PERADABAN ISLAM PADA MASA KERAJAAN MAMLUKIYAH DAN SHAFAWIYAH (SANTERI 21)



PERADABAN ISLAM PADA MASA
KERAJAAN MAMLUKIYAH DAN SHAFAWIYAH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Semester Ganjil Tahun 2015
Dosen pengampu : DR. Slamet Untung, M.Ag








1.    Fatchurahman Ali                  (2021114145)
2.    Ika Fia Maulidia                    (2021114018)
3.    Winda Agustiani                   (2021114332)

Kelas:
Pendidikan Agama Islam E



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN)
PEKALONGAN
2015


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang menganut azaz persamaan (equality) sesama manusia dan saling bertergantungan satu sama lainnya. Islam tidak membedakan antara manusia pria atau wanita, orang Arab atau orang non Arab (‘ajam), orang bangsawan atau rakyat jelata karna semuanya sama kedudukannya dimata Allah. Hal ini Allah nyatakan dalam firman-Nya dalam Q.S al-Hujurat ayat 13 : “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan wanita , dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (rukun dan damai), sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. Ayat ini memberikan pemahaman bahwa allah tidak memandang status siapa pun diatas dunia ini karena dengan adanya perbedaan itu menjadikan dirinya lebih dekat kepada allah karena adanya perbedaan menjadikan sebuah konsep ilmu dalam mengembangkan pola pikir dan cakrawala . Karena itu tidak mengherankan jika ada orang yang tadinya adalah budak, orang tawanan, dan setelah ia masuk Islam dan dibebaskan, dia akhirnya menjadi orang penting, bahkan ada yang menjadi panglima, dan raja-raja besar. Dalam sejarah Islam, raja-raja yang berasal dari budak ini disebut Mamalik, atau oleh literatur Barat Mamluk.
Dalam dunia Islam ada dua pemerintahan yang berhasil didirikan oleh kaum mamluk, yaitu Dinasti Mamluk di India (1206-1290) yang dibentuk oleh Qutbuddin Aybak, dan Dinasti Mamluk di Mesir (1250-1517). Pada kesempatan ini penulis akan secara khusus membahas Dinasti Mamluk yang ada di Mesir. Kalau ada negeri Islam yang selamat dari kehancuran akibat serangan-serangan bangsa Mongol, baik serangan Hulagu Khan maupun serangan Timur Lenk, maka negeri itu adalah Mesir yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Dinasti Mamluk (Mamalik).

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Dinasti Mamlukiyah
Kata mamluk adalah bentuk tunggal dari kata mamalik yang berarti budak yang dibeli dengan uang. Mereka didatangkan oleh para sultan pemerintahan Ayyubiyah dari berbagai negeri. Di antaranya Turkistan, Kaukaz, Asia kecil, dan negeri-negeri Asia Tengah. Mereka dididik  dengan pendidikan militer dan dibentuk menjadi pasukan.[1]
Sejarah dinasti Mamalik bermula dari meninggalnya al-Malik as-Shalih penguasa Ayyubiyah terakhir pada tahun 1249. Pada saat as-Shalih meninggal dunia, kematiannya dirahasiakan oleh isterinya, Syajar ad-Dur. Hal itu dilakukan Untuk menjaga semangat pasukan Islam,karena Mesir sedang bertempur melawan Louis IX dari Prancis yang mengirim pasukannya di Diniyath dan al-Manshuriah. Karena keadaan negara mengkhawatirkan, maka Syajar ad-Dur meminta Turansyah anak as-Shalih dari ibu lain, (yang saat itu berada di Syam), untuk menyelamatkan negara dari serangan-serangan tentara salib. Tetapi setelah Turansyah kembali dan berhasil mengalahkan pasukan Salib, justru kemudian Sajar ad-Dur membunuhnya dengan didukung oleh sebagian pengawal dari Istana. Sehingga pada tanggal 2 Mei 1250 M, mereka dapat membunuh Turansyah dan Syajar ad-Dur memproklamirkan diri sebagai penguasa baru.[2]
Dalam sumber lain dikatakan bahwa setelah Al-Malik Shaleh meninggal (1249 M), anaknya Turansyah naik tahta sebagai Sultan. Golongan mamalik merasa terancam karena turansyah lebih dekat dengan tentara asal Kurdi. Akhirnya, pada tahun 1250 M, Mamalik di bawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Setelah kejadian ini Syajar Ad-Dur yang juga berasal dari kaum Mamluk mengambil alih kekuasaan. Kekuasaannya berlangsung kurang lebih selama tiga bulan.
Kekuasaan Syajar Ad-Dur ini berakhir dengan adanya teguran dari Khalifah Abbasiyah di Baghdad, bahwa yang memerintah itu seharusnya adalah seorang pria dan bukan wanita. Syajar tidak sanggup menolak perintah khalifah tersebut, akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan sultan pengganti dirinya yang bernama Izzuddin Aybak agar dapat memerintah di belakang layar. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajar Ad-Dur dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayyubiyah bernama Musa sebagai sultan syar’i (formalitas) di samping dirinya sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, akhirnya Aybak juga membunuh Musa. Ini merupakan akhir dari Dinasti Ayyubiyah di Mesir dan awal dari kekuasaan Dinasti Mamalik.[3]
Pemerintahan Mamluk (sebagaimana menjadi kesepakatan para sejarawan) dibagi menjadi dua fase.pertama, mamluk bahri (budak laut/air) yaitu mereka yang tinggal di sebuah pulau di tepi sungai Nil, yaitu pulau Raudhah. kedua, Mamluk Burji, di sebut burji karena mereka menempati benteng-benteng Arab, burj tepat mereka bermukim di Kairo.[4]
B.  Mamluk Bahri (648-792 H/ 1250-1389 M)
Terdapat beberapa orang yang menonjol dari kalangan Mamluk Bahri, antara lain adalah Izzudin Aybak, Qutus, Baybars, dan Al-Mansur Qolawun.[5] Aybak resmi menjadi sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri. Ia berkuasa selama tujuh tahun (1250-1257 M). Setelah meninggal ia digantikan oleh anaknya Ali yang masih berusia muda. Ali kemudian mengundurkan diri pada tahun 1259 M dan digantikan oleh wakilnya, Qutuz. Setelah Qutuz naik tahta, Baybars yang mengasingkan diri ke Syiria, karena tidak senang dengan kepemimpinan Aybak kembali ke Mesir. Di awal tahun 1260 M, Mesir terancam serangan bangsa Mongol yang sudah berhasil menduduki hampir seluruh dunia Islam. Kedua tentara bertemu di Ain Jalut pada tanggal 13 September 1260 M, tentara Mamalik di bawah pimpinan Qutuz dan Baybars berhasil menghancurkan pasukan Mongol tersebut. Kemenangan ini membuat Mamalik menjadi tumpuan harapan umat Islam di sekitarnya. Penguasa-penguasa Syiria segera menyatakan setia kepada penguasa Mamalik.
Tidak lama setelah itu Qultuz meninggal dunia. Baybar, seorang pemimpin militer yang tangguh dan cerdas, diangkat oleh pasukannya menjadi sultan. Ia adalah sultan terbesar dan termasyur diantara 47 Sultan Mamalik. Ia pula yang dipandang sebagai pembangun haqiqi dinasti Mamalik.[6]
Sultan Baybar mengadakan berbagai pembangunan di Mesir, Palestina dan Syiria. Ada dua tradisi yang tercipta dimasa Baybar. Pertama, mempersiapkan kiswah untuk Baitullah di Mekah dan diantar dengan upacara pada setiap musim haji. Kedua, menempatkan empat imam (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hambali) pada keempat penjuru Baitullah.
Tradisi itu terus dilanjutkan oleh sultan selanjutnya, Qalawun. Sultan Qalawun juga dapat menghancurkan serangan bangsa Mongol yang dipimpin Abaga Khan (anak Hulago Khan) yang ingin menebus kekalahan ayahnya. Pertempuran pecah di Homs, Syiria Utara dan Pasukan Mongol hancur.
Keturunan yang akhir dari Mamalik Bahriyah namanya Haji as-Shalih Zaenuddin bin Asyaraf Sya’ban masih berusia enam tahun. Maka diangkatlah sebagai pemangku raja al-Malikus Zahir Saefudin Barquq. Semenjak itu mulailah dinasti Mamalik Jarakesah (Mamluk Burji).
C.  Mamluk Burji (792-923 H./ 1389-1517 M)
Masa pemerintahan Mamluk Burji diawali dengan berkuasanya sultan Barquq. Barquq sultan yang kuat. Ia berhasil mengalahkan Timur Lenk, Keturunan Hulago Khan. Walaupun Timur Lenk ini sudah memeluk agama Islam, tetapi sisa-sisa kebiadaban dan kekejaman nenek moyangnya masih melekat. Barquq berhasil mengalahkan Timur Lenk. Mesir kembali selamat dari serangan bangsa Mongol dan selamat dari kehancuran.[7]
Pemerintahan selanjutnya dipimpin oleh sultan Al-Nashir Faraj. Ketika al-Nashir berkuasa, pungutan pajak yang sangat memberatkan rakyat juga mulai dilakukan, begitu pula komoditi gula, lada dari India dimonopoli oleh sultan.Kebijaksanaan ini juga diwarisi oleh sultan sesudahnya yang membawa runtuhnya wibawa sultan dimata rakyat. kondisi ini semakin diperparah dengan datangnya musim kemarau yang panjang, yang menimbulkan wabah penyakit mematikan dan kelaparan yang melanda penduduk.
Demikian juga karena kedangkalan terhadap pemahaman agama dan pengamalan di kalangan sultan, begitu juga perpecahan militer seperti kesatuan-kesatuan tentara Syiria semua melepaskan diri dari sultan, semuanya ikut memperparah stabilitas pemerintahan. Walaupun ketika Qait Bay menduduki jabatan Sultan (1468-1495), ia berusaha untuk memperbaiki keadaan sampai ia wafat. Tetapi karena situasinya sudah akut sehingga memperbaikinya bukanlah sesuatu hal yang mudah dilakukan.[8]
D.  Masa Kejayaan Dan Hasil Peradaban
Ada tiga penguasa yang mengalami puncak kejayaan dimasa Dinasti Mamalik ini yaitu Kitbugha, Baybars, dan Qallawun. Hasil peradaban:
1.    Bidang Politik (masa Kitbugha): Pemerintahan bersifat oligarki militer kecuali masa Qallawun pergantian sultan secara turun temurun (singkat).
2.    Bidang ekonomi (Baybars): membuka hubungan dagang dengan Prancis dan Italia dan pembangunan jaringan transportasi dan komunikasi.
3.    Bidang Pemerintahan (Baybars): kemenangan atas tentara mongol di Ayn Jalut, menguasai daerah-daerah sekitar.
4.    Bidang Ilmu Pengetahuan (Baybars): Ilmu banyak berkembang di Mesir seperti sejarah, kedokteran, astronomi, matematika, dan agama. Banyak terdapat buku-buku terutama buku-buku mengenai militer. Ilmuan-ilmuan yang terkenal dimasa ini antara lain: bidang sejarah (Ibn Khalikan, Ibn Taghribardi, Ibn Khaldun), bidang astronomi (Nashiruddin al-Thusi), matematika (Abu al-Faraj al-Ibry), kedokteran (Abu Hasan al-Nafis), kedokteran hewan (Abd al-Mun’im al-Dimyati), perintis psikoterapi (Al-Razi), agama (Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, ahli hadits (Imam as-Suyuti).
5.    Kemajuan bidang Arsitektur masa Qallawun dan hasil karya seni pada logam dan keramik. Banyak dibangun sekolah-sekolah, masjid-masjid yang indah, rumah sakit, museum, perpustakaan, vila, menara masjid dan kubah. [9]
E.     Kemunduran Dan Kehancuran
Faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Dinasti Mamalik antara lain:
1.      Faktor Internal,yaitu perebutan kekuasaan, kemewahan dan budaya korupsi masa Al-Nashir, dan merosotnya perekonomian. Dinasti Mamalik mengalami kemunduran semenjak masuknya budak-budak dari Sirkasia yang kemudian dikenal dengan nama Mamluk Burji (dibawa oleh Qalawun). Solidaritas antara sesama budak mulai menurun terutama setelah mamluk burji berkuasa. Banyak penguasa mamluk burji yang bermoral rendah, tidak suka ilmu pengetahuan, suka kemewahan, dan berfoya-foya sampai pada budaya korupsi, yang menyebabkan cukai dinaikkan. Akibatnya, semangat kerja rakyat menurun. Hal ini menyebabkan perekonomian yang tidak stabil.
2.      Faktor Eksternal, Suatu kekuatan politik baru yang besar muncul sebagai tentangan  bagi Mamalik, yaitu kerajaan Utsmani. Kerajaan inilah yang mengakhiri riwayat Mamalik di Mesir.Serangan dari turki Utsmani dibawah kekuasaan Sultan Salim tahun 923 H/ 1517 M. Dinasti Mamalik kalah melawan pasukan Utsmani dalam pertempuran yang menentukan diluar kota Kairo. Mesir selanjutnya diperintah oleh Dinasti Utsmani sebagai salah satu propinsinya. Walau demikian, sesungguhnya kaum mamluk masih bercokol di Mesir hingga habis riwayatnya sama sekali tahun 1226 H/ 1811 M dibawah tekanan Muhammad Ali Pasya, Seorang Gubernur Turki yang mendapat otonomi wilayah Mesir pada waktu itu.[10]

F.   Dinasti Shafawiyah
Kerajaan Shafawi berdiri disaat kerajaan Utsmani di Turki mencapai puncak kejayaan. Kerajaan Shafawi ini berasal dari gerakan Tarekat di Ardabil sebuah kota di Azerbeijan (wilayah Rusia) yang berdiri hampir bersamaan dengan berdirinya kerajaan Utsmani di Turki. Nama Shafawiyah diambil dari nama pendirinya yaitu Safiuddin Ishak Zahidi (1252-1334 M).[11]
Keberadaan Safiuddin yang termasyur itu, secara nasab dalam perdebatan, ada yang menyebutkan bahwa ia adalah seorang Syi’ah keturunan Musa al-Kadzim, Imam ketujuh Syi’ah dua belas. Ada juga yang mengatakan bahwa dia adalah keturunan penduduk asli Iran dari Kurdistan seorang Sunni Madzhab Syafi’i, yang konon kemudian pengganti yang kedua berubah menjadi Syi’ah. Meskipun pada awalnya gerakan tasawuf Shafawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar, kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli bid’ah”. Tetapi tahap selanjutnya gerakan tarekat Shafawiyah sudah tidak murni lagi sebagai gerakan keagamaan, karena setelah itu sudah mengarah pada dunia politik.
 Pergeseran Tarekat Shafawiyah dari gerakan keagamaan menjadi gerakan politik terjadi pada abad 15 M, yaitu ketika tarekat ini berada dibawah kepemimpinan Junaid bin Ibrahim (1447-1460) yang berkeinginan untuk membentuk sebuah pemerintahan sendiri. Pada saat itu Persia terdapat dua dinasti bangsa Turki yang berkuasa, yaitu dinasti Kara Koyunlu (1375-1468) yang dikenal dengan Black Sheep (Domba Hitam) yang beraliran Syi’ah dan berkuasa dibagian Timur, sementara diwilayah bagian Barat dikuasai oleh dinasti Ak Koyunlu, yang dikenal dengan White Sheep (domba putih) yang beraliran Sunni. [12]
Sepeninggal imam Junaid, pimpinan tarekat digantikan oleh anaknya yang bernama Haidar. Atas persekutuan dengan Ak-Koyunlu, Haidar berhasil mengalahkan Kara Koyunlu. Persekutuan antara Haidar dengan Ak Koyunlu berakhir karena sikap Ak Koyunlu memberikan bantuan kepada Sirwan ketika terjadi pertwmpuran antara Haidar dengan pasukan Sirwan. Pasukan Shafawiyah mengalami kehancuran, dan Haidar sendiri terbunuh dalam pertempuran ini.[13]
Kepemimpinan gerakan Shafawi selanjutnya berada ditangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun. Selama lima tahun Ismail dan pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan tersebut dinamakan Qizilbash (pasukan baret merah).
Di bawah keemimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan Ak-Koyunlu di Sharus dekat Nakhchivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukan Tabriz, ibukota Ak Koyunlu, dan berhasil merebut serta mendudukinya. Dikota ini Ismail memproklamirkan dirinya sebagai raja pertama Dinasti Shafawi. Ismail inilah yang dipandang sebagai pendiri yang pertama dari Kerajaan Shafawiyah. [14]
G. Para Penguasa Safawi
Ismail berkuasa selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501-1524 M. Hanya selang waktu 10 tahun wilayah kekuasaan Ismail sudah meliputi seluruh Persia dan bagian Timur Bulan Sabit Subur (Fertile Crescent). Ambisi politik mendorongnya untuk terus menambah kekuasaan, namun Ismail terbentur musuh yang sangat jahat dan membenci golongan Syi’ah, adalah turki Utsmani. Peperangan dahsyat terjadi pada tahun 1514 M. di Chaldiran dekat Tabriz dan kemenangan akhirnya berpihak pada Turki Utsmani. Sepeninggal Ismail peperangan antara dua kerajaan besar ini terus berlanjut pada pemerintahan Tahmasp I, Ismail II, dan Muhammad Khudabanda. Pada masa tiga raja ini, Safawi melemah selain sering terjadi pertentangan antar kelompok didalam negeri.
Munculnya Raja Safawi kelima, Abbas I (1588-1628) mampu memulihkan kekuatan kerajaan Safawi dengan menempuh kebijakan sebagai berikut:
Pertama, mengurangi dominasi pasukan Qizilbash dengan cara membentuk pasukan baru yang direkrut dari budak tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, Sircassia. Kedua, mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani, yaitu ia rela melepaskan wilayah Azerbaijan, Georgia, dan sebagian wilayah lainnya. Dia juga berjanji tidak akan menghina abu bakar, Umar, Utsman. Sebagai jaminan atas perjanjian itu, ia menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.
Dengan langkah-langkah itu, boleh dikatakan Abbas I membuat kerajaan Safawi kembali menguat. Ia kembali melirik wilayahnya yang sempat lepas. Kemudian ia kembali mencoba menyusun kekuatan militer yang kuat, setelah terbina dengan baik, ia berusaha merebut wilayahnya dari Turki Utsmani. Pada tahun 1602        M, disaat Turki dibawah kepemimpinan Sultan Muhammad II, Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan dan Baghdad. Pada tahun 1622 M. pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hurmuz.[15]
H.  Masa Kemajuan Kerajaan Safawi
Massa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawi. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara, dan sekaligus ia berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaannya yang sebelumnya lepas tersebut oleh kerajaan Utsmani.
1.      Bidang Ekonomi, bukti nyata perkembangan perekonomian Safawi adalah dikuasainya pulau Hurmuz dan pelanuhan Gumrun diubah menjadi Bandar Abbas pada masa Abbas I. Maka salah satu jalur dagang yang menghubungkan antara Timur dan Barat sepenuhnya menjadi milik kerajaan Safawi. Disamping sektor perdagangan, kerajaan Safawi juga mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah Bulan Sabit Subur (fortille crescent).
2.      Ilmu Pengetahuan, Bangsa Persia dalam sejarah Islam dianggap berjasa besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Maka tidaklah mengherankan bila kondisi tersebut terus berlanjut, sehingga muncul ilmuan seperti Bahauddin asy-Syaeroni, Sadaruddin asy-Syaerozi, Muhammad al-Baqir ibn Muhammad Damad, masing-masing ilmuan dibidang filsafat, sejarah, dan teolog.
3.      Bidang Seni, Kemajuan seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah ibukota kerajaan ini, sejumlah masjid, rumah sakit, jembatan yang memanjang di atas Zende Rud dan istana Chihilsutun. Kota Isfahan turut diperindah dengan kebun wisata.[16]
I.       Mundurnya Kerajaan Shafawi
Terdapat sejumlah sebab yang turut menyokong kemunduran kerajaan ini, selain faktor ketidakcocokan sejumlah raja setelah Abbas I hingga pada akhirnya membawa pada kehancurannya. Sebab tersebut antara lain adalah konflik militer yang berkepanjangan dengan keraaan Utsmani. Berdirinya kerajaan Shafawiyah yang beraliran Syi’ah dipinang oleh kerajaan Utsmani sebagai kekuatan yang mengancam kekuasaannya.
Bahwa pasukan budak yang dibentuk oleh Abbas I ternyata tidak memiliki semangat yang tingi sebagaimana semangat Qizilbash yang merupakan pasukan inti, yang sering disebut pasukan “kepala merah”. Orang Shafawiyah mengenakan serban merah berlapis 12, jumlah yang melambangkan 12 Imam Syi’ah. Hal ini dikarenakan mereka tidak memiliki ketahanan mental yang dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Pada masa belakangan pasukan Qizilbash tidak memiliki militansi dan semangat mereka telah luntur tidak seperti yang dimiliki Qizilbash generasi awal. kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap lenyapnya ketahanan dan pertahanan kerajaan Shafawi.[17]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dinasti Mamluk merupakan salah satu Dinasti dalam peradaban islam pada masa keemasan islam atau kejayaan islam. Sebagaimana sekilas diketengahkan, sejarah panjang dinasti Mamluk merupakan salah satu bukti bentuk sistem bergulirnya pemerintahan dalam peradaban Islam yang kompleks dalam arti tidak terkungkung pada sistem pemerintahan berbasis keturunan, bahkan tidak juga dominasi agamawan atau aristokrat dimana kalangan budak mampu mengisi sejarah peradaban Islam dengan berbagai sumbangan serta sisi positif dan negatifnya.
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah tarekat yang berdiri di Ardabil, tarekat tersebut bernama Safawi. Kerajaan Safawi berada dipuncak kajayaan pada masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi antara lain dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bidang pembangunan fisik dan seni. Akan tetapi setelah Abbas meninggal kerajaan Safawi mengalami kemunduran, di sebabkan karena raja yang memerintah sangat lemah, sering terjadinya konflik intern dalam perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana. Hanya dalam satu abad setelah ditinggalkan Abbas, kerajaan Safawi hancur.



DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Usairy, Ahmad. 2011.Sejarah Islam.Jakarta : Akbar Media
Amin, Samsul Munir. 2009.  Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah
Fu’adi,Imam.2012. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Yogyakarta: Teras
Khoiriyah. 2012. Reorientasi Wawasan Sejarah Islam. Yogyakarta: Teras
Sunanto, Musyrifah. 2003. Sejarah Islam Klasik.Jakarta: Prenada Media
Syukur, Fatah. 2012.Sejarah Peradaban Islam.Semarang: PT. Pustaka Rizki
Yatim, Badri. 2007. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada



[1]Ahmad al-‘Usairy, Sejarah Islam, (Jakarta : Akbar Media, 2011), hlm. 304
[2]Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 143-144
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 123-125
[4]Ahmad al-‘Usairy, loc cit., hlm. 305
[5]Imam Fu’adi, loc cit., hlm. 145
[6] Badri Yatim, loc cit., hlm. 125-126
[7]Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm. 211-214
[8]Imam Fu’adi, loc cit., hlm. 150-151
[9]Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 183-184
[10]Ibid., hlm. 184-185
[11]Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 139
[12]Imam Fu’adi, op cit., hlm. 212-216
[13] Fatah Syukur, op cit., hlm. 139-140
[14] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 189
[15]Fatah Syukur, Op cit., hlm. 140
[16]Ibid., hlm. 141
[17]Ibid., hlm. 147


EmoticonEmoticon