MAKALAH
DINAMIKA
PEMIKIRAN DAN GERAKAN ISLAM KONTEMPORER
DI INDONESIA
Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi
Studi Islam
Semester Genap Tahun 2015
Dosen pengampu : Miftahul huda, M.Ag
1. Fatchurahman Ali (2021114145)
2. Luthfi Amalia
3. Nur Aini Sobah
4. Millatina Ulfah
Kelas:
Pendidikan
Agama Islam E
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR
بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang masih memberikan
nafas kehidupan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pembuatan makalah dengan
judul “Dinamika
Pemikiran dan Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia” dengan tepat waktu. Tidak lupa shalawat dan salam selalu tercurahkan
kepada Nabi Muhammad SAW yang merupakan inspirator terbesar dalam segala
keteladanannya. Tidak lupa penulis sampaikan terima kasih kepada bapak Miftahul
Huda selaku dosen pengampu mata kuliah Metodologi Studi Islam yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam pembuatan makalah ini, orang tua yang
selalu mendukung kelancaran tugas kami, serta pada anggota tim kelompok 12 yang
selalu kompak dan konsisten dalam penyelesaian tugas ini.
Akhirnya penulis
sampaikan terima kasih atas perhatiannya terhadap makalah ini, dan penulis
berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi tim penulis khususnya dan pembaca
yang budiman pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya
makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif sangat penulis harapkan dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
Pekalongan, 21 Mei 2015
Tim Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
A. Latar Belakang Permasalahan............................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Penulisan Masalah..................................................................... 2
D. Manfaat Penulisan Masalah .......................................................... ....... 2
BAB II PEMBAHASAN................................................................................ 3
A. Dinamika Islam Indonesia ................................................................... 3
B. Corak Pemikiran Islam Indonesia ................................................. ....... 3
C. Gerakan Pembaruan Islam Indonesia ........................................... ....... 6
1. Gerakan Kaum Paderi .................................................................... 6
2. Kaum Muda ................................................................................... 7
3. Jami’at Khair dan Al-Irsyad .......................................................... 7
4. Muhammadiyah ............................................................................. 8
5. Sarekat Islam (SI) .......................................................................... 9
6. Jong Islamietien Bond (JIB) ........................................................ 10
7. Nahdatul Ulama ........................................................................... 11
8. Persatuan Islam (PERSIS) ........................................................... 11
9. Majelis Syura Muslimin Indonesia
(Masyumi) ............................. 12
10. Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia
(ICMI) .......................... 12
D. Islam Fundamentalis ..................................................................... ..... 13
E. Islam Liberal ................................................................................. ..... 14
BAB
III PENUTUP...................................................................................... 15
A. Kesimpulan.................................................................................... ..... 15
B. Saran ............................................................................................. ..... 15
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia
adalah sebuah negara yang berpenduduk mayoritas muslim, walaupun tidak
mempunyai ideologi Islam (bukan negara Islam, seperti Arab Saudi, Pakistan dan
Iran) sebagai asas kehidupan bernegara namun sebagaimana dikatakan oleh Amien
Rais bahwa Indonesia tak pelak lagi dapat dikatakan sebagai negara Islam secara
substansial (isi-bentuk), yaitu cerminan ideologi yang banyak memberikan corak
esensi Islam di dalam tatanan politik sosial kenegaraan dalam perikehidupan
bangsanya.
Dilihat dari
potret keberadaan bangsa Indonesia saat ini tidak bisa dipisahkan dari
kronologis perjalanan sejarahnya masa lampau. Apalagi sebagaimana diketahui,
keberhasilan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak bisa lepas dari
kegigihan dan keuletan ummat Islam berjihad merebutnya dari tangan penjajah.
Disinilah letak dinamika positif dari peran besar ummat Islam dalam sejarah
perjuangan bangsa Indonesia.
Untuk itu
secara keseluruhan sejarah ummat Islam Indonesia mesti melacak gerakan mendasar
atas lahirnya suatu peristiwa maha penting dalam karya sejarah, terutama yang
berkenaan dengan motivasi terdalam yaitu perjuangan ummat Islam terhadap
kemerosotan dalam berbagai aspeknya, sehingga terasa menyentuhlah akar dalam
menguak realitas semestinya dari lahirnya suatu gerakan Islam. Lebih-lebih
terkait dengan arus modernisasi yang saat ini disaksikan, maka mencari titik
penyajian Islam Indonesia saat ini harus melacaknya jauh ke masa lampau, dengan
membongkar realitas fenomenologisnya sejak masuk ke Indonesia.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Corak Pemikiran Islam di Indonesia?
2.
Bagaimana Gerakan Pembaharuan Islam di Indonesia?
3.
Apa Islam Fundamentalis itu?
4.
Apa Islam Liberal itu?
C. Tujuan Penulisan
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam yang diampu oleh bapak Miftahul
Huda, M.Ag.
2.
Memberikan pengetahuan tentang dinamika pemikiran dan gerakan Islam kontemporer di Indonesia.
D. Manfaat Penulisan
1.
Memberi cakrawala baru pada pembaca tentang dinamika islam Indonesia.
2.
Memberi pengetahuan baru kepada pembaca perihal pemikiran dan gerakan Islam
di Indonesia.
3.
Mengetahui Pemikiran dn gerakan Islam Fundamentalis.
4.
Mengetahui Pemikiran dn gerakan Islam Liberal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
DINAMIKA ISLAM INDONESIA
Islam masuk ke
Indonesia pada Abad VIII M. Yang dibawa oleh para pedagang Gujarat, Persia,
Arab dan dipromotori serta dimatangkan oleh para wali (Walisongo), maka proses
islamisasi di Nusantara mempunyai keunikan tersendiri.
Untuk kasus
modernisasi di Indonesia, reaktualisasi lebih berciri mengedepankan penafsiran,
menyimak, dan mengkaji kembali al-Qur’an dan nilai-nilai yang pernah
dipraktikkan Rasul Muhammad SAW. Sehingga hampir dipastikan proses modernisasi
itu berjalan alot dan penuh goncangan dinamika. Dinamika modernisme itu selain
berhadapan secara intern terhadap kelompok ummat Islam tradisional yang teguh
memegang adat istiadat yang mereka anut, juga harus berhadapan dengan kekuatan
penjajah Belanda yang berusaha meredam gerakan modernis itu.
Sangat wajar,
kalau persentuhan-persentuhan dan pengaruh dari luar terhadap dinamika Islam di
Indonesia cukup memberi tempat yang berarti bahkan sangat memberi corak dalam
kompas pemikiran modern. Misalnya pemikiran Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdul
Wahab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan lainnya. [1]
B.
CORAK PEMIKIRAN ISLAM INDONESIA
Bila melihat
rentetan sejarah peradaban Islam di Indonesia, maka akan ditemukan ada tiga
periode perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di masyarakat
Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang ke Indonesia hingga
berlangsungnya masa penjajahan. Bahkan menjadi simbol perlawanan dalam
perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya Fatahillah mengusir Portugis
dari Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam
perang Padri.
Kedua, Peran ulama-ulama islam digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam
yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam kepolitikan.
organisasi politik seperti Muhammadiyah
yang memiliki peranan penting dalam memperkenalkan modernitas terutama
dalam pendidikan. dengan mendirikan sekolah-sekolah formal (bukan pesantren
lagi). Model pendidikan tradisional (pesantren) diganti dengan model pendidikan
Barat (Belanda). Selain muncul golongan pembaru dalam Islam, muncul juga
organisasi tradisional yang terhimpun dalam Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama)
yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah pada tahun
1926. Yang semula menggunakan pesantren sebagai basis kegiatannya, melestarikan
tradisi-tradisi lama, bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Di Indonesia
mereka sering dikatakan mengikuti fiqih Syafi’i, akidah ahli sunnah wal
jama’ah, dan tasawuf Al-Junaedi, Al-Ghazali. Kitab-kitab mereka jadi rujukan
dalam beramal, beribadah dan bertasawuf. Walaupun begitu tidak selalu bermakna
konservatif, tidak modern, atau menolak modernitas. Dalam sisi tertentu mereka
sangat akrab dengan modernitas. Seperti menggunakan telepon seluler, komputer,
pesawat dan lain-lain, yang merupakan produk dari modernitas. Mereka disebut
tradisonalis lantaran metodologi keberagamannya yang berlandaskan pada warisan
pemikiran ulama masa lalu, seperti terlihat pada rujukannya pada kitab-kitab kuning.
Mereka mempunyai pedoman al-muhafadzah ala al-qadimi al-shalih, wal ahzu
ila al-jadidi al-ashlah (memelihara yang lama yang sah, sambil mengambil
yang baru yang lebih baik).
Ketiga, periode kebangkitan intelektual Muslim, yakni saat peran politisi intelektual
Muslim dipertanyakan di hadapan kekuasaan, sistem politik waktu itu (Orde
baru). Sudah dimulai pada tahun 1970, ditandai dengan munculnya beberapa
literatur yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia
intelektual Muslim Indonesia.
Namun, dalam masa berikutnya zaman kebangkitan intelektual ini
mempunyai macam corak pemikiran. Mereka itu adalah sebagai berikut.
1.
Neo modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua
aliran modernisme dan tradisionalisme, artinya Islam harus dilibatkan dalam
pergulatan-pergulatan modernisasi, tanpa harus menghilangkan tradisi keislaman
yang telah mapan. Pola ini condong untuk meletakkan dasar-dasar keislaman dalam
konteks nasional. Tokoh utama pendukung pemikiran ini adalah Nurcholis Majid, Abdurrahman
Wahid dan Abdul Wahib.
2.
Sosialisme demokrat, yaitu gerakan yang melihat keadilan sosial dan
demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Islamisasi dalam refleksi pemikiran ini
adalah karya-karya produktif yang berorientasi kepada perubahan-perubahan sosial-ekonomi
dan politik menuju terciptanya masyarakat adil dan demokrasi. Tokoh-tokohnya:
Dawam Raharjo, Adi Sasono, Kuntowijoyo.
3.
Internsionalisme atau Universalisme, gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam
sebagai perangkat nilai alternatif dari kemelorotan nilai-nilai Barat.
pemikiran ini berbendapat bahwa Islam bersifat universal. Bagi mereka
nasionalisme adalah sesuatu yang harus
ditegakkan. Tokoh-tokohnya adalah: Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, dan A.M.
Saefudin.
4.
Neo revivalis, sering dikatakan dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin,
dalam beberapa organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir. Front Pembela
Islam(FPI) Majelis Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara umum
mereka adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat, Barat
adalah musuh. Maka simbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan
dalam kesadaran keberagamannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.[2]
C.
GERAKAN PEMBARUAN ISLAM INDONESIA
Pembaruan dalam
Islam atau gerakan modern Islam merupakan jawaban yang ditujukan terhadap
krisis yang dihadapi umat Islam pada masanya. Kemunduran progresif kerajaan
Usmani yang merupakan pemangku khilafah Islam, setelah abad ketujuh belas,
telah melahirkan kebangkitan Islam di kalangan warga Arab di pinggiran imperium
itu, yang terpenting puritanis (salafiyyah). Gerakan ini merupakan sarana yang
menyiapkan jembatan ke arah pembaruan Islam abad ke 20 yang lebih bersifat
intelektual.
Katalisator terkenal gerakan pembaruan ini adalah
Jamaluddin Al-Afghani (1897). Ia mengajarkan solidaritas Pan-Islam dan
pertahanan terhadap imperealisme Eropa, dengan kembali kepada Islam dalam
suasana yang secara ilmiah dimodernisasi.
Gerakan yang lahir
di Timur Tengah itu telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan
Islam di Indonesia.[3]
1.
Gerakan Kaum Paderi
Pada tahun 1803
tiga orang tokoh haji, yaitu haji Miskin, haji Sumanik, dan haji Piobang pulang
dari tanah suci Mekkah. Pada tahun yang sama pula Mekkah mendapat serbuan
gerakan Wahabi (gerakan modern pemurnian akidah Islma, pimpinan Muhammad bin
Abd. Wahab). Pengaruh gerakan Wahabi sangat besar terhadap ketiga tokoh yang
baru pulang dari tanah suci ini.[4]
Menurut mereka,
apa yang terjadi dimasyarakat Minangkabau pada saat itu sebenarnya telah
menyimpang dari ajaran agama, oleh karena itu perlu diluruskan. Namun di lain
pihak, khususnya golongan adat ada kecenderungan untuk tidak mau diganggu
kelestarian adatnya, padahal banyak adat yang mereka sangat peka dan mengadakan
perlawanan terhadap pembaharuan yang dilakukan oleh tiga orang haji.
Gerakan para
haji ini selanjutnya dikenal dengan gerakan paderi. Pertentangan kaum Paderi
dengan kaum adat pada akhirnya memberi peluang kekuasaan asing untuk masuk ke
daerah Minangkabau, dengan demikian para haji dengan gerakan paderinya akhirnya
menghadapi dua lawan, di satu pihak memberantas adat untuk memurnikan ajaran
Islam dan di lain pihak menghadapi perjuangan kemerdekaan melawan Belanda dalam
gerakan perjuangan politik.[5]
2.
Kaum Muda
Kelanjutan
gerakan paderi, muncullah istilah Gerakan Kaum Muda. Penamaan istilah ini
sebagai diketahui merupakan versi Paderi Baru dari kelompok yang tetap
menentang kaum Adat terutama terhadap praktik-praktik kehidupan yang
bertentangan dengan ajaran Islam murni. Populer sebutan Kaum Muda dan
berakar sesuai ajang perjuangan dan lingkup wilayah gerakan ini, memang
bertempat di Minangkabau. Walaupun begitu, istilah ini juga dikenal meluas di
beberapa wilayah Indonesia sebagai ciri kelompok modern dalam mengamalkan
pemurnian ajaran Islam.
Diantara
tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh yaitu Syaikh Muhammad Abdullah Ahmad,
Syaikh Abdul Karim Amrullah (Ayah Buya Hamka), Syaikh Muhammad Djamil Djambek,
Syaikh Muhammad Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Muhammad Thaib Umar dan
lain-lainnya.[6]
3.
Jami’at Khair dan Al-Irsyad
Di Jakarta pada
tahun 1901 kaum muslimin keturunan Arab mendirikan perkumpulan yang diberi nama
Jami’atul Khair, perkumpulan ini berdiri sebagai hasil dari pengaruh majalah
al-Urwatul Wusqa yang diselundupkan di pelabuhan Tuban. Para anggotanya adalah
orang-orang Arab yang ada di Indonesia.
Jami’atul Khair
ini dengan tujuannya dalam pembaharuan terutama dalam bidang pendidikan, dengan
metode yang modern dan menambahkan pelajaran pengetahuan umum. Untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan tersebut, maka didatangkan beberapa orang guru dari luar,
antara lain: al-Hasyimi datang ke Indonesia pada tahun 1911 dari Tunisia, Syekh
Ahmad Syurkati al-Anshari dari Sudan, Syekh Muhammad Thaib dari Maroko, dan
Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah. Ternyata mereka ini memiliki gagasan
yang radikal, antara lain Syurkati tidak setuju larangan perkawinan lelaki yang
bukan sayid dengan puteri sayid, hal ini menimbulkan kemarahan orang-orang Arab
yang keturunan sayid.
Organisasi
Jami’atul Khair akhirnya pecah menjadi dua, orang-orang Arab keturunan sayid
mendirikan organisasi yang diberi nama ar-Rabithah al-Alawiyah, dan Ahmad
Syurkati mendirikan organisasi yang diberi nama Jami’yatul Ikhlas wal Irsyad
(al-Irsyad) yang anggotanya mula-mula keturunan Arab yang bukan sayid, kemudian
dapat diterima anggota orang pribumi.
Usaha al-Irsyad
dibidang pendidikan, disamping mendirikan sekolah-sekolah, juga mengadakan
kursus-kursus guru, dan kursus-kursus agama. oleh karena itu meskipun al-Irsyad merupakan organisasi
yang kecil, namun memiliki sekolah-sekolah yang ratusan jumlahnya dan dikelola
dengan teratur. Dengan tokoh sentralnya Syurkati telah menjadi sumber ilham
bagi generasi muda Islam terpelajar yang bangkit terorganisir pada tahun 1925
lewat wadah Jong Islamieten Bond.[7]
4.
Muhammadiyah
Pada tahun
1991, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah sekolah agama yang diberi nama
Muhammadiyah, perguruan ini tidak diadakan di surau atau masjid, tetapi
bertempat digedung yang menggunakan meja, kursi dan papan tulis. Kemudian pada
tanggal 19 November 1912 bertepatan dengan 8 Dzulhijjah 1330 H. KH. Ahmad
Dahlan mendirikan perkumpulan yang diberi nama Muhammadiyah, bertujuan untuk
menghidupkan kembali ajaran Islam yang murni dan asli serta menuruti kemauan
ajaran agama Islam, Islam sebagai way of life, baik dalam kehidupan individu
maupun bermasyarakat. Organisasi ini merupakan lembaga sosial keagamaan yang
serupa halnya dengan gerakan pembaharuan di Mesir.
Usaha-usaha
pembaharuan Muhammadiyah meliputi:
a.
Memurnikan ajaran Islam dengan membersihkan praktek serta pengaruh
yang bukan dari ajaran Islam.
b.
Reformasi ajaran dan pendidikan Islam.
c.
Reformasi doktrin-doktrin dengan pandangan alam pikiran modern.
d.
Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar Islam.
Dalam bidang
pendidikan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang setaraf dengan sekolah
yang dilaksanakan pemerintah Belanda. Dalam bidang sosial telah mendirikan
sekolah yatim, fakir miskin, dan rumah sakit serta balai pengobatan.
Dalam
pengembangan wawasan keagamaan, jika al-Irsyad menempuh cara polemik dan debat
sekalipun, maka Muhammadiyah cenderung menitikberatkan pada transformasi
nilai-nilai lewat saran kultural yang tidak menimbulkan kegoncangan, misalnya
lewat tabligh dan pendidikan. Itulah metode pembaharuan Muhammadiyah yang
berlanggam “Jowo” dan penuh dengan “unggah-ungguh” kurang tegas seperti
al-Irsyad. Dengan cara yang demikian mama Muhammadiyah dapat mengembangkan
sayapnya ke seluruh Nusantara, tidak seperti al-Irsyad tidak menyebar ke
Nusantara.[8]
5.
Sarekat Islam
Sarekat Islam
(SI) merupakan
modifikasi dari Sarekat Dagang Islam (SDI) yang didirikan tanggal 11
Nopember 1911. Kalau SDI didirikan oleh H. Samanhudi, sedangkan SI dipelopori
H.O.S Tjokroaminoto.
Secara prinsip
SDI yang tadinya memperjuangkan persamaan hak-hak di bidang perdagangan bagi
kalangan bangsa Indonesia, yang mana pihak Belanda banyak memberikan prioritas
monopoli kepada para pedagang Cina dan non-pribumi, akhirnya diperjuangkan oleh
pihak organisasi SDI. Sedangkan SI bergerak bukan hanya sebatas perjuangan
ekonomi bangsa Indonesia, tapi juga merembet ke persoalan yang prinsip tentang
status sosial-politik bagi bangsa Indonesia.
Organisasi ini
sempat mengalami ujian berat, pada tahun 1914 Belanda memasukan ideologi
komunis diantaranya H.J.F Sneevlite mendirikan Indiche Sociaal Democratische
Vereeninging (ISDV). Sehingga lambat laun waktu SI pun menjadi lemah dalam
memperjuangkan kepentingan kemerdekaan bangsa Indonesia. sampai ISDV mengubah
diri secara resmi menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 23 Mei
1920, kemudian tokoh SI satu-persatu masuk ke dalam perangkap Komunis, SI pun
hanya sebagai baju untuk mengelabuhi massa muslimin. Sehingga muncul istilah
Syarikat Islam Merah (Komunis). Organisasi Syarikat Merah ini akhirnya menjadi
Partai Politik dan berganti nama dengan Partai Syarikat Islam (PSI) kemudian berganti nama lagi dengan
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Kurang lebih satu dekade saja PKI
menjadi partai terkuat di Asia.
6.
Jong Islamieten Bond (JIB)
Jong Islamieten
Bond (JIB) atau Ikatan
Pemuda Islam didirikan pada awal tahun 1925 di Yogyakarta. Ketua yang pertama
adalah R.J. Sjamsuridjal matan ketua Jong Java. Fenomena yang
melatarbelakangi berdirinya JIB ini, diantaranya karena tuntutan kegelisahan
intelektual bagi kalangan pemuda terpelajar yang berpendidikan keislaman taat.
Ada semacam tuntutan kesadaran beragama di kalangan mereka, kendati sebagian
mereka berpendidikan Barat namun perlu dicatat bahwa jasa-jasa Agus Salim dalam
menyadarkan potert modernisme Islam dalam nuansa keberagaman di kalangan pemuda
terpelajar pada waktu telah mendorong mereka untuk berhimpun diri di bawah
suatu garis perjuangan keislaman.
7.
Nahdatul Ulama’ Gerakan Populis
Pada
tanggal 31 Januari 1926 berdirilah organisasi Nahdatul Ulama atas inisiatif
ulama-ulama, antara lain KH Abdul Wahab, KH. Hasyim Asy’ari di Surabaya.
Organisasi ini berusaha mengembalikan dan mengikuti salah-satu madzhab yang
empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali) dalam ajaran Islam. Menegakkan
syari’at Islam serta mengusahakan berlakunya hukum Islam dalam hidup dan
kehidupan masyarakat.
Nahdatul
Ulama ketika pembentukannya tidak memproklamirkan dirinya sebagai organisasi
yang aktif dalam bidang politik, namun usaha-usahanya tidak terlepas dari
masalah politik.
Usaha-usaha
Nahdatul Ulama dalam bidang pendidikan dan keagamaan antara lain:
a.
Menyiarkan agama dengan tabligh, kursus-kursus dan penerbitan.
b.
Menggiatkan amar ma’ruf nahi munkar dengan sebaik-baiknya.
c.
Mendirikan dan mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran.
d.
Menggiatkan amar ma’ruf dan mempererat hubungan antara ulama dan
masyarakat.
e.
Mempererat hubungan antara ulama.
Penetapan
dalam bidang hukum Islam, metode yang dipakai ialah pertama mengkonfrontir perbuatan
itu dengan pendapat para ulama dan mengambil salah-satu pendapat/ madzhab yang
menurut mereka lebih rajih dan tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits
Nabi Muhammad SAW.
8.
PERSIS (Persatuan Islam)
Persatuan Islam (PERSIS) didirikan di Bandung pada tahun 1920, pelopor gerakan ini
diantaranya Haji Zamzam dan Haji Muhammad Junus. Saat itu berkumpul membahas
tentang pertikaian di kalangan Al-Irsyad dan Jamiat Khair, masuknya komunisme
ke SI yang menyebabkan perpecahan di kalangan SI.
Perkembangan PERSIS dapat dengan cepat
pada waktu itu didukung oleh militansi tokoh mudanya. Dua orang yang patut
dicatat dan berjasa besar dalam memompa ide pembaruan keagamaan adalah Ahmad
Hassan dan Muhammad Natsir. Ahmad Hassan adalah seorang yang brilian dalam
menulis, sedangkan Muhammad Natsir merupakan seorang tokoh muda yang menanjak
intelektualnya, dan amat piawai dalam berpidato sehingga boleh dikata menjadi
juru bicara organisasi pada waktu itu.
9.
Masyumi (Majelis Syura
Muslimin Indonesia)
Masyumi didirikan pada tanggal 7 November 1945 di Yogyakarta. Organisasi
ini erlainan dengan organisasi sebelumnya yang hanya mempunyai massa sesuai
dengan missi keorganisasian. Masyumi benar-benar merupakan pengejawentahan dari
semua aspirasi yang menginginkan adanya keterkaitan kehidupan beragama dengan
kehidupan bernegara.
Tanggung jawab bernegara yang besar
dari kalangan tokoh-tokoh Islam di wadah ini memang luar biasa. Dan itu
dirasakan manfaatnya, mengingat kubu-kubu yang berseteru dalam menjalankan roda
pemerintahan cukup heterogen. Terutama dari golongan sekuler dan PKI yang
menempati posisi-posisi penting didalam pemerintahan. Jadi dengan terbentuknya
Masyumi ini, paling tidak menjadi partai alternatif bagi oposisi politik ummat
Islam di kala itu.
Karena adanya ketimpangan peran, pada
ujung perjalananya masyumi tidak bisa lagi menyatukan ide kepartaian. Sehingga
tahun 1947 PSSI meninggalkan masyumi begitu juga NU pada tahun 1952. [9]
10.
ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia)
ICMI didirikan pada tanggal 7 Desember 1990. ICMI adalah wadah atau
lembaga transformasi sosial umat Islam Indonesia yang berperan untuk mewujudkan
umat Islam sebagai mayoritas agar lebih berperan dan berpartisipasi dalam
dinamika pembangunan nasional secara harmonis, integratif, emansipatif. ICMI
merupakan gerakan intelektual yang memang bernuansa teologis-politis. Nuansa
politis ICMI mengarah pada terbentuknya
muslim-intelek dalam hubungan bernegara. Kehadiran ICMI dianggap sangat
paradoksial dengan iklim dan nuansa politik awal Order Baru. Sehingga muncul
anggapan adanya upaya “rekayasa politik” terhadap Islam. Namun, kenyataan ini
tidak didukung oleh fakta yang konkret. [10]
D.
ISLAM FUNDAMENTALIS
istilah fundamentalisme atau radikalisme pada prinsip dan
penekanannya adalah sama dan tidaklah terlalu berbeda baik pada tingkat
pemikiran maupun pada tingkat gerakan. Musa keilani mendefinisikan fundamentalisme
sebagai gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak umat islam kembali kepada
kemurnian etika dengan cara mengintegrasikan secara positif (dengan doktrin
agama), kembali kepada keseimbangan hubungan antara manusia dengan tuhan,
manusia dengan dirinya sendiri.
Dengan pengertian diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa kaum
fundamentalisme lebih menekankan unsur rigid dan literalis. Penilaian
ini tentu didasarkan pada berbagai realitas praktis penampilan kelompok islam
yang yang lebih mengedepankan teks-teks klasik dalam menyelesaikan problem
kontemporer umat Islam. Dapat kita katakan, bahwa kaum fundamentalis memiliki
kecenderungan untuk melakukan intepretasi terhadap doktrin agama secara rigid,
literalis dan menonjolkan romantisme Islam masa lalu yaitu Islam di zaman
Nabi saw dan para sahabat-Nya serta pemimpin Islam setelah Nabi yang kita kenal
dengan empat khulafa ar-rasyidin. Kelompok ini pun menolak segala hal
yang dianggap baru, selain daripada yang telah ada dalam kitab suci Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi.[11]
Menguatnya pemikiran-pemikiran Islam fundamental, yang
kadang-kadang sering diidentikkan dengan pemikiran tekstual atau literal, Organisasi-
atau kelompok keagamaan yang selama ini dianggap ekstrim, sebut saja seperti
Hizbut Tahrir (HTI), Majelis Mujahahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Idlam
(FPI) dan lainnya. Bahkan beberapa pondok pesantren di Indonesia belakangan
sering diklaim sebagai pesantren fundamentaltalis dan menjadi padepokan
teroris. Kelompok-kelompok Islam yang sering mewacanakan isu kekhalifahan Islam
dengan penerapan syari’at islam secara formal di Indonesia itulah yang sering
diwacanakan sdebagai komunitas Islam fundamental.[12]
E.
ISLAM LIBERAL
Disisi lain kelompok-kelompok
diskusi yang sering mewacanakan isu-isu pemikiran liberal, seperti demokrasi,
multikulturalisme, Hak Asasi Manusia (HAM), dan lain-lain. Mereka menamakan
diri sebagai Islam liberal. Dalam hal ini dapat kita sebut seperti Komunitas
Islam Utan Kayu (KIUK), atau Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya Ulil Abshar Abdalla
dan kawan-kawannya, yang sering disebut sebagai jaringan setan oleh
lawan-lawannya dari komunitas Islam fundamental. Kemudian Lembaga Pendidikan
Islam Paramadina (didirikan oleh Nurcholis Majid) yang oleh Majelis Mujahidin disebut sekte setan. Selain JIL dan
Paramadina komunitas islam insklusif lainnya yang disebut memiliki
kecenderungan ketiga adalah Islam post-tradisional (postra), meski mereka menghargai
pluralisme, tetapi mereka kurang suka dengan gaya pemikiran liberal, Dalam hal
ini barangkali dapat dialamatkan kepada komunitas Islam kulturalnya NU.
Selain itu,
pada dasarnya banyak mengenai wacana-wacana liberal lainnya yang yang juga
bercorak dekonstruktif, mulai dari gerakan feminisme Islam yang memperjuangkan
paradigma kesetaraan “gender”, hingga gerakan lain yang menolak mentah-mentah
paradigma gender karena dianggap merusak tatanan budaya dan masyarakat.[13]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Itulah seklumit
atau sebagian dari gambaran wacana Islam kontemporer dalam peta sejarah
Islamisasi di Indonesia. Hingga saat ini isu-isu tersebut masih terus
berkembang dan akan selalu mewarnai proses islamisasi bagi masyarakat Indonesia.
karena islamisasi bukanlah semata-mata persoalan konversi, atau perjuangan
bagaimana menambah anggota atau jumlah komunitas penganut Islam, tetapi sejauh
mana intelektual Islam kontemporer mampu merepresentasikan
pemikiran-pemikirannya sebagai sebuah tawaran alternatif dalam rangka
meningkatkan kualitas reliligiusitas dan spiritualitas masyarakat Islam dalam
komunitas peradaban yang sudah meng-global dan tanpa batas ini. Pemaparan
diatas kiranya dapat berujung pada suatu kesimpulan, bahwa Islam sebagai agama
menjadi dasar keyakinan dan tindakan para pemeluknya. Namun akibat kemajemukan
pemahaman serta lingkungan sosial, budaya, dan politik masyarakat pemeluknya
itu, maka Islam pun tampil dalam sistem religiusitas agama ini berhadapan
dengan realitas pembangunan bangsa. Pola pemikiran keislaman yang diikuti
gerakan-gerakan umat menunjukkan relevansinya dengan gerak langkah pembangunan
bangsa.
B.
SARAN
Gerakan-gerakan
keagamaan, baik yang tradisional,
modern, neo-moderis, fundamentalis, militan, maupun ekstrem, semuanya merupakan
isyarat tentang sikap dan respon umat Islam terhadap kepentingan-kepentingan
bangsa. Siapa pun akan memandang sulit memang, apabila religiusitas itu dalam
kenyataannya beranekaragam dan dalam lingkungan yang plural pula dapat
dicarikan pemecahan bagi kesamaan gerakan umat. Barangkali yang jauh lebih
penting adalah mengupayakan pembinaan kesadaran bersama, bahwa Islam di
tengah-tengah kehidupan bangsa ini laksana satu panji beragam arti, dan
keragaman makna sebaliknya diyakini sebagai anugrah Ilahy untuk dinikmati kita
bersama. Wallahu ‘Alam.
[1] Abdul Sani, Lintasan
Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998), hlm.183-186
[2] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo
Persada, 2005), hlm. 307-313
[3] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta:RajaGrafindo
Persada, 2011), hlm. 257-258
[4] loc. Cit., hlm
188
[5] Yusran Asmuni, Pengantar
Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam Dirasah Islamiyah III,
(Jakarta:RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 98
[6] Ibid.,
hlm. 192-195
[7] Op.cit., hlm.
98-99
[8] Ibid., hlm.
100-101
[9] Ibid., hlm. 208-233
[10] Irwandar, Dekonstruksi Pemikiran Islam, (Sleman:
Ar-Ruzz Media, 2003), hlm.150-152
[11] Syariffuddin
Jurdi, Pemikiran Politik Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2008), hlm. 309-311.
[12] Muhdzirin, Sejarah
Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka, 2006), hlm.196.
[13] Ibid., hlm.
202
EmoticonEmoticon