Resensi Buku:
Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif-Interkonektif
Karangan : M. Amin Abdullah
Disusun Guna
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Semester Genap Tahun 2015
Dosen Pengampu:
Miftahul
Huda, M.Ag
Oleh :
Fatchurahman
Ali (2021114145)
Kelas:
Pendidikan Agama Islam E
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
IDENTITAS BUKU
Judul Buku : Islamic studies di perguruan
tinggi: pendekatan integratif- interkonektif
Penulis : M. Amin Abdullah
Editor : M. Adib Abdushomad
Penerbit : Pustaka Pelajar, 2006
Didigitalkan : 24
Juni 2009
ISBN : 979-2458-15-8
Tebal : 434 halaman
PENULIS
M. Amin Abdullah, lahir di Margomulyo, Tayu, Pati,
Jawa Tengah, 28 Juli 1953. Menamatkan
Kulliyat Al-Mu’allimin Al-Islamiyyah (KMI), Pesantren Gontor Ponorogo 1972 dan
program Sarjana Muda (Bakalureat) pada Institut Pendidikan Darussalam (IPD)
1977 di Pesantren yang sama. Menyelesaikan program pasca sarjana pada Fakultas
Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun
1982. Atas sponsor Departemen Agama dan Pemerintah Republik Turki, mulai tahun
1985 mengambil Program Ph.D. bidang Filsafat Islam, di Department of
Philosophy, Fakulty of Art and Sciences, Middle East Technical University
(METU), Ankara, Turki (1990). Mengikuti Program Post-Doctoral di McGill
University Kanada (1997-1998).
Dia
menjadi Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI), Turki, pernah bekerja part-time,
pada Konsultan Jenderal Republik Indonesia, Sekretariat Badan Urusan Haji, di
Jeddah (1985 dan 1990), Mekkah (1988), dan Madinah (1989), Arab Saudi. Kini,
sebagai dosen tetap Fakultas Ushuluddin, staf pengajar pada Program Doktor
Pascasarjana IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga, IAIN Sunan Ampel Surabaya,
Universitas Islam Indonesia, Program Megister pada UIN Sunan Kaljaga, Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas
Gadjah Mada dan Program Studi Satra (Kajian Timur Tengah), Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tahun 1993-1996, menjabat Asisten Direktur
Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga; 1992-1995 menjabat Wakil Kepala
Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. Tahun 1889-2001 sebagai Pembantu Rektor I (Bidang Akademik) di
almamaternya, IAIN Sunan Kalijaga. Pada Januari 1999 mendapat kehormatan
menjadi Guru Besar dalam Ilmu Filsafat. Dari tahun 2002-2005 sebagai Rektor
IAIN/UIN Sunan Kalijaga.
Dalam organisasi kemasyarakatan,
dia menjadi Ketua Divisi Ummat, ICMI, Orwil Daerah Istimewa Yogyakarta,
1991-1995. Setelah Muktamar Muhammadiyah ke-83 di Banda Aceh 1995, diberi
amanat sebagai Ketua Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, Pimpinan
Pusat Muhammadiyah (1995-2000). Kemudian terpilih sebagai salah satu Pimpinan
Pusat Muhammadiyah, wakil Ketua (2000-2005).
Tulisan-tulisannya dapat dijumpai
di berbagai jurnal keilmuan, antara lain Ulumul Qur’an (Jakarta), AL-Jami’ah:
Journal of Islamic Studies (Yogyakarta) dan beberapa Jurnal keilmuan
keislaman yang lain. Disamping itu, dia aktif mengikuti seminar didalam dan
luar negeri.
ISI BUKU
Ikut memberi Kata Pengantar pada buku ini,
beliau Prof. Dr. H.M. Amin Abdullah yang menjelaskan tentang pendekatan
“integarasi-interkoneksitas”. Penulis mengatakan bahwa dahulu antara tahun
1990-1997, ketegangan atau tension masih tampak begitu jelas antara
“normativitas” dan “historisitas” keberagaman di berbagai Perguruan Tinggi
Agama Islam di tanah air. Untuk mengurangi ketegangan yang seringkali tidak
produktif, penulis menawarkan paradigma keilmuan “interkonektisitas” dalam
studi keislaman kontemporer di Perguruan Tinggi. Berbeda sedikit dari paradigma
“integrasi” keilmuan yang seolah-olah berharap tidak akan ada lagi ketegangan
dimaksud, yakni dengan cara meleburkan dan melumatkan yang satu kedalam yang lainnya, baik dengan
cara meeburkan sisi normativitas-sakralitas keberagamaan secara menyeluruh
masuk wilayah “historisitas-profanitas”, atau sebaliknya membenamkan dan
meniadakan seluruhnya sisi historisitas keberagaman Islam ke wilayah
normatitivitas sakralitas tanpa reserve, maka penulis menawarkan
paradigma keilmuan “interkonektisitas” yang lebih modest (mampu mengukur
kemampuan diri sendiri), humility (rendah hati) dan human (manusiawi).
Paradigma “interkoneksitas” ini berasumsi bahwa
untuk memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi dan dijalani
manusia, setiap bangunan keilmuan apapun, baik keilmuan agama (termasuk agama
Islam dan agama yang lain), keilmuan soisal, humaniora, maupun kealaman tidak
dapat berdiri sendiri.
Bab pertama buku ini mencerminkan
pergumulan dan pergulatan serius untuk keluar dari hegemoni, ststus quo atau
dominasi sikap self sufficiency keilmuan dan sikap ilmuan yang telah
berurat-berakar, diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi,
tanpa mengenal perlunya dialog antar berbagai disiplin ilmu. Meskipun telah
mencoba masuk ke tradisi keilmuan baru, seperti filsafat, antropologi,
sosiologi, religious studies dan lain-lain, namun kesinambungan dengan
budaya nash atau teks-teks keagamaan sebelumnya tetap masih dipelihara.
Hubungan itu bisa dalam bentuk melanjutkan, memperdalam, mengkritik,
mengoreksi, memperluas, mengformulasikan ulang rumusan keilmuan terdahulu dan
begitu seterusnya.bangunan filosofi keilmuan studi keislaman di Perguruan
Tinggi diperlukan disini, dan diharapkan dapat dibangun terlebih dahulu sebelum
masuk ke detil keilmuan yang lain. Tanpa dukungan filosofi keilmuan yang kuat,
seorang ilmuan, dosen, akademisi, atau peneliti akan kehilangan horizon dalam
menatap lautan fenomena kehidupan yang amat kompleks dan luas.
Bab kedua dan ketiga mempertegas
perlunya interkoneksitas bidang keilmuan dalam studi keislaman kontemporer.
Penulis memasuki wilayah yang dianggap tidak bisa dipikirkan dan disentuh (unthinkable,
untouchable) oleh kalangan pengajar dan pembela ortodoksi studi keilmuan
keislaman. Nash-nash keagamaan yang dari situ kemudian muncul fatwa-fatwa
keagamaan sejak dari dahulu hingga sampai kapanpun tidak bisa terlepas dari
kepentingan sosial-politik, sosial-ekonomi, sosial-budaya. Keras
lemahnyahubungan antar agama, etnis, ras, dan suku sangat tergantung pada
pertimbangan sosiologis, politis dan ekonomi. oleh karenanya, studi keilmuan
sosial keagamaan yang historis empiris termasuk psikologi keagamaan sangat
diperlukan. Pentingnya memahami batas-batas hak dan kewajiban dalam frame hubungan
sosial keagamaan yang bersifat publik dalam era multikultural dan multirelijius
dirasakan sangat mendesak seperti saat sekarang ini.
Bab empat mempertajam kembali
pergumulan antara penganut tradisi tekstual-fiologis dan konstektual-sosiologis
ditambah perlunya transendensi filosofis untuk dapat keluar dari belenggu dan
jebakan-jebakan kultural-sosiologis, lebih-lebih politis yang tidak mungkin
dihindari sama sekali. Dalam upaya untuk mendorong kerjasama dan tegur sapa
antara ketiganya, penulis memasukkan pendekatan humanities-kontemporer, seperti
hermeneutik, linguistis kontemporer, ilmu-ilmu kealaman, berbarengan dengan
mengungkap kembali kekuatan kehazanahkeilmuan Bayani, Burhani, dan Irfani dalam
tradisi budaya Islam dan titik-titik lemah hubungan antara ketiganya. Kedua
tradisi tersebut dicoba dibandingkan dalam matrik dan kemudian mengantarkan
pada suatu pilihan baru format bangunan keilmuan Islam di Perguruan Tinggi yang
lebih bersifat integratif dan interkonektif antara pendukung budaya nash,
budaya keilmuan sosial kontekstual, serta budaya keilmuan etis-filosofis yang
transformatif.
KELEBIHAN
BUKU
Buku ini sengaja ditulis dalam konteks
pergulatan dan pergumulan akademik dengan mengambil momentum transformasi IAIN
ke UIN. Tetapi sebenarnya dimasudkan lebih luas dari itu, yaitu pencarian model
pembelajaran dan perkuliahan studi keislaman yang komprehensif pada level Perguruan
Tinggi. Produk olahan dan masukan dipusat-pusat Perguruan Tinggi baik
dilingkungan Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama maupun Perguruan
Tinggi di lingkungan pesantren akan berdampak pada world view mahasiswa
sebagai pengguna jasa keilmuan saat mereka menimba ilmu dan akan membentuk pola
pikir, pola interaksi sosial serta tatanan masyarakat baru pada satu, dua atau
tiga dekade yang akan datang ketika satu persatu para alumni Perguruan Tinggi
tersebut berperan di masyarakat kelak.
KEKURANGAN BUKU
Namanya juga sedang “mencari model”, maka upaya
penulis tidak bisa tidak, masih penuh kekurangan disana-sini tetapi satu hal
yang jelas bahwa perguruan tinggi di tanah air adalah merupakan kenyataan dan
keniscayaan. Pengalaman bangsa Indonesia memasuki sistem pendidikan Perguruan
Tinggi atau “al-jami’ah” belumlah lama. Kurang lebih 50 tahun. Sering
kali para dosen dan pengelola Perguruan Tinggi agama, belum merasa benar bahwa
yang dikelola adalah Perguruan Tinggi, dan bukan yang lain. Cara berpikir dan
mengelola Perguruan Tinggi, lebih-lebih universitas memang sangatlah berbeda
dari cara berpikir dan pengelolaan lembaga sosial kemasyarakatan, Partai
Politik, LSM, atau organisasi sosial keagamaan. Tradisi Pendidikan Perguruan
Tinggi belum begitu kuat di tanah air, dibandingkan dengan negara-negara lain
yang telah lebih-lebih dari 300 sampai 400 tahun.
KESIMPULAN
Dari keseluruhan muatan buku, dapat disimpulkan
bahwa buku ini ditulis untuk kalangan mahasiswa Perguruan Tinggi Islam
khususnya. Penulis menawarkan perubahan dari pendekatan “normativitas” dan
“historisitas” kepada pendekatan “integarasi-interkoneksitas”.
SARAN
Buku ini
patut disarankan untuk dibaca oleh para mahasiswa STAIN, IAIN, UIN ataupun
Perguruan Tinggi Islam lainnya agar memiliki pengetahuan Islam secara mendalam dan
guna mengetahui konsep studi islam yang lebih baik di Peruruan Tinggi khususnya.
2 comments
I wanted to thank you for this great read. Your blog live22 online casino malaysia is one of the finest blog . Thanks for posting this informative article.
Another helpful post. scr 918kiss malaysia This is a very nice blog that I will definitively come back to several more times this year!
EmoticonEmoticon