PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN (SANTRI 21 PSIKOLOGI KEAGAMAAN)



BAB I
PERKEMBANGAN JIWA KEAGAMAAN

1.        Usia dalam kandungan
Untuk memahami perkembangan agama pada masa ini sangatlah sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski demikian perlu dicatat bahwa perkembangan agama bermula sejak Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya perjanjian manusia atas tuhannya,
2.        Fase bayi (0-2 tahun)
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui perkembangan agama pada seorang anak. Namun isyarat pengenalan ajaran agama banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan dan iqamah saat kelahiran anak.
3.        Fase anak usia dini (3-6 tahun)
Pada tingkatan ini konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi. Pada tingkat perkembangan ini anak menghayati konsep ke-Tuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. Kehidupan masa ini masih banyak dipengaruhi kehidupan fantasi hingga dalam menanggapi agama pun anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongeng-dongeng yang kurang masuk akal.
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk menanamkan nilai keagamaan. Pada fase ini anak sudah mulai bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama sekalipun sifatnya hanya meniru.
4.        Masa anak sekolah (7-12 tahun)
Tingkat ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realis). Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya. Pada masa ini ide keagamaan pada anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu maka pada masa ini anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang dewasa dalam lingkungan mereka.
Seiring dengan perkembangan aspek- aspek jiwa lainnya, perkembangan agama juga menunjukkan perkembangan yang semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan perkembangan intelektualitasnya yang semakin berkembang.
5.      Masa Remaja Awal (13-16 tahun)
Setelah si anak melalui umur 12 tahun, berpindah ia dari masa kanak-kanak yang terkenal tenang, tidak banyak debat dan soal. Mereka memasuki masa goncang, karena pertumbuhan cepat  di segala bidang terjadi. Kepercayaan kepada agama yang telah bertumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula  mengalami kegoncangan karena ia kecewa pada dirinya sendiri. Maka kepercayaan remaja terhadap Tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi ragu dan berkurang yang terlihat pada cara ibadahnya yang kadang-kadang rajin kadang juga malas. Perasaannya terhadap Tuhan tergantung kepada perubahan emosi yang sedang dialaminya.  Terkadang ia sangat membutuhkan Tuhan ketika ia menghadapi bahaya, takut akan gagal atau merasa berdosa. Tapi terkadang pula ia merasa tidak membutuhkan Tuhan karena ia merasa sedang senang, riang dan gembira.
Hendaknya guru agama memahami keadaan anak yang sedang mengalami kegoncangan perasaan akibat pertumbuhan yang berjalan sangat cepat. Guru agama dapat memilihkan cara penyajian agama yang tepat bagi mereka sehingga kegoncangan perasaan yang dapat diatasi.
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan.
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, sehingga memungkinkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran. Bahkan, kepercayaan agama yang telah tumbuh pada umur sebelumnya, mungkin pula mengalami kegoncangan. Kepercayaan kepada tuhan kadang-kadang sangat kuat, akan tetapi kadang-kadang menjadi berkurang yang terlihat pada cara ibadanya yang kadang-kadang rajin dan kadang-kadang malas. penghayatan rohani cenderung skeptis sehingga muncul keengganan dan kemalasan untuk melakukan berbagai kegiatan ritual yang selama ini dilakukannya dengan penuh kepatuhan.
Kegoncangan dalam keagamaan ini mungkin muncul, karena disebabkan oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor internal berkaitan dengan matangnya organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun di sisi lain ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang oleh agama. Kondisi ini menimbulkan konflik pada diri remaja. Faktor internal lainnya adalah bersifat psikologis, yaitu sikap independen, keinginan untuk bebas, tidak mau terikat oleh norma-norma keluarga (orangtua). Apabila orangtua atau guru-guru kurang memahami dan mendekatinya secara baik, bahkan dengan sikap keras , maka sikap itu akan muncul dalam bentuk tingkah laku negatif, seperti membandel, oposisi, menentang atau menyendiri, dan acuh tak acuh.
Ciri-ciri khas masa remaja awal ( 13- 17 tahun ), yaitu :
1.   Status masa remaja dalam periode ini tidak tertentu.
Dalam periode ini status anak remaja dalam masyarakat boleh dikatakan tidak dapat ditentukan dan membingungkan. Pada suatu waktu ia diperlakukan seperti anak-anak, akan tetapi bilamana dia berkelakuan seperti anak-anak, dia mendapat teguran supaya bertindak sesuai dengan umurnya jangan seperti anak-anak.
2.   Dalam masa ini anak remaja emosional
Emosi-emosi yang dialami anak-anak remaja antara lain adalah marah, takut cemas, rasa ingin tahu, iri hati, sedih, kasih sayang dan sebagainya.
3.   Anak  remaja dalam masa ini tidak stabil keadaannya
Dalam masa ini remaja sangat tidak stabil keadaannya. Kesedihan tiba-tiba berganti dengan kegembiraan, rasa percaya diri sendiri berganti dengan rasa meragukan diri sendiri. Kestabilannya ini juga nampak dalam hubungannya dengan masyarakat. Persahabatannya berganti-ganti terutama dengan teman dari lawan jenis sehingga dia belum dapat menentukan rencana untuk masa depan.
4.   Anak-anak remaja mempunyai banyak masalah
Bagi anak remaja ia merasa memiliki banyak masalah karena dahulu di Masa Kanak-kanak dia selalu dibantu oleh orang tua dan guru dalam menyelesaikan persoalannya. Beberapa macam masalah yang dihadapi anak remaja ialah :
a.    Masalah berhubungan dengan keadaan jasmaninya
b.    Masalah berhubungan dengan kebebasannya
c.    Masalah berhubungan dengan nilai-nilai
d.    Masalah berhubungan dengan peranan wanita dan pria
e.    Masalah berhubungan dengan hubungan anggota dari lawan jenis
f.    Masalah behubungan dengan hubungan dalam masyarakat
g.    Masalah berhubungan dengan jabatan
h.    Masalah berhubungan dengan kemampuan
6.      Masa Remaja Akhir (17-21)
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Yang berarti bahwa tubuh dengan seluruh anggotanya telah dapat berfungsi dengan baik, kecerdasan telah dianggap selesai pertumbuhannya, tinggal pengembangan dan penggunaannya saja yang perlu diperhatikan.
Akibat pertumbuhan dan perkembangan jasmani, serta kecerdasan yang telah mendekati sempurna, atau dalam istilah agama mungkin dapat dikatakan telah mencapai tingkat baligh-berakal, maka remaja itu merasa bahwa dirinya telah dewasa dan dapat berpikir logis. Di samping itu pengetahuan remaja juga telah berkembang pula, berbagai ilmu pengetahuan yang diajarkan oleh bermacam-macam guru sesuai dengan bidang keahlian mereka masing-masing telah memenuhi otak remaja. Remaja saat itu sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan kesempurnaan pribadinya, maka mereka juga ingin mengembangkan agama, mengikuti perkembangan dan alur jiwanya ynag sedang bertumbuh pesat itu.
Kendatipun kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut agar ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan secara ilmiah dan orisinil, namun perasaan masih memegang peranan penting dalam sikap dan tindak agama remaja.
Diantara sebab kegoncangan perasaan, yang sering terjadi pada masa remaja terakhir itu adalah pertentangan dan ketidakserasian yang terdapat dalam keluarga, sekolah dan masyarakat. Disamping itu, yang juga menggelisahkan remaja adalah tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat. Terutama yang sangat menggelisahkan remaja, apabila pertentangan itu terlihat pada orangtua, guru-gurunya di sekolah, pemimpin-pemimpin dan tokoh-tokoh agama. Banyak lagi faktor yang menggoncangkan jiwa remaja, seyogyanya guru agama dapat memahaminya, agar dapat menyelami jiwa remaja itu, lalu membawa mereka kepada ajaran agama, sehingga ajaran agama yang mereka dapat itu, betul-betul dapat meredakan kegoncangan jiwa meraka.
Masa remaja terakhir dapat dikatakan bahwa anak pada waktu itu dari segi jasmani dan kecerdasan telah mendekati kesempurnaan. Istilah agama dapat dikatakan telah mencapai tingkat baligh-berakal. Mereka mengharap atau menginginkan perhatian dan tanggapan orang lain, baik dari orang tua, guru maupun masyarakat ramai agar mereka dihargai dan diperlakukan seperti orang dewasa.
Remaja sedang berusaha untuk mencapai peningkatan dan kesempurnaan kepribadiannya maka mereka juga ingin mengembangkan agama. Caranya menerima dan menanggapi pendidikan agama jauh berbeda dari masa-masa sebelumnya. Mereka ingin agar agama menyelesaikan kegoncangan dan kepincangan yang terjadi dalam masyarakat.
Kecerdasan remaja telah sampai kepada menuntut agar ajaran agama yang dia terima itu masuk akal, dapat difahami dan dijelaskan secara ilmiah dan rasional. Ada hal-hal yang menggelisahkan remaja yaitu tampaknya perbedaan antara nilai-nilai akhlak yang diajarkan oleh agama dengan kelakuan orang dalam masyarakat.
Oleh karena itu, sebagai guru agama hendaknya dapat memahami betul-betul perkembangan jiwa agama yang sedang dilalui oleh remaja dan memilih metode yang cocok dalam pelaksanaan pendidikan agama.
Ciri-ciri khas dalam masa remaja akhir (17 -21 tahun ), yaitu :
1.    Kestabilan bertambah
2.    Lebih matang dalam cara menghadapi masalah
3.    Ikut campur tangan dari orang dewasa berkurang
4.    Ketenangan emosional bertambah
5.    Pikiran realistis bertambah
6.    Lebih banyak perhatian terhadap lambang-lambang kematangan
Perkembangan emosi dalam masa remaja akhir
1.    Marah
2.    Takut dan cemas
3.    Iri hati
4.    Rasa menginginkan dengan sangat pada benda-benda milik anak atau orang lain
5.    Rasa senang
6.    Rasa sedih
7.    Kasih saying
7.        Masa Dewasa Awal (22 – 40 tahun)
  • Secara biologis merupakan masa puncak perumbuhan fisik yang prima dan usia tersehat dari populasi manusia secara keseluruhan (healthiest people in population) karena didukung oleh kebiasaan-kebiasaan positif (pola hidup sehat).
  • Secara psikologis, cukup banyak yang kurang mampu mencapai kematangan akibat banyaknya masalah dihadapi dan tidak mampu diatasi baik sebelum maupun setelah menikah, misalnya: mencari pekerjaan, jodoh, belum siap menikah, masalah anak, keharmonisan keluarga, dll.
  • Tugas-tugas perkembangan (development task) pada usia ini meliputi : pengamalan ajaran agama, memasuki dunia kerja, memilih pasangan hidup, memasuki pernikahan, belajar hidup berkeluarga, merawat dan mendidik anak, mengelola rumah tanggga, memperoleh karier yang baik, berperan dalam masyarakat, mencari kelompok sosial yang menyenangkan.
8.        Masa tua /Setengah Baya (40 – 60 tahun)
  • Aspek fisik sudah mulai agak melemah, termasuk fungsi-fungsi alat indra, dan mengalami sakit dengan penyakit tertentu yang belum pernah dialami (rematik, asam urat, dll).
  • Tugas-tugas perkembangan meliputi : memantapkan pengamalan ajaran agama, mencapai tanggung jawab sosial sebagai warga negara, membantu anak remaja belajar dewasa, menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan pada aspek fisik, mencapai dan mempertahankan prestasi karier, memantapkan peran-perannya sebagai orang dewasa.
9.        Masa Lanjut usia (60 –  Mati)
  • Ditandai dengan semakin melemahnya kemampuan fisik dan psikis (pendengaran, penglihatan, daya ingat, cara berpikir dan interaksi sosial).
  • Tugas-tugas perkembangan meliputi : Lebih memantapkan diri dalam pengamalan ajaran-ajaran agama. Mampu menyesuaikan diri dengan : menurunnya kemampuan fisik dan kesehatan, masa pensiun, berkurangnya penghasilan dan kematian pasangan hidup. Membentuk hubungan dengan orang seusia dan memantapkan hubungan dengan anggota keluarga.


BAB II
CONTOH KONVERSI AGAMA

1.        Sayyidina Umar ra
Umar bin khattab sebelum masuk Islam adalah musuh terkuat dari nabi Muhammad saw dalam menyebarkan Islam. Dia diberi tahu bahwa adiknya Fatimah binti Khottob telah masuk Islam dan hidayah tepat datang di muka rumah dimana ia akan melampiaskan nafsu amarahnya, terdengar suara merdu lemah gemulai dari dalam rumah Fatimah beserta keluarganya mengaji bersama membaca surat Thoha. Mendengar begitu suara merdu dan isi bacaannya sangat bagus, susunan katanya rapi bernilai sastra tingkat tinggi melebihi sastra lain buatan ahli sastra Arab saat itu yang terkenal dibidang sastra. Ia masuk ke rumah, bukan marah tetapi ingin tahu apa yang dibaca Fatimah. Setelah dijelaskan ia sadar dan masuk Islam. Akhirnya ia menjadi tokoh Islam. Tentu saja hal ini hidayah Allah dan berkat doa nabi. Tetapi proses dan sebab musababnya melalui kekaguman bunyi al-Quran dan suara pembacanya, melebihi semua hasil sastra yang ada.
Sepintas lalu kita melihat, bahwa proses konversi agama pada Umar tejadi sekejap mata, hanya karena mendengar ayat Al-Qur’an  yang mengubah hatinya. Ia berbalik 1800 dalam sifat-sifat, tindak, tingkah laku, dan perasaannya. Ahli agama dengan mudah menyatakan bahwa, “Hidayah Allah” , telah datang, Tuhan membalikkan hati yang keras seperti batu itu, menjadi lembut; keingkaran berubah menjadi keyakinan yang mendalam dan seterusnya.
Ahli-ahli tidak akan mengingkari soal petunjuk Allah yang diberikan-Nya kepada siapa pun, yang di  kehendaki-Nya dan kapan saja. Di yang Maha Mengatur, hati manusia sekalipun. Namun maslah itu, adalah diluar bidang penelitian ilmu jiwa, tidak dapat dianalisa dan diteliti secara ilmiah modern, karena itu termasuk masalah kepercayaan. Oleh sebab itu, yang dicoba oleh peneliti-peneliti di bidang Ilmu Jiwa ialah mengetahui proses jiwa, yang terjadi pada sesorang, yang mengalami konversi agama dan perasaan apa yang meliputinya waktu itu.


BAB III
PENGARUH PENDIDIKAN TERHADAP JIWA KEAGAMAAN
1.      Keluarga
Menurut Rosul Allah swt, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau, setiap bayi yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk keyakinan agama yang akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka.
Anak-anak sejak masa bayi hingga masa sekolah memiliki lingkungan tunggal, yaitu keluarga. Sehingga tak mengeherankan jika Gilbert Highest menyatakan bahwa kebiasaan yang dimiliki anak-anak sebagian besar terbentuk oleh pendidikan keluarga.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan, maka orang tua terutama pihak ibu memilki peran yang sangat strategis dalam mengembangkan pendidikan anak-anaknya. Karena itu, kedua orang tua (ibu dan bapak) harus membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan yang nantinya akan ditransfer dan diinternalisasikan kepada anak, serta orang tua dituntut untuk menyiapkan waktunya yang cukup guna mendampingi pendidikan anaknya. Begit pentingnya peranan orang tua dalam keluarga sebagai pendidik.
Pengaruh pendidikan, baik dalam bentuk pemeliharaan ataupun berbentuk kebiasaan terhadap masa depan perkembangan seorang anak. Meskipun seorang bayi manusia dibekali potensi kemanusiaan, namun dilingkungan pemeliharaan potensi tersebut tidak berkembang.
Keluarga sebagai tempat pendidikan pertama dalam proses perkembangan rasa agama setiap individu. Kedekatan orang tua dengan anaknya menjadikan orang tua sebagai a significant person bagi anaknya. Semua perilaku keagamaan orang tua terserap oleh anak menjadi bahan identifikasi diri anak terhadap orang tuanya. Maka terjadilah proses imitasi perilaku, karena sekedar peniruan saja atau didiringi oleh keinginan untuk menjadi seperti orang tuanya. Karena proses imitasi yang terus menerus maka perilaku keagamaan orang tua terinternalisasi dalam diri anak dan mengkristal menjadi kata hati.
Pendidik keluarga merupakan pendidikan dasar bagi pembentukan jiwa keagamaan. Perkembangan agama menurut W.H. Clark, berjalin dengan unsur-unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah yang menyangkut kejiwaan, manusia demikian rumit dan kompleksnya. Namun, demikian melalui fungsi-fungsi jiwa yang masih sangat sederhana tersebut, agama terjalin dan terlibat didalamnya. Melalui jalinan unsur-unsur dan ketenagaan jiwa ini pulalah agama itu berkembang. Dalam kaitan itu pulalah terlihat peran pendidikan keluarga dan menanamkan jiwa keagamaan pada anak. Maka, tak mengherankan jika Rasul menekankan tanggung jawab itu pada kedua orang tua.
2.    Kelembagaan
Di masyarakat lembaga pendidikan secara khusus tidak ada. Anak-anak umumnya dididik dilingkungan keluarga dan masyarakat lingkungannya. Pendidikan secara kelembagaan memang belum diperlukan, karena variasi profesi dalam kehidupan belum ada. Untuk menyelaraskan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat modern, seseorang memerlukan pendidikan. Sejalan dengan kepentingan itu maka dibentuk lembaga khusus yang menyelenggarakan tugas-tugas kependidikan yang dimaksud. Dengan demikian secara kelembagaan maka sekolah-sekolah pada hakikatnya adalah lembaga pendidikan yang artifisialis (sengaja dibuat). Sejalan dengan fungsi dan perannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah pelanjut dari pendidikan keluarga. Karena keterbatasan para orang tua untuk mendidik anak-anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.
Memang sulit untuk mengungkapkan secara tepat mengenai seberapa jauh pengaruh pendidikan agama melalui kelembagaan pendidikan terhadap jiwa keagamaan para anak. Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latarbelakang pendidikan agama dilingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak (Jalaluddin, 2010: 296). Barangkali pendidikan agama yang diberikan kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentukan jiwa keagamaan pada anak.
Pendidikan agama di lembaga pendidikan bagaimanapun akan memberi pengaruh bagi jiwa keagamaan pada anak. Namun demikian besar kecilnya tersebut sangat tergantung pada berbagai faktor yang dapat memotivasi anak untuk memahami nilai-nilai agama. Sebab pendidikan agama pada hakikatnya merupakan pendidikan nilai. Oleh karena tu, pendidikan agama lebih dititikberatkan pada bagaimana membentuk kebiasaan yang selaras dengan tuntunan agama.
3.      Masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga. Para pendidik umumnya sependapat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi perkembangan anak didik adalah keluarga, perkembangan pendidikan, dan lingkungan masayarakat. Keserasian antara ketiga lapangan pendidikan ini akan memberi dampak positif bagi perkembangan anak, termasuk dalam pembentukan jiwa keagamaan mereka.
Pergaulan hidup atau interaksi sosial antar manusia yang harmonis, damai dan sejahtera merupakan cita-cita yang harus diperjuangkan oleh pendidikan. Visi dan misi pendidikan adalah menumbuhkan dan menggerakkan semangat manusia untuk berani bergaul dan bekerjasama dengan orang lain secara baik dan benar. Kondisi lingkungan masyarakat sangat menentukan proses pergaulan hidup manusia. Ada masyarakat yang dalam kehidupannya selalu dinamis dan ada pula yang statis, ada yang modern, dan ada pula yang primitif. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi pola interaksi manusia, terutama dalam proses pendidikan.
Besar pengaruh masyarakat terhadap pertumbuhan jiwa keagamaan sebagai bagian dari aspek kepribadian yang terintergrasi dalam jiwa pertumbuhan psikis. Jiwa keagamaan yang memuat norma-norma kesopanan tidak akan dapat dikuasai hanya dengan mengenal saja. Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan nilai-nilai kesopanan atau nili-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.
Hubungan antara lingkungan dan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai agama. Di lingkungan masyarakat santri barangkali akan lebih memberi pengaruh bagi pembentukan jiwa keagamaan dibandingkan dengan masyarakat lain yang memiliki ikatan yang longgar terhadap norma-norma keagamaan. Dengan demikian, fungsi dan peran masyarakat dalam pembentukan jiwa keagamaan akan sangat tergantung dari seberapa jauh masyarakat tersebut menjunjung norma-norma keagamaan itu sendiri (jalaludin: 299). Perilaku setap individu juga diasumsikan sebagai hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
4.      Media Sosial
Media sosial adalah media komunikasi yang mampu menimbulkan keserempakan, dalam arti kata khalayak dalam jumlah yang relatif sangat banyak secara bersama-sama pada saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui media tersebut, misalnya surat kabar, radio, siaran televisi. Media sosial juga dapat disebut sebagai media online dimana para penggunanya dapat dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, sosial network, atau jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual. Blog, jejaring sosial dan wiki.
Pendidikan itu selalu mengacu dan dipengaruhi oleh perkembangan budaya manusia sepanjang hidupnya. Budaya masa lalu berbeda dengan budaya masa kini, dan berbeda pula dengan budaya masa depan. Perkembangan dan kemajuan teknologi modern sekarang ini sebagai bukti perkembangan budaya manusia.
Manusia dengan mudah mengakses berbagai ilmu dengan melalui sarana teknologi, namun disisi lain manusia juga sangat mudah terpengaruh dengan dampak negatif dari kemajuan teknologi tersebut. Visi dan misi pendidikan adalah berusaha memanfaatkan, mengkritisi dan menfilter perkembangan budaya manusia, terutama dalam hal dampak negatif dari kemajuan teknologi. Di samping itu, pendidikan juga harus diarahkan untuk membangun kreativitas manusia agar berbudaya, mampu memproduk teknologi dan menggunakannya dengan baik dan benar.
Munculnya berbagai temuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai bagian dari perkembangan budaya modern manusia, merupakan khazanah yang perlu direspon oleh dunia pendidikan. Dunia pendidikan perlu mengambil peran dan memanfaatkan teknologi, tentu harus disesuaikan dengan tradisi dan budaya yang berlaku di masyarakat.
Keberadaan media sosial sangat berpengaruh dalam kehidupan. Selain dampak positif, dampak negatif yang ditimbulkan dari media sosial juga beragam. Berbagai macam modus kejahatan di media sosial banyak ditemukan terutama pada remaja seperti kekerasan, pelecehan, bahkan tindak kriminal seperti penipuan, pemerasan, pemerkosaan, dan sebagainya.
Perkembangan media sosial terasa begitu amat pesat pada kurun waktu terakhir ini. Media ini membantu seseorang untuk bertemu teman lama dan mengenal teman baru. Mendekatkan jarak teman yang berada di daerah berbeda. Salah satu media sosial yang banyak digunakan oleh anak-anak dan remaja adalah televisi, selain karena televisi bisa dilihat dan didengarkan. Karena dengan televisi kita dapat mendapat informasi tentang apa saja. Dan acara televisi pada saat ini sudah sangat berkembang. Dari acara kartun sampai dengan acara politik. Dengan adanya acara yang sedemikian rupa itulah dapat membuat anak-anak dan remaja kecanduan jika sudah berada dan menonton televisi, sehingga mereka lupa dengan kewajiban mereka sebagai pelajar yaitu belajar. Akibatnya nilai pelajaran anak-anak tersebut menurun dan mereka menjadi anak yang malas karena terlalu asik melihat tayangan di televisi. Saat ini banyak stasiun televisi yang menayangkan siaran televisi yang tidak mendidik anak remaja justru menayangkan siaran yang sama sekali tidak mendidik dan tidak ada manfaatnya.
Mengingat pengaruh negatif media sosial terhadap remaja yang sangat banyak dan meresahkan, perlu dilakukan arahan, tuntunan, bimbingan, panduan, dan pengawalan dari pihak-pihak seperti orangtua, guru, dan pemangku kepentingan dalam pendidikan anak dan remaja. Kecenderungan meningkatnya tindak kekerasan dan perilaku negatif pada anak dan remaja diduga sebagai dampak gencarnya tayangan televisi. Karena media ini memiliki potensi besar dalam merubah sikap dan perilaku masyarakat terutama anak-anak dan remaja relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi.
5.      Tempat Ibadah
Secara umum ibadah dapat berperan sebagai alat untuk menumbuhkan kesadaran pada diri manusia bahwa ia sebagai insan diciptakan Allah khusus untuk mengabdi kepada diri-Nya
Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya diperoleh dari meniru. Latihan- latihan yang menyangkut ibadah seperti sembahyang, do’a, membaca al-Qur’an, sopan santun, dan lain sebagainya, semua itu harus dibiasakan sejak kecil, sehingga lama-kelamaan akan tumbuh rasa senang dan terbiasa dengan aktifitas tersebut tanpa ada rasa terbebani sedikitpun. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif  dalam pendidikan keagamaan pada anak.
pembinaan agama anak juga penting dilakukan melalui pembauran secara langsung dengan masyarakat luas yang terkait dengan kegiatan agama seperti waktu mengikuti sholat jum’at, tarawih, meramaikan hari raya, menggemakan takbir maupun kegiatan lainnya. Dengan mengajak anak sekali waktu berbaur secara langsung dengan masyarakat yang melakukan peribadatan maka anak akan semakin termotivasi untuk menirukan perilaku-perilaku agama yang dilakukan oleh masyarakat umum. Hal ini perlu dilakukan mengingat agama anak masih bersifat anthromorphis. (pengalamannya dikala ia berhubungan dengan orang lain.)
Pembinaan agama kepada anak juga perlu dilakukan secara berulang-ulang melalui ucapan yang jelas serta tindakan secara langsung. Seperti mengajak anak shalat, maka terlebih dahulu diajarkan mengenai hafalan bacaan-bacaan shalat secara berulang-ulang hingga anak tersebut hafal diluar kepala. Hal tersebut diiringi dengan tindakan atau praktik sholat secara langsung dan akan lebih menarik jika dilakukan bersama teman-temannya.
Perlunya melkukan kunjungan ke tempat-tempat atau pusat-pusat agama yang lebih besar kapasitasnya. Misalnya anak-anak yang tinggal di desa sesekali perlu diajak berkunjung ke masjid jami’ yang ada di kota yang bangunan-bangunan dan jumlah jama’ahnya lebih besar. Atau bisa juga anak diajak berkunjung ke pondok pesantren, kampus-kampus islam, dan lain sebagainya. Selain dengan kunjungan, anak dapat diajari tentang agama melalui layar kaca televisi ataupun VCD. Pembinaan dengan cara ini sangatlah penting mengingat rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan pada anak


EmoticonEmoticon