BAB I
PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN
1.
Usia dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama
pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani.
Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah
meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas
tuhannya,
2.
Fase bayi (0-2 tahun)
Pada fase kedua ini juga belum
banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan
ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan
iqamah saat kelahiran anak.
3.
Fase anak usia dini (3-6 tahun)
Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak
dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak
menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya.
Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam
menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh
dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
Masa ketiga tersebut merupakan
saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah
mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan
dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal
Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang
yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum
mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah
peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan
tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
4.
Masa anak sekolah (7-12 tahun)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar.
Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang
berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui
lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada
masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga
mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka
pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat
dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
Seiring dengan perkembangan
aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan
yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan
intelektualitasnya yang semakin berkembang.
5.
Masa Remaja
Awal (13-16 tahun)
Setelah si anak melalui umur
12 tahun, berpindah ia dari masa kanak-kanak yang terkenal tenang, tidak banyak
debat dan soal. Mereka memasuki masa goncang, karena pertumbuhan cepat di
segala bidang terjadi. Kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur
sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan karena ia kecewa pada
dirinya sendiri. Maka kepercayaan remaja terhadap Tuhan kadang-kadang sangat
kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang yang terlihat pada
cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin kadang juga malas. Perasaannya terhadap
Tuhan tergantung kepada perubahan emosi yang sedang dialaminya. Terkadang
ia sangat membutuhkan Tuhan ketika ia menghadapi bahaya, takut akan gagal atau
merasa berdosa. Tapi terkadang pula ia merasa tidak membutuhkan Tuhan karena ia
merasa sedang senang, riang dan gembira.
Hendaknya guru agama memahami
keadaan anak yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang
berjalan sangat cepat. Guru agama dapat memilihkan cara penyajian agama yang
tepat bagi mereka sehingga kegoncangan perasaan yang dapat diatasi.
Pada masa ini terjadi perubahan
jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi,
kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada
umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan.
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat,
sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan
kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya,
mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada tuhan kadang-kadang
sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada
cara ibadanya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. penghayatan
rohani cenderung skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk
melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh
kepatuhan.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena
disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan
dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, namun di sisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang oleh
agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal
lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk
bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga (orangtua). Apabila orangtua
atau guru-guru kurang memahami dan mendekatinya secara baik, bahkan dengan
sikap keras , maka sikap itu akan muncul dalam bentuk tingkah laku negatif,
seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.
Ciri-ciri khas masa remaja awal ( 13- 17 tahun
), yaitu :
1. Status masa remaja dalam
periode ini tidak tertentu.
Dalam periode ini status anak remaja dalam
masyarakat boleh dikatakan tidak dapat ditentukan dan membingungkan. Pada suatu
waktu ia diperlakukan seperti anak-anak, akan tetapi bilamana dia berkelakuan
seperti anak-anak, dia mendapat teguran supaya bertindak sesuai dengan umurnya
jangan seperti anak-anak.
2. Dalam masa ini anak remaja
emosional
Emosi-emosi yang dialami anak-anak remaja antara
lain adalah marah, takut cemas, rasa ingin tahu, iri hati, sedih, kasih sayang
dan sebagainya.
3. Anak remaja dalam masa
ini tidak stabil keadaannya
Dalam masa ini remaja sangat tidak stabil
keadaannya. Kesedihan tiba-tiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya diri
sendiri berganti dengan rasa meragukan diri sendiri. Kestabilannya ini juga
nampak dalam hubungannya dengan masyarakat. Persahabatannya berganti-ganti
terutama dengan teman dari lawan jenis sehingga dia belum dapat menentukan
rencana untuk masa depan.
4. Anak-anak remaja mempunyai
banyak masalah
Bagi anak remaja ia merasa memiliki banyak masalah karena dahulu di Masa
Kanak-kanak dia selalu dibantu oleh orang tua dan guru dalam menyelesaikan
persoalannya. Beberapa macam masalah yang
dihadapi anak remaja ialah :
a. Masalah berhubungan dengan
keadaan jasmaninya
b. Masalah berhubungan dengan
kebebasannya
c. Masalah berhubungan dengan
nilai-nilai
d. Masalah berhubungan dengan
peranan wanita dan pria
e. Masalah berhubungan dengan
hubungan anggota dari lawan jenis
f. Masalah behubungan dengan
hubungan dalam masyarakat
g. Masalah berhubungan dengan
jabatan
h. Masalah berhubungan dengan kemampuan
6.
Masa Remaja Akhir (17-21)
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada
waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang
berarti bahwa tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan
baik, kecerdasan telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan
dan penggunaannya saja yang perlu diperhatikan.
Akibat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, serta
kecerdasan yang telah mendekati sempurna, atau dalam istilah agama mungkin
dapat dikatakan telah mencapai tingkat baligh-berakal, maka remaja itu merasa
bahwa dirinya telah dewasa dan dapat berpikir logis. Di samping itu pengetahuan
remaja juga telah berkembang pula, berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan
oleh bermacam-macam guru sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing
telah memenuhi otak remaja. Remaja saat itu sedang berusaha untuk mencapai
peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin mengembangkan
agama, mengikuti perkembangan dan alur jiwanya ynag sedang bertumbuh pesat itu.
Kendatipun kecerdasan remaja telah sampai kepada
menuntut agar ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan
dijelaskan secara ilmiah dan orisinil, namun perasaan masih memegang peranan
penting dalam sikap dan tindak agama remaja.
Diantara sebab kegoncangan perasaan, yang sering
terjadi pada masa remaja terakhir itu adalah pertentangan dan ketidakserasian
yang terdapat dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Disamping itu, yang juga menggelisahkan
remaja adalah tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh
agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat. Terutama yang sangat
menggelisahkan remaja, apabila pertentangan itu terlihat pada orangtua,
guru-gurunya di sekolah, pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh agama. Banyak lagi
faktor yang menggoncangkan jiwa remaja, seyogyanya guru agama dapat
memahaminya, agar dapat menyelami jiwa remaja itu, lalu membawa mereka kepada
ajaran agama, sehingga ajaran agama yang mereka dapat itu, betul-betul dapat
meredakan kegoncangan jiwa meraka.
Masa remaja terakhir
dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan
telah mendekati kesempurnaan. Istilah agama dapat dikatakan telah mencapai
tingkat baligh-berakal. Mereka mengharap atau menginginkan perhatian dan
tanggapan orang lain, baik dari orang tua, guru maupun masyarakat ramai agar
mereka dihargai dan diperlakukan seperti orang dewasa.
Remaja sedang berusaha untuk
mencapai peningkatan dan kesempurnaan kepribadiannya maka mereka juga ingin
mengembangkan agama. Caranya
menerima dan menanggapi pendidikan agama jauh berbeda dari masa-masa
sebelumnya. Mereka ingin agar agama
menyelesaikan kegoncangan dan kepincangan yang terjadi dalam masyarakat.
Kecerdasan remaja telah sampai
kepada menuntut agar ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat
difahami dan dijelaskan secara ilmiah dan rasional. Ada hal-hal yang
menggelisahkan remaja yaitu tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang
diajarkan oleh agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat.
Oleh karena itu,
sebagai guru agama hendaknya dapat memahami betul-betul perkembangan jiwa agama
yang sedang dilalui oleh remaja dan memilih metode yang cocok dalam pelaksanaan
pendidikan agama.
Ciri-ciri khas dalam masa remaja akhir (17 -21
tahun ), yaitu :
1. Kestabilan bertambah
2. Lebih matang dalam cara
menghadapi masalah
3. Ikut campur tangan dari orang
dewasa berkurang
4. Ketenangan emosional
bertambah
5. Pikiran realistis bertambah
6. Lebih banyak perhatian
terhadap lambang-lambang kematangan
Perkembangan emosi dalam masa remaja akhir
1. Marah
2. Takut dan cemas
3. Iri hati
4. Rasa menginginkan dengan
sangat pada benda-benda milik anak atau orang lain
5. Rasa senang
6. Rasa sedih
7. Kasih saying
7.
Masa Dewasa Awal (22 – 40 tahun)
- Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat).
- Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll.
- Tugas-tugas perkembangan (development task) pada usia ini meliputi : pengamalan ajaran agama, memasuki dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga, memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok sosial yang menyenangkan.
8.
Masa tua /Setengah Baya (40 – 60 tahun)
- Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik, asam urat, dll).
- Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan ajaran agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu anak remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa.
9.
Masa Lanjut usia (60 – Mati)
- Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran, penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial).
- Tugas-tugas perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan ajaran-ajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan fisik dan kesehatan, masa pensiun, berkurangnya penghasilan dan kematian pasangan hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan hubungan dengan anggota keluarga.
BAB II
CONTOH KONVERSI AGAMA
1.
Sayyidina Umar ra
Umar bin khattab sebelum
masuk Islam adalah musuh terkuat dari nabi Muhammad saw dalam menyebarkan
Islam. Dia diberi tahu bahwa adiknya Fatimah binti Khottob telah masuk Islam
dan hidayah tepat datang di muka rumah dimana ia akan melampiaskan nafsu
amarahnya, terdengar suara merdu lemah gemulai dari dalam rumah Fatimah beserta
keluarganya mengaji bersama membaca surat Thoha. Mendengar begitu suara merdu
dan isi bacaannya sangat bagus, susunan katanya rapi bernilai sastra tingkat
tinggi melebihi sastra lain buatan ahli sastra Arab saat itu yang terkenal
dibidang sastra. Ia masuk ke rumah, bukan marah tetapi ingin tahu apa yang
dibaca Fatimah. Setelah dijelaskan ia sadar dan masuk Islam. Akhirnya ia
menjadi tokoh Islam. Tentu saja hal ini hidayah Allah dan berkat doa nabi.
Tetapi proses dan sebab musababnya melalui kekaguman bunyi al-Quran dan suara
pembacanya, melebihi semua hasil sastra yang ada.
Sepintas lalu kita melihat, bahwa proses konversi
agama pada Umar tejadi sekejap mata, hanya karena mendengar ayat
Al-Qur’an yang mengubah hatinya. Ia berbalik 1800 dalam
sifat-sifat, tindak, tingkah laku, dan perasaannya. Ahli agama dengan mudah
menyatakan bahwa, “Hidayah Allah” , telah datang, Tuhan membalikkan hati yang
keras seperti batu itu, menjadi lembut; keingkaran berubah menjadi keyakinan
yang mendalam dan seterusnya.
Ahli-ahli tidak akan mengingkari soal petunjuk Allah
yang diberikan-Nya kepada siapa pun, yang di kehendaki-Nya dan kapan
saja. Di yang Maha Mengatur, hati manusia sekalipun. Namun maslah itu, adalah
diluar bidang penelitian ilmu jiwa, tidak dapat dianalisa dan diteliti secara
ilmiah modern, karena itu termasuk masalah kepercayaan. Oleh sebab itu, yang
dicoba oleh peneliti-peneliti di bidang Ilmu Jiwa ialah mengetahui proses jiwa,
yang terjadi pada sesorang, yang mengalami konversi agama dan perasaan apa yang
meliputinya waktu itu.
BAB III
PENGARUH PENDIDIKAN
TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
1. Keluarga
Menurut
Rosul Allah swt, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah
keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah
memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut
anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua
orang tua mereka.
Anak-anak
sejak masa bayi hingga masa sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu
keluarga. Sehingga tak mengeherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa
kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan
keluarga.
Keluarga
sebagai lembaga pendidikan, maka orang tua terutama pihak ibu memilki peran
yang sangat strategis dalam mengembangkan pendidikan anak-anaknya. Karena itu,
kedua orang tua (ibu dan bapak) harus membekali diri dengan berbagai ilmu
pengetahuan yang nantinya akan ditransfer dan diinternalisasikan kepada anak,
serta orang tua dituntut untuk menyiapkan waktunya yang cukup guna mendampingi
pendidikan anaknya. Begit pentingnya peranan orang tua dalam keluarga sebagai
pendidik.
Pengaruh
pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun berbentuk kebiasaan terhadap
masa depan perkembangan seorang anak. Meskipun seorang bayi manusia dibekali
potensi kemanusiaan, namun dilingkungan pemeliharaan potensi tersebut tidak
berkembang.
Keluarga
sebagai tempat pendidikan pertama dalam proses perkembangan rasa agama setiap
individu. Kedekatan orang tua dengan anaknya menjadikan orang tua sebagai a
significant person bagi anaknya. Semua perilaku keagamaan orang tua terserap
oleh anak menjadi bahan identifikasi diri anak terhadap orang tuanya. Maka
terjadilah proses imitasi perilaku, karena sekedar peniruan saja atau didiringi
oleh keinginan untuk menjadi seperti orang tuanya. Karena proses imitasi yang
terus menerus maka perilaku keagamaan orang tua terinternalisasi dalam diri
anak dan mengkristal menjadi kata hati.
Pendidik
keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan.
Perkembangan agama menurut W.H. Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan
sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang
menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun, demikian
melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin
dan terlibat didalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan ketenagaan jiwa ini
pulalah agama itu berkembang. Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran
pendidikan keluarga dan menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka, tak
mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.
2. Kelembagaan
Di
masyarakat lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya
dididik dilingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara
kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan
belum ada. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat
modern, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu maka
dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan yang
dimaksud. Dengan demikian secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada
hakikatnya adalah lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat).
Sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan
adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua
untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.
Memang
sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh
pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap jiwa keagamaan para
anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latarbelakang
pendidikan agama dilingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa
keagamaan pada anak (Jalaluddin, 2010: 296). Barangkali pendidikan agama yang
diberikan kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa
keagamaan pada anak.
Pendidikan
agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi jiwa
keagamaan pada anak. Namun demikian besar kecilnya tersebut sangat tergantung
pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai
agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh
karena tu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk
kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
3. Masyarakat
Masyarakat
merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat
bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah
keluarga, perkembangan pendidikan, dan lingkungan masayarakat. Keserasian
antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak positif bagi
perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Pergaulan
hidup atau interaksi sosial antar manusia yang harmonis, damai dan sejahtera
merupakan cita-cita yang harus diperjuangkan oleh pendidikan. Visi dan misi
pendidikan adalah menumbuhkan dan menggerakkan semangat manusia untuk berani
bergaul dan bekerjasama dengan orang lain secara baik dan benar. Kondisi
lingkungan masyarakat sangat menentukan proses pergaulan hidup manusia. Ada
masyarakat yang dalam kehidupannya selalu dinamis dan ada pula yang statis, ada
yang modern, dan ada pula yang primitif. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi
pola interaksi manusia, terutama dalam proses pendidikan.
Besar
pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari
aspek kepribadian yang terintergrasi dalam jiwa pertumbuhan psikis. Jiwa
keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya
dengan mengenal saja. Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa
pembentukan nilai-nilai kesopanan atau nili-nilai yang berkaitan dengan
aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Hubungan
antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di
lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi
pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki
ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan
peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari
seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri
(jalaludin: 299). Perilaku setap individu juga diasumsikan sebagai hubungan
antara manusia dengan lingkungannya.
4.
Media Sosial
Media
sosial adalah media komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan, dalam arti
kata khalayak dalam jumlah yang relatif sangat banyak secara bersama-sama pada
saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui media tersebut,
misalnya surat kabar, radio, siaran televisi. Media sosial juga dapat disebut
sebagai media online dimana para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi,
berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, sosial network, atau jejaring
sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki.
Pendidikan
itu selalu mengacu dan dipengaruhi oleh perkembangan budaya manusia sepanjang
hidupnya. Budaya masa lalu berbeda dengan budaya masa kini, dan berbeda pula
dengan budaya masa depan. Perkembangan dan kemajuan teknologi modern sekarang
ini sebagai bukti perkembangan budaya manusia.
Manusia
dengan mudah mengakses berbagai ilmu dengan melalui sarana teknologi, namun
disisi lain manusia juga sangat mudah terpengaruh dengan dampak negatif dari
kemajuan teknologi tersebut. Visi dan misi pendidikan adalah berusaha
memanfaatkan, mengkritisi dan menfilter perkembangan budaya manusia, terutama
dalam hal dampak negatif dari kemajuan teknologi. Di samping itu, pendidikan
juga harus diarahkan untuk membangun kreativitas manusia agar berbudaya, mampu
memproduk teknologi dan menggunakannya dengan baik dan benar.
Munculnya
berbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari perkembangan
budaya modern manusia, merupakan khazanah yang perlu direspon oleh dunia
pendidikan. Dunia pendidikan perlu mengambil peran dan memanfaatkan teknologi,
tentu harus disesuaikan dengan tradisi dan budaya yang berlaku di masyarakat.
Keberadaan
media sosial sangat berpengaruh dalam kehidupan. Selain dampak positif, dampak
negatif yang ditimbulkan dari media sosial juga beragam. Berbagai macam modus
kejahatan di media sosial banyak ditemukan terutama pada remaja seperti
kekerasan, pelecehan, bahkan tindak kriminal seperti penipuan, pemerasan,
pemerkosaan, dan sebagainya.
Perkembangan
media sosial terasa begitu amat pesat pada kurun waktu terakhir ini. Media ini
membantu seseorang untuk bertemu teman lama dan mengenal teman baru.
Mendekatkan jarak teman yang berada di daerah berbeda. Salah satu media sosial
yang banyak digunakan oleh anak-anak dan remaja adalah televisi, selain karena
televisi bisa dilihat dan didengarkan. Karena dengan televisi kita dapat
mendapat informasi tentang apa saja. Dan acara televisi pada saat ini sudah
sangat berkembang. Dari acara kartun sampai dengan acara politik. Dengan adanya
acara yang sedemikian rupa itulah dapat membuat anak-anak dan remaja kecanduan
jika sudah berada dan menonton televisi, sehingga mereka lupa dengan kewajiban
mereka sebagai pelajar yaitu belajar. Akibatnya nilai pelajaran anak-anak
tersebut menurun dan mereka menjadi anak yang malas karena terlalu asik melihat
tayangan di televisi. Saat ini banyak stasiun televisi yang menayangkan siaran
televisi yang tidak mendidik anak remaja justru menayangkan siaran yang sama
sekali tidak mendidik dan tidak ada manfaatnya.
Mengingat pengaruh negatif media sosial terhadap remaja yang
sangat banyak dan meresahkan, perlu dilakukan arahan, tuntunan, bimbingan,
panduan, dan pengawalan dari pihak-pihak seperti orangtua, guru, dan pemangku
kepentingan dalam pendidikan anak dan remaja. Kecenderungan meningkatnya tindak
kekerasan dan perilaku negatif pada anak dan remaja diduga sebagai dampak
gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar dalam
merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak dan remaja relatif
masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.
5. Tempat
Ibadah
Secara umum ibadah dapat berperan
sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa ia sebagai
insan diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada diri-Nya
Dalam
kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan
oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Latihan- latihan yang
menyangkut ibadah seperti sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an, sopan santun,
dan lain sebagainya, semua itu harus dibiasakan sejak kecil, sehingga
lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang dan terbiasa dengan aktifitas tersebut
tanpa ada rasa terbebani sedikitpun. Sifat peniru ini merupakan modal yang
positif dalam pendidikan keagamaan pada
anak.
pembinaan
agama anak juga penting dilakukan melalui pembauran secara langsung dengan
masyarakat luas yang terkait dengan kegiatan agama seperti waktu mengikuti
sholat jum’at, tarawih, meramaikan hari raya, menggemakan takbir maupun
kegiatan lainnya. Dengan mengajak anak sekali waktu berbaur secara langsung
dengan masyarakat yang melakukan peribadatan maka anak akan semakin termotivasi
untuk menirukan perilaku-perilaku agama yang dilakukan oleh masyarakat umum.
Hal ini perlu dilakukan mengingat agama anak masih bersifat anthromorphis. (pengalamannya
dikala ia berhubungan dengan orang lain.)
Pembinaan
agama kepada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang melalui ucapan
yang jelas serta tindakan secara langsung. Seperti mengajak anak shalat, maka
terlebih dahulu diajarkan mengenai hafalan bacaan-bacaan shalat secara
berulang-ulang hingga anak tersebut hafal diluar kepala. Hal tersebut diiringi
dengan tindakan atau praktik sholat secara langsung dan akan lebih menarik jika
dilakukan bersama teman-temannya.
Perlunya
melkukan kunjungan ke tempat-tempat atau pusat-pusat agama yang lebih besar
kapasitasnya. Misalnya anak-anak yang tinggal di desa sesekali perlu diajak
berkunjung ke masjid jami’ yang ada di kota yang bangunan-bangunan dan jumlah
jama’ahnya lebih besar. Atau bisa juga anak diajak berkunjung ke pondok
pesantren, kampus-kampus islam, dan lain sebagainya. Selain dengan kunjungan,
anak dapat diajari tentang agama melalui layar kaca televisi ataupun VCD. Pembinaan
dengan cara ini sangatlah penting mengingat rasa heran dan kagum merupakan
tanda dan sifat keagamaan pada anak
EmoticonEmoticon