SEJARAH DAN PERKEMBANGAN USHUL FIQH
MAKALAH
Mata Kuliah: Ushul Fiqh
Dosen pengampu: H. Ubaidillah. M.SI
Disusun oleh:
Tantri Ega dewanti (2021114044)
Fifi Marini Sajidah
(2021114081)
Nur Hidayah (2021114138)
Rofia Noviyani (2021114267)
KELAS: B
Jurusan Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Pekalongan
2015
i
KATA PENGANTAR
Segala
puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam tak lupa kami
panjatkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad SAW beserta para keluarga,
sahabat dan para umatnya.
Makalah
ini disusun guna melengkapi tugas Ushul fiqh. Dalam penyusunan makalah ini,
dengan kerja keras dan dukungan dari berbagai pihak, kami telah berusaha untuk
dapat memberikan serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan
harapan, walaupun di dalam pembuatannya kami menghadapi berbagai kesulitan
karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang kami miliki.
Oleh
sebab itu pada kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya khususnya kepada Bapak H.
Ubaidillah. M.SI selaku
dosen pembimbing Ushul fiqh. Kami
menyadari bahwa dalam penulisan dan pembuatan makalah ini, masih terdapat
banyak kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat kami
butuhkan untuk dapat menyempurnakannya di masa yang akan datang. Semoga apa
yang disajikan dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi kami dan teman-teman
maupun pihak lain yang berkepentingan.
Pekalongan,
25 September 2015
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah.................................................................................... 2
C.
Metode Pemecahan
Masalah.................................................................... 2
D.
Sistematika
Penulisan Makalah................................................................ 2
E.
Tujuan Penulisan
Makalah....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Periode
pertumbuhan/pembentukan ushul fiqh ....................................... 3
B.
Periode
Pengkodifikasian......................................................................................8
C.
Periode
Perkembangan.........................................................................................10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................................15
Saran.................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Sebagaimana ilmu-ilmu keagamaan lain dalam islam, Ilmu Ushul Fiqh
tumbuh dan berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan
kata lain, Ushul Fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi
benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah dan sahabat. Masalah utama yang
menjadi bagian Ushul Fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nash, dan takhsis
sudah ada pada zaman Rasulullah dan sahabat.
Pada masa tabi’in , cara mengistibath hukum semakin berkembang. Diantara
mereka ada yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas disamping berkembang
pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai tampak
perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari perbedaan
metode yang digunakan oleh para ulama’ ketika itu.
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau
pada masa Al-‘Alimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah
istinbath yang digunakan juga semakin jelas bentuknya. Abu Hanafiah misalnya
menempuh metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan
orang-orang Madinah.
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Nabi, sahabat,
tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum islam mengalami perkembangan. Namun
demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam suatu tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum berbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri .
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana Periode pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqh beserta cirinya?
2. Bagaimana periode pengkodifikasian ushul fiqh beserta cirinya?
3. Bagaimana periode Perkembangan ushul fiqh beserta cirinya?
C.
Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan
masalah yang di lakukan melalui studi literatur/metode kajian pustaka, yaitu
dengan menggunakan beberapa referensi buku atau dari referensi lainya yang
merujuk pada permasalahan yang di bahas. Langkah- lagkah pemecahan masalah nya
di mulai dengan menentukan masalah yang akan di bahas dengan melakukan
perumusan masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan
tujuan dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan
penyintesisan serta pengorganisasian jawaban permasalahan.
D. Sistematika Penulisan
Makalah
Makalah ini di tulis
dalam tiga bagian , meliputi: Bab I,
bagian pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan
masalah, metode pemecahan masalah, sistematika penulisan makalah , dan
tujuan penulisan makalah: Bab II, adalah pembahasan; Bab III, bagian penutup
yang terdiri dari kesimpulan dan saran serta daftar pustaka.
E. Tujuan Penulisan Makalah
Agar kita dapat mengetahui tentang Periodesasi Ushul Fiqih pada Masa Nabi, Sahabat, dan Tabi’in serta Latar
Belakang Terbentuknya dan Tumbuh Berkembangnya Ushul Fiqih .
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Periode pertumbuhan/pembentukan ushul fiqh
Ushul fiqh asal artinya sumber
atau dasar. Dasar dari fiqih adalah ushul fiqh, berarti ushul fiqh itu asas
atau dalil fiqh yang diambil dari Alqur’an dan Sunnah. Ushul fiqh ini
sebenarnya sudah ada semenjak masa Rasulullah SAW. ‘’Mengenai Ushul Fiqh
, ilmu ini lahir sejak abad ke-2 Hijriah. Ilmu ini, pada abad pertama Hijriah
memang tidak diperlukan lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa
mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu hukum berdasarkan ajaran al-Qur’an dan
Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau.
Ciri pada periode pertumbuhan yaitu : Rasul memberi peluang sahabat untuk
berijtihad ketika menghadapi masalah, mengajarkan prinsip musyawarah (ijmak),muncul
pengunaan ra’y. Berikut ini dijelaskan sejarah perkembangan Ushul fiqh
yang dibagi dalam beberapa periode.
1. Periode nabi
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam
Benih-benih ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa Rasulullah dan
sahabat. Selain itu, dalam pertumbuhan dan pembentukannya ilmu ushul fiqh juga
berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Ushul fiqh tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah saw. dan
sahabat. Unsur penting dalam ushul fiqh, seperti ijtihad,qiyas, nasikh-mansukh,
dan takhsis sudah ada pada masa Rasulullah saw. Dan sahabat.[1]
Dalam beberapa kasus, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat. Cara-cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang
menjadi bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin
menyatakan bahwa ushul fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni
sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini semakin jelas di zaman para sahabat karena
persoalan yang mereka hadapi semakin berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah
telah selesai turun seiring dengan wafatnya Nabi SAW.
Ciri-ciri dari periode nabiini bahwa pada masa itu Rosulullah SAW
berijtihad hukum-hukum yang merupakan keputusan dalam masalah-masalah yang
dihadapkan atau merupakan suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan.
Jalan yang diikuti rosul dalam menetapkan hukum ialah menanti wahyu, jika wahyu
tidak datang Nabi berpendapat bahwa Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah
yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri. Maka Nabi pun berijtihad dengan
berpedoman kepada ruhusy syari’ah.
2. Periode Sahabat
Pada masa ini kajian
tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya Rasulullah SAW. Sebab
pada masa hidupnya Rasulullah SAW, semua persoalan hukum yang timbul diserahkan
kepada Beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul terkadang
disiasati para sahabat Beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad
tersebut, dari segi tepat atau tidaknya ijtihad
mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Hal ini karena
Rasulullah SAW adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran Agama, melalui
wahyu yang diturunkan kepada Beliau[2].
Pada periode sahabat,
dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada hakikatnya para sahabat
menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh
yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak
terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.[3]
Contoh cikal bakal ilmu
ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat, antara lain
berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil hukum, sebagai
bagian dari ushul fiqh.[4]
Para sahabat Rasulullah SAW selain karena kedekatan
mereka kepada Beliau, mereka juga menimba banyak pengalaman dari Beliau dan
memahami secara mendalam pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka
sendiri memiliki pengetahuan bahasa arab yang sangat baik. Dengan bekal
pengalaman dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah SAW wafat mereka
telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas
peristiwa-peristiwa baru yang terjadi yang belum ada ketentuan hukumnya secara
eksplisit dalam Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami
kesulitan memahami ayat-ayat Alqur’an dan maksud sunnah untuk melakukan
pengembangan hukum Islam, terutama melalui metode qiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan
hukum ialah menelusuri ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang masalah
tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al qur’an maka mereka
mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah
mereka berijtihad.
Ciri khas yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah
sebagai berikut:
1)
Bersifat realistis,
karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada problem-problem aktual yang terjadi.
Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga
bentuk fiqih masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqih realistik)
2)
Bersifat terbuka,
karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti dalam
menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan
hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka menghargai kebebasan pendapat
tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
3)
Mengedepankan
musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam penetapan hukum.
Hal ini dipraktekkan oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil ruang
ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para
sahabat tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4)
Bersifat kreatif, dalam
arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya. Alasan modifikasi
ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut dan atau adanya
perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad Umar Ibn
Khattab, yang melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk
mendapatkan dukungan, namun pada masa Umar dukungan muaalaf tersebut tidak
dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat Islam sudah kuat. Contoh kedua
terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah, pernyataan tiga kali
talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq.
Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap
jatuh talaq tiga.
5)
Khalifah Centris, yaitu
keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan khalifah.
Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya.
Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya.
Contohnya misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah
Abu Bakar dan Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr dengan 40 kali cambuk,
sedangkan khalifah Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.[5]
3. Periode Tabiin
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya, yaitu masa
Tabi’in, tabi’ al-tabi’in serta imam- imam mujtahid sekitar abad ke-2 dan ke-3
H. Pada masa ini Daulah islamiyah sudah banyak berkembang dan banyak muncul
kejadian baru[6].
Pada masa ini, sejalan
dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam semakin heterogen
bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga dari segi
bahasa, peradaban, ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak
bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal sama sekali
pada masa Rasulullah SAW dan masa sahabat[7].
Untuk menjawab
kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak sebagai pemberi
fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba pengalaman dan
pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu mereka.
Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-Musayyab
(15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin
al-Qais (w. 62H) dan Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum
lainnya.[8]
Dalam melakukan
ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi tabi’in
juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu
mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka
telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi,
ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah,
yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.Terhadap sumber rujukan yang baru
itu, mereka memiliki kebebasan memilih metode yang mereka anggap paling sesuai.
Oleh karena itu,
Ciri-ciri sebagian
ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara
berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian
menerapkannya pada kasus-kasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi
memiliki ‘illah yang sama. Sementara sebagian ulama lainnya lebih
cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat dari segi
kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip
syara’.[9]
Perbedaan cara yang
ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul karena
perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum
(hujjah)? Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’
sehingga berkedudukan sebagai hujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat
pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua
aliran besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin
atau asy-Syafi’iyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’
atau hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.[10]
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah
tabi’in atau pada masa para imam mujtahid. Sebab kaidah-kaidah yang digunakan
semakin jelas bentuknya. Imam Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan
istihsan dan Imam Malik berpegang teguh kepada amalan orang-orang Madinah.
B.
Periode Pengkodifikasian
Salah satu faktor pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh
adalah perkembangan wilayah Islam yang semakin luas sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk
itu, para ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang dibukukan
untuk dijadikan rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum. Sebenarnya, jauh
sebelum dibukukannya ushul fiqh, ulama-ulama terdahulu telah membuat
teori-teori ushul fiqh yang dipegang oleh para pengikutnya masing-masing.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang
mewarnai perkembangan fiqh pada periode pengkodifiksasi :.
a)
Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh
sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya
Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani yang memuat
persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang melandasi
pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam al-Adliyyah
yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya
beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk
memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi.
b)
Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas,
bukan saja di
wilayah yurisdiksi
Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga diwilayah-wilayah yang tidak tunduk pada
yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak.
Pengkodifikasian hukum tersebut tidak
terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum
administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut
menyangkut persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang
berkaitan dengan hukum acara.
c). Munculnya upaya
pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali dengan
mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu
yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang
dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan
mungkin dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah
Kerajaan Turki Usmani mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan
al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada 1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal
asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari
mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i, Hanbali, bahkan juga dari
pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan Mazhab Sufyan
as-Sauri.[11].
Tak heran jika para pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa
gurunyalah yang pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh. Apabila dikembalikan
keadaan sejarah, maka yang pertama berbicara tentang masalah ushul fiqh sebelum
dibukukannya adalah para sahabat dan tabi’in.
Hal ini tidak menjadi perbedaan pendapat Namun, yang
diperselisihkan adalah orang yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqh sebagai
suatu disiplin ilmu tersendiri yang bersifat umum dan mencakup segala aspeknya.
Menurut Al-Suyuthi, para ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i adalah peletak
batu pertama ilmu ushul fiqh. Beliau adalah orang pertama yang berbicara
tentang ushul fiqh dan menulisnya secara tersendiri, sedangkan Imam Malik dalam
al-Muwaththa hanya menunjukkan sebagian kaidah- kaidahnya. Demikian pula
ulama-ulama lain semasanya, seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan
al-Syaibani.
Oleh karena itu, kitab al-Risalah adalah karya pertama yang
tersusun secara komprehensif, sempurna dan sistematis dalam bidang ilmu ushul fiqh.
Kitab ini tersusun dengan menggunakan metode tersendiri, objek kajian dan permasalahannya
juga tersendiri, tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqh apapun.[12]
Dalam proses pembukuan ushul fiqh, menurut rachmat syafi’i secara
garis besar, ada dua teori penulisan.
Pertama, merumuskan kaidah- kaidah Fiqhiyah bagi setiap bab-
bab fiqh dan menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah-
kaidah tersebut. Misalnya, kaidah- kaidah jual beli secara umum, atau kaidah-
kaidah perburuhan. Kemudian menetapkan batasan- batasannya dan menjelaskan
cara- cara pengaplikasikannya dalam kaidah- kaidah itu.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang
mujtahid untuk meng-istinbath hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa
terikat oleh pendapat seorang faqih atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya
maupun yang bertentangan.
C.
Periode Perkembangan
Perkembangan ushul fiqh menurut Rachmat Syafi’i dapat dibagi dalam tiga
tahap, yaitu tahap awal (abad ke-3 H); tahap perkembangan (abad ke-4H), dan
tahap penyempurnaan (abad ke-5 H).
1.
Tahap
Awal (abad ke-3 H)
Pada abad ke-3 H, di bawah pemerintahan Abbasiyah, wilayah Islam semakin
meluas ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa dalam abad
ini adalah: Al-Ma’mun (w. 218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H), Al-Wasiq (w. 232 H),
dan Al-Mutawakkil (w. 274 H). Pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan
ilmiah dikalangan Islam, yang dimulai sejak masa pemeintahan khalifah
Ar-Rasyid. Kebangkitan pada masa ini ditandai dengan timbulnya semangat
penerjemahan dikalangan ilmuwan muslim[13].
Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam Bahasa Arab, kemudian
diberikan penjelasan. Kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun ialah
Ar-Risalah karangan Asy-Syafi’i. Selain itu, tersusun pula kitab itsbat
al-Qiyas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w.324) dan buku al-jadal fi ushul fiqh
oleh Abu Mansur al-Maturidi (w.334), dan masih banyak kitab-kitab yang lain.
Pada umumnya, kitab ushul fiqh yang ada pada abad ke-3 H ini tidak mencerminkan
pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya, kecuali
kitab Ar-Risalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah mencakup permasalahan ushuliyah
yang menjadi pusat perhatian fuqaha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada kebanyakan
termuat dalam kitab-kitab fiqih, dan inilah salah satu penyebab pengikut
ulama-ulama tertentu mangklaim bahwa imam madzhabya sebagai perintis pertama
ilmu ushul fiqh[14].
2.
Tahap
Perkembangan (abad ke-4 H)
Abad ke-4 H merupakan abad permulaan kelemahan Dinasti Abbasiyah
dalam bidang politik. Pada abad ini, Dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi
daulah-daulah kecil yang masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun
demikian, kelemahan bidang politik ini tidak mempengaruhi perkembangan semangat
keilmuan dikalangan para ulama ketika itu. Bahkan, perkembangan ilmu ke-Islaman
pada abad ke-4 H ini jauh lebih maju dibanding masa-masa sebelumnya karena
masing-masing daulah kecil itu berusaha memajukan negerinya dengan memperbanyak
kaum intelektual sekaligus menjadi kebanggaan mereka, dan terjadinya
desentralisasi ekonomi yang membawa daulah-daulah tersebut semakin makmur dan
menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negerinya.
Perkembangan ilmu ushul fiqh pada abad ke-4 H, ini mempunyai
karakteristik tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ islam. Pemikiran
liberal islam berdasarkan ijtihad muthlaq berhenti pada abad ini. Mereka
mengangap para ulama terdahulu mereka suci dari kesalahan sehingga seorang
faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang khas, kecuali dalam hal-hal
kecil saja.[15]
Tidak dapat dipungkiri bahwa pintu ijtihad pada fase ini telah
tertutup sehingga kegiatan para ulama pada fase ini dalam bidang fiqh islam
terbatas pada menyampaikan apa yang telah ada, mereka cenderung hanya
menjelaskan kitab-kitab terdahulu, memahami atau meringkasnya. Menghumpun masalah-
masalah furu’ yang sedemikian banyak dalam uraian yang singkat, memperbanyak
pengandai-andaian dalam beberapa masalah.[16]
Yaitu munculnya kitab-kitab
ushul fiqh yang membahas masalah ushul fiqh secara utuh dan tidak
sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.Sekalipun ada yang
membahas kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau
memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqh pada abad ke-4 H. Ini
adalah munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya para ulama
fiqh[17].
a.
Kitab
ushul Al- kharkhi, ditulis oleh abu al-Hasan ubaidillah bin al-husain bin dilal
dalaham al-kharkhi( w.340 H) kitab ini bercorak hanafiyah, memuat 39
kaidah-kaidah ushul fiqh.
b.
Kitab
al-fushul fi al-ushul, ditulis oleh ahmad bin ali abu bakar al-razim yang juga
dikenal dengan al-jashshash (w. 370 H). Kitab ini juga bercorak hanafiyah.
c.
Kitab
bayan kasf al-alfazh, ditulis oleh abu muhammad badr al-din mahmud bin ziyad
al-lamisy al-hanafi. Kitab ini mengandung sekitar 128 lafazh/ ta’rif.
Selain itu, materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab
itu berbeda dengan kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukkan bentuk yang
lebih sempurna, sebagaimana yang tampak dalam kitab al-Fushul fial-Ushul karya
Abu Bakar al-Razi. Hal ini juga merupakan corak tersendiri dalam perkembangan
ilmu ushul fiqh pada awal abad ke-4 H ini.
Pada abad ke-4 h ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran
yang bercorak filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu mantiq dalam
ilmu ushul fiqh. Hal ini terlihat dalam masalah mancari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu ushul
fiqh disebut al-hudud, merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam perkembangan
(kitab-kitab) sebelumnya.[18]
a.
Ketergantungan
penulis ilmu ushul fiqh pada pola acuan dan kriteria manthiq dalam menjelaskan
arti-arti peristilahan ushuliyah.
b.
Munculnya
berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru independen dalam memberikan
definisi dan pengertian terhadap peristilahan- peristilahan yang khusus dipakai
ilmu ushul fiqh.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri
khas dalam perkembangan ushul fiqh
pada abad 4-H yaitu
a)
Munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas
ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagian-sebagaian seperti yang terjadi pada
masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya kitab-kitab tertentu, hal itu
semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu dalam masalah itu.
b)
Selain
itu materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab kita yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi
al-ushul karya Abu Bakar ar-Razi hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan
ilmu ushul fiqh pada awal abad 4 H ini.
3.
Tahap
Penyempurnaan (abad ke-5 H)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa
daulah kecil, membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban
Islam tidak lagi terpusat di Baghdad, tetapi juga di kota- kota lain, seperti
Kairo, Bukhara, Gahznah, dan Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar
dari sultan, raja-raja penguasa daulah- daulah kecil itu terhadap perkembangan
ilmu dan peradaban[19].
Salah satu dampak dari perkembangan itu adalah kemajuan di bidang ilmu
ushul fiqh yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk
mendalaminya, antara lain al-Baqillani, al-Qahdhi Abdul Jabar, Abdul Wahab
al-Baghdadi, Abu Zayd ad-Dabusy, Abu Husain al-Bashri, Imam al-Haramain, Abdul
Malik al-Juwaini, Abu Hamid al-Ghazali, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor
keilmuan Islam di zaman itu.
Para pengkaji ilmu ke-Islaman di kemudian hari mengikuti metode dan
jejak mereka, untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu ushul fiqh
yang tidak ada bandingnya dalam penulisan dan pengkajian ke- Islaman. Itulah
sebabnya pada zaman itu para generasi Islam pada kemudian hari senantiasa
menunjukkan minatnya pada produk-produk ushul fiqh dan menjadikannya sebagai
sumber pemikiran[20].
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari uraian tentang sejarah
perkembangan ushul fiqh, dapat disimpulkan bahwa selama abad ke-2 H sampai abad
ke-5 H merupakan periode gerakan pemikiran hukum Islam secara besar-besaran dan
meluas di berbagai wilayah.
Hal ini tidak lain karena disamping
para ulama dan fuqaha mempunyai kesungguhan dalam menggali hukum Islam, juga
karena pemerintah Abbasiyah mempunyai perhatian dan minat yang cukup besar
terhadap hukum Islam dan fuqaha. Para tokoh atau imam mazhab sudah
menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang
dapat dijadikan pijakan dalam menetapkan hukum.
B.
SARAN
Demikian makalah yang dapat kami buat. Kami menyadari bahwa makalah yang
kami susun ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mengharapkan kritik
dan saran yang konstruktif dari pembaca demi lebih baiknya penulisan makalah
yang selanjutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.
DAFTAR PUSTAKA
Mardani.
2013.Ushul fiqh. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Rohayana,
Ade dedi. 2005. Ushul fiqh. Pekalongan: Stain Press.
Shidiq
Sapiudin. 2011. Ushul fiqh. Jakarta: Prenada Media Group.
Suwarjin.
20011. Ushul fiqh. Yogyakarta: Teras.
[1] Ade dedi
Rohayana, Ushul fiqh (pekalongan:stain press,2004)hlm 16
[2] Sapiudin shidiq,
Ushul fiqh ( Jakarta, Prenada Media group, 2011) hlm 10
[3] Suwarjin, Ushul
fiqh ( yogyakarta: Teras, 2012) hlm 9
[4] Ade dedi
Rohayana, Ushul fiqh (pekalongan: stain press,2004)hlm 20
[5] Suwarjin, Ushul
fiqh ( yogyakarta: Teras, 2012) hlm 10
[6] Sapiudin
shidiq, Ushul fiqh ( Jakarta, Prenada Media group, 2011) hlm 11
[7] http://ifalifabaragbah.blogspot.co.id/2014/01/makalah-ushul-fiqh.html
di akses 25 septemeber 2015
[8] Mardani,
Ushul fiqh (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013) hlm11
[9] Mardani, Ushul
fiqh ( jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2013) hlm11
[10] Ade dedi
rohayana, Ushul fiqh ( Pekalongan: Stain Pekalongan Press, 2005) hlm 17
[11]Ade dedi
rohayana, Ushul fiqh ( Pekalongan: Stain Pekalongan Press, 2005) hlm 18
[12]
Ade dedi
rohayana, ilmu ushul Fiqh ( pekalongan: Stain Press, 2004) hlm 16
[13] Ibid hlm 20
[14] Beni Ahmad
Saebani, Ushul fiqh ( Bandung: Pustaka setia, 2009) hlm 132
[15] Ibid hlm 133
[16] Ade dedi
rohayana, ilmu ushul Fiqh ( pekalongan: Stain Press, 2004) hlm 24
[17] Ibid hlm 25
[18]
Ibid hlm 27
[19] Ibid hlm 27
[20] Beni Ahmad
Saebani, Ushul fiqh ( Bandung: Pustaka setia, 2009) hlm 139
EmoticonEmoticon