MAKALAH PENENTUAN HARTA WARIS SANTRI 21

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Sebagai khalifah dimuka bumi manusia diberikan oleh Allah bekal untuk memenuhi kelangsungan hidupnya, baik kebutuhan yang bersifat materi dan non-materi. Sehinga ia tidak merasa kekurangan dan tidak pula tergantung kepada orang lain, yang pada akhirnya ia akan merasa tenang beribadah kepada sang pencipta dalam menjalankan visi dan misinya sebagai khalifah di muka bumi.
Salah satu bekal yang diberikan oleh Allah adalah kepemilikan terhadap suatu harta guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Kepemilikan tersebut berupa kepemilikan tehadap sesuatu sesuai dengan aturan hukum, dan memiliki wewenang untuk bertindak dari apa yang miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum.
Dalam kehidupan, kepemilikan harta merupakan sesuatu yang lazim dan wajib bagi semua manusia sejak pertama diciptakan di muka bumi ini. Para ulama fiqh mendefinisikan harta sebagai sesuatu yang bisa dimiliki dan dimanfaatkan oleh manusia dalam bentuk tertentu sebagaimana yang telah berjalan pada masyarakat. Islam telah menggambarkan jalan yang suci dan lurus bagi umatnya guna memperoleh harta yang halal dan baik.
Adapun cara dalam meraih harta menurut Islam ada dua, yang pertama, harta seseorang yang dihasilkan dari jerih payah kedua tangannya, dan segala jual beli yang barakah. kemudian yang kedua, adalah harta warisan. Dalam Islam harta warisan adalah salah satu jalan yang diperbolehkan guna meraih harta kekayaan. Cara ini disebut meraih harta secara tidak langsung, dengan artian sipenerima harta tidaklah bersusah payah dalam mendapatkannya.
Islam menetapkan suatu sistem pewarisan yang sangat luar biasa. Harta benda yang ditinggalkan si mayit berpindah menjadi hak milik ahli warisnya baik dari pihak anak maupun keluarga dekatnya. Harta tersebut dibagikan secara adil sesuai ajaran Islam.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut perlu kiranya merumuskan masalah sebagai pijakan untuk terfokusnya kajian makalah ini. Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut.
1.      Apa yang dimaksud dengan Ilmu Mawarits ?
2.      Apa yang dimaksud Tirkah dan Harta Pusaka ?
3.      Bagaimana Sistem Kewarisan Sebelum Islam ?
4.      Bagaimana Sistem Kewarisan Setelah Islam Datang?
5.      Apa Saja Syarat dan Rukun Kewarisan ?
6.      Apa yang menjadi Sebab Pembagian Warisan ?
7.      Hal-Hal Apa Saja Yang Menggugurkan Hak Mewarisi ?
8.      Apakah Urgensi mempelajari Ilmu Al-Mawarist?
9.      Apa Saja Yang Dilakukan Sebelum Harta Peninggalan Dibagi ?
C.     Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui study literatur atau metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian jawaban permasalahan.
D.    Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi: Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang, rumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah; Bab II, adalah pembahasan; Bab III, bagian penutup dan kesimpulan.



BAB II
PEMBAHASAN

A.     Pengertian Ilmu Waris (Fara’idh)
Kata “warisan” asalnya dari bahasa Arab  وَرَثَsebagai fi’il, isimnya menjadi  مِيْرَاثٌdijamakkan menjadi اْلمَوَرِثُ.
Secara bahasa وَرَثَ  memiliki beberapa arti : Pertama,  mengganti (QS. an-Naml 16), kedua, memberi (QS az Zumar 74) ketiga, mewarisi (QS. Maryam 6).[1]
 Dalam pengertian istilah yang lazim di Indonesia warisan ialah perpindahan pelbagai hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.
Adapun menurut para fuqoha ilmu waris adalah “Ilmu yang dengan dia dapat diketahui orang-orang yang mewarisi, orang-orang yang tidak dapat mewarisi kadar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya”.
Oleh karena ilmu ini lebih banyak membicarakan hak-hak ahli waris yang telah ditentukan kadarnya secara pasti maka dikalangan fuqoha lebih populer dengan nama faroid yaitu “Ilmu fiqih yang berpautan dengan pembagian harta warisan, pengetahuan tentang cara perhitungan, yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta warisan dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak waris”. [2]
Lafadz فَرَائِضَ adalah jamak dari فَرِيْضَةٌ yang yang diambil dari lafadz  فَرْضٌ artinya ketetapan atau ketentuan. Fardh dalam istilah syara’ adalah bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu mengenai hal itu dinamakan ilmu waris (ilmu miiraats) dan ilmu faraidh.[3]

B.     Tirkah Dan Harta Pusaka
Harta warisan atau maurust kadang-kadang diartikan sama dengan harta peninggalan atau tirkah. Namun dalam pengertian yang populer dikalangan Jumhur Ulama, Tirkah mempunyai arti lebih luas dari pada maurust. Tirkah adalah segala apa yang ditinggalkan oleh simayit, yang mencakup seluruh harta dan tanggungan yang berpautan dengan hak orang lain, termasuk peninggalan yang digunakan untuk perawatan kematiannya, untuk pelunasan hutang-hutang dan pelaksanaan wasiatnya.  Sedang maurust hanyalah sisa peninggalan setelah digunakan untuk biaya perawatan kematiannya, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiatnya. Sisa inilah yang kemudian dibagikan kepada ahli warisnya.
Harta pusaka termasuk harta peninggalan. Ada beberapa sarjana di Indonesia yang menggunakan kata-kata “mempusakai” dalam pengertian “mewarisi”. Sehingga “harta pusaka” disini diartikan sebagai harta warisan yang dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris.
Di Minangkabau harta pusaka adalah harta peninggalan yang tidak boleh dibagi-bagikan kepada ahli warisnya. Harta itu milik bersama seluruh anggota keluarganya. Di Jawa benda pusaka adalah benda-benda tinggalan yang bernilai sejarah, atau yang dianggap memiliki kekuatan magic. Maka untuk tidak menimbulkan keragu-raguan, selanjutnya hanya akan digunakan istilah “waris-mewarisi”.[4]
C.  Sistem Kewarisan sebelum Islam
Bangsa arab jahiliyah sejak dulu sudah mengenal sistem pewarisan sebagai salah satu sebab perpindahan kepemilikan harta diantara mereka. Namun pewarisan yang mereka laksanakan disebabkan adanya tiga faktor:
1.      Nasab atau keturunan
Hak waris bangsa arab saat itu hanya diberikan dan dimiliki oleh laki-laki yang dewasa saja dan sudah ikut berperang, dan tidak diberikan kepada anak-anak yang belum dewasa dan kaum perempuan. Karean keduanya dianggap tidak bisa bergulat melawan musuh dimedan perang dan tidak dapat memiliki harta rampasan perang.
2.      Half atau sumpah dan janji setia
Misalnya dengan mengatakan, “Darahku adalah darahmu, kamu menolongku berarti aku menolongmu, dan kamu mewarisi hartaku berarti aku mewarisi hartamu.”
3.      Tabanniy atau anak angkat
Berlaku juga saudara angkat, bapak angkat atau ibu angkat dan sebagainya. Yaitu memasukkan nasab seorang anak kepada yang bukan ayah kandungnya sehingga kedudukan anak angkat sama dengan anak kandung dan akan mewarisi dari ayahnya.
D.  Sistem Kewarisan Islam
Ketika Islam datang, orang-orang arab dengan cepat meninggalkan kebiasaan mereka terkait harta warisan, khusunya masalah tabanniy. Dalam Islam, sistem Pewarisan disebabkan salah satu dari 3 hal yaitu:
1.      Hubungan Nikah.
Islam telah menetapkan perkawinan sebagai salah satu sebab terjadinya pewarisan.Dengan demikian, suami istri dapat saling mewarisi.
2.      Hubungan Nasab Haqiqi (Sekandung, Sebapak, Seibu).
Setiap ahli waris muslim dapat menerima warisan, baik dewasa maupun anak-anak, baik yang kuat maupun yang lemah.
3.      Wala’ atau hubungan antara tuan dan hamba yang dimerdekakan.         
E.       Syarat dan Rukun Kewarisan
Syarat adalah sesuatu yang karena ketiadaannya, tidak akan ada hukum. Dengan demikian, apabila tidak ada syarat-syarat waris, berarti tidak ada pembagian harta waris. Syarat-syarat waris yang dimaksud adalah:
1.    Kepastian Kematian Muwarrist (pemilik harta)
Kepastian ini bisa didapatkan melalui kondisi fisik atau non fisik. Dengan memperhatikan kondisi badan yang sudah kaku, dingin dan tak bernyawa atau menurut vonis dokter sudah dinyatakan meninggal.

2.    Kepastian Masih Hidupnya Ahli Waris
Ahli waris yang menerima harta warisan disyaratkan ia harus benar-benar hidup saat muwarisnya meninggal dunia.
3.    Kepastian Diketahuinya Hubungan Ahli Waris
Baik karena kekerabatan, pernikahan, atau wala’ (pembebasan budak) serta keterkaitannya dengan si mayit.
Disamping syarat waris perlu juga dipahami rukun-rukun waris. Rukun adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan bagian harta waris, dimana harta waris tidak akan ditemukan bila tidak ada rukun-rukun tersebut. Rukun pewarisan dalam Islam (Arkan Al-Irtsi) adalah:
1.      Muwarrits, adalah Mayit, dengan kata lain pemilik harta sudah menghembuskan nafasnya yang terakhir dan sejak detik tersebut hartanya sudah berpindah kepada ahli waris, dengan ketentuan syara’.
2.      Warits, adanya ahli waris si-mayit sejak detik si-mayit menghenbuskan nafas terakhir dan disyaratkan ahli waris si-mayitmasih hidup atau dinyatakan hidup ketika si-mayit menghembuskan nafas terakhir.
3.      Mawruts (budel), adanya Harta yang ditinggalkan si-mayit walaupun sedikit seperti meninggalkan baju yang dipakai si-mayit saja berarti sudah memenuhi rukun pewarisan. [5]
F.      Sebab Pembagian Waris
Kriteria seseorang menerima waris atau yang disebut juga ashabul mirost ada tiga, yaitu:
1.      Qorobah
Pertalian hubungan darah adalah dasar pewarisan yang utama. Pertalian lurus keatas disebut ushul, yaitu leluhur yang menyebabkan adanya simati termasuk ibu, bapak, kakek, nenek dst. Pertalian lurus kebawah disebut furu’, yaitu anak keturunan dari simayit, termasuk anak-anak, cucu, cicit dst. Pertalian menyamping disebut hawasyi, yaitu saudara saudari, paman, bibi, keponakan dst.
Sedangkan ditinjau dari segi penerimaan bagian waris, mereka terbagi 4 golongan:
a.       Golongan kerabat yang mendapat bagian tertentu. Golongan ini disebut dengan ashabul-furudh nasabiyah yang jumlahnya 10 orang; ayah, ibu, kakek, nenek, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara perempuan sekandung, saudara perempuan seayah, saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu.
b.      Golongan kerabat yang tidak mendapat bagian tertentu, tetapi mendapatkan sisa dari ashabul-furudh atau mendapatkan seluruh peninggalan bila ternyata tidak ada ashabal-furudh seorang pun. Golongan ini disebut dengan ashabah nasabiyah. Mereka itu adalah anak laki-laki, cucu laki-laki terus ke bawah, ayah, kakek terus ke atas, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah dan paman.
c.       Golangan kerabat yang mendapat dua macam bagian, yaitu fardh dan ushbah bersama-sama, yaitu ayah, jika ia mewarisi bersama anak perempuan dan kakek sama seperti posisi ayah.
d.      Golongan kerabat yang tidak termasuk ashabul-furudh dan ashabah. Mereka ini disebut dengan dzawil-arham. Mereka itu adalah cucu dari anak perempuan terus ke bawah, ayah dari ibu terus ke atas. Ibu dari ayahnya ibu.
2.      Hubungan Perkawinan (mushaharah)
Perkawinan yang sah, menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan istri. Hak saling mewarisi itu selama hubungan perkawinan itu masih tetap berlangsung. Jika mereka telah bercerai, maka tidak ada lagi hak saling mewarisi. Tetapi jika istri tersebut dalam keadaan ditalak raj’i (yang masih memungkinkan untuk rujuk) selama masa iddah, suaminya meninggal dunia, maka istri tersebut berhak mendapatkan waris dari suaminya.
Ada beberapa faktor hubungan perkawinan menyebabkan hak waris mewarisi, sebagai berikut:
a.       Setiap pihak suami-istri menjadi penolong yang setia dalam mengemudikan bahtera hidup, memupuk pendidikan dan pengajaran terhadap anak-anak mereka.
b.      Dalam beberapa hal sering terjadi bahwa seorang suami meninggal dunia, meninggalkan istri dalam keadaan melarat tidak ada yang menafkahi, pemberian waris kepada istri ini besar artinya sampai ada orang lain yang menafkahinya.
c.       Sebaliknya seorang istri meninggal dunia, meninggalkan suami, pemberian waris kepada suami sebagai bukti cinta dan kasih sayangnya istri yang telah mengorbankan hidup dan matinya untuk kepentingan suaminya.
3.      Hubungan Karena Sebab al-Wala’
Al-Wala’ berarti tetapnya hukum syara’ karena membebaskan budak atau memerdekakannya. Apabila seseorang pemilik budak telah membebaskan budaknya, berarti ia telah merubah status hukum orang yang semula tidak bisa bertindak menjadi bisa bertindak, termasuk memiliki dan mengelola harta bendanya sendiri.
Perbudakan adalah pelanggaran hak asasi manusia terbesar yang telah dlegalisir oleh berbagai bangsa didunia sebelum Islam. Bahkan beberapa abad setelah Islam berkembang, dinegara-negara diluar Islam khususnya perbudakan masih diakui. Oleh Islam perbudakan dianjurkan untuk dihapus. Salah satu caranya adalah dengan memberikan hak wala’ kepada orang yang telah membebaskan budak.
Oleh karena kenyataan sekarang ini formalitasnya tidak ada perbudakan lagi, maka sudah barang tentu hak wala’ tersebut diatas juga tidak ada.
G.    Hal-Hal Yang Menggugurkan Hak Mewarisi
Mawani’il irsi atau penghalang hak mewarisi ialah hal-hal yang dapat mengguguran hak ahli waris untuk mewarisi harta warisan pewarisnya. Ahli waris yang kehilangan hak mewarisi karena adanya mawani’il irsi disebut mahrum dan halangannya disebut hirman.
 Mawani’il irsi diantaranya adalah sebagai berikut:
1.    Pembunuhan
Para ulama sepakat bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pewarisnya, pada prinsipnya menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan pewaris yang dibunuhnya.
2.    Berlainan Agama  
Ketika Abu Tholib meninggal dunia, harta warisannya oleh Nabi Muhammad hanya dibagikan kepada ank-anaknya yang masih kafir yakni Uqail dan Tholib. Sedangkan Ali dan Ja’far yang telah muslim tidak dibagikan. Jumhur Ulama sepakat bahwa antara orang muslim dan kafir tidak boleh saling mewarisi.
3.    Perbudakan
Seorang budak statusnya tidak bisa menjadi ahli waris, karena dipandang tidak bisa mengurusi harta dan telah putus hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dan dia tidak dapat mewariskan harta peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta apa-apa.[6]
H.    Urgensi Ilmu Al-Mawarist
Ilmu al-mawarits merupakan ilmu yang digunakan untuk  mencegah perselisihan-perselisihan dalam pembagian harta waris, sehingga orang yang mempelajarinya mempunyai kedudukan tinggi dan mendapatkan pahala yang besar.
Dari Abu Huraiah Rasulullah SAW bersabda :
Pelajarilah Ilmu Al-Faraidh (al-mawarits) kemudian ajarkanlah ilmu tersebut, sesunguhnya ia adalah setengah dari ilmu, dan ia akan dilupakan serta ilmu ini adalah yang pertama sekali akan dicabut dari umat-ku
Hukum mempelajari ilmu Al-mawarits adalah fardhu kifayah. Seharusnya, kaum muslimin saat ini memperhatikan ilmu Al-mawarist, seperti yang pernah dilakukan oleh para ulama terdahulu.
I.       Harta Peninggalan Sebelum Dibagi
1.      Biaya perawatan jenazah (Mu’nat tajhiz)
Biaya-biaya yang diperlukan untuk perawatan jenazah mulai dari saat meninggalnya sampai penguburannya seperti biaya untuk memandikan, kafan, dan menguburnya diambilkan dari harta peninggalan si mayit. Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk di tajhiz hendaknya secara wajar, tidak berlebihan dan tidak terlalu minim.
Adanya biaya keperluan tamu-tamu yang datang untuk selamatan, misalnya pada malam 7 hari atau 40 hari tidak boleh diambilkan dari harta peninggalan, karena hal itu tidak termasuk tajhiz. Tentu saja kecuali kalau seluruh ahli warisnya menyetujui.
2.      Perlunasan hutang-hutang simayit
Hutang adalah suatu tanggungan yang wajib dilunasi. Hutang dapat diklarfikasi kepada dua macam, pertama, dainullah (hutang kepada Allah) seperti puasa dan zakat. Kedua, dainu l-‘ibad (hutang kepada manusia) semua hutang ini harus dibayarkan terlebih dahulu sebelum harta warsian dibagikan.
3.      Pelaksanaan wasiat
Wasiat adalah tindakan seseorang menyerahkan hak kebendaannya kepada orang lain, yang berlaku apabila yang menyerahkan itu meninggal dunia. Wasiat merupakan tindakan yang semasa hidupnya berwasiat atas sebagian harta kekayaannya kepada suatu badan atau orang lain. Wajib dilaksanakan sebelum harta peninggalannya dibagi oleh ahli warisnya.
Ahli waris berhak menerima wasiat, tetapi harus ada izin dengan ahli waris lain, karena akan mengurangi hak-hak mereka. Sedangkan menurut Ibnu Hazm dan Fuqaha Malikiyah tidak boleh sama sekali berwasiat kepada ahli waris, sekalipun ahli waris lainnya mengizinkan. Wasiat tidak boleh melebihi 1/3 sisa pelunasan hutang dan wasiat tidak boleh berupa hal yang dilarang Islam. [7]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ilmu waris juga sering disebut dengan Ilmu Faraidh. Disebut ilmu faraidh karena ilmu yang membahas tentang bagian-bagian yang telah ditentukan kepada ahli waris. Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah. Begitu pentingnya ilmu faraidh sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW. sebagai separoh ilmu.
Rukun pembagian waris ada tiga: Muwarrits, Al-Warits dan Al-Mauruts. Adapun kriteria seseorang menerima waris ada tiga hal, yaitu: Hubungan kekerabatan (al-Qarabah), hubungan perkawinan (al-Musaharah), hubungan karena sebab al-Wala’.
Halangan untuk menerima waris adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris dari mendapatkan harta peninggalan muwarrits. Adapun halangan tersebut adalah: pembunuhan, beda agama, dan perbudakan.
Ada hak-hak yang wajib ditunaikan sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris, sebagai berikut: biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang, pelaksanaan wasiat.


DAFTAR PUSTAKA


Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama RI. 2013. Panduan Praktis Pembagian Waris Dalam Islam, Jakarta: KementerianAgama RI
Maruzi, Muchlis. 1981. Pokok-Pokok Ilmu Waris. Semarang: Mujahidin
Rofiq, Ahmad. 1998. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah 12. Bandung: PT Al Ma’arif
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka Setia


[1] Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998), hlm 355
[2] Muchlis Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), hlm. 1
[3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, (Bandung: PT Al Ma’arif, 1987), hlm. 252
[4] Muchlis Maruzi, Op Cit. hlm. 2-3
[5] Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama RI, Panduan Praktis Pembagian Waris Dalam Islam, (Jakarta: 2013), hlm. 5-22
[6] Muchlis Maruzi, Op Cit. hlm. 9-13
[7] Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kementrian Agama RI., Op cit, hlm.24- 31


EmoticonEmoticon