penglihatan bahwa yang benar itu benar, dan diberi kemampuan serta kemauan untuk mengikutinya. Juga, diberi kejelasan penglihatan bahwa yang salah itu salah, dan diberi kemampuan serta kemauan untuk menjauhinya.



[1] A. Khoirul Anam, www.rmi-nu.or.id, diakses pada tanggal 21 September 2015
[2] Chusna Maulida, Character Building Through Education (Pesantren dan Pendidikan Karakter), (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm.267-268
[3] Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits, Shahih al-Bukharin 1, alih bahasa Masyar dan Muhammad Suhadi. (Jakarta: Almahira, 2011), hlm.141.
[4] Abd. Majid, Character Building Through Education (Model Pengembangan Karakter di Lembaga Pendidikan Formal), (Pekalongan: STAIN Pekalongan Press, 2011), hlm.2-3
[5]  Choirul Fuad Yusuf dan Ahmad Syahid, PEMIKIR PENDIDIKAN ISLAM:Biografi Sosial Intelektual, (Jakarta: PT. Pena Citasatria, 2007), hlm.270-272
[6] Ibid., hlm.274
[7] Chusna Maulida, Op. cit., hlm.269-272


EmoticonEmoticon