ISTIMDAD ILMU USHUL FIQH
Makalah
Makalah
ini
disusun
guna
memenuhi
tugas
Mata Kuliah : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu : H. M. Ubaidillah, M. Si
Disusun Oleh:
1.
Fina
Mardhotul
Maula (2021114027)
2. Malinda Risma Fitriani (2021114075)
3. Milkhati Rizqiyah (2021114136)
4. Nur Janah (2021114330)
5.
Yuhrotun Nisa
Kelas: B
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan
taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Istimdad Ilmu Ushul Fiqh”.
Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, sahabatnya,
keluarganya, serta segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna
menambah wawasan pengetahuan mengenai hubungan sekolah dan masyarakat dalam ilmu
ushul fiqh yang berguna bagi pembaca. Makalah ini disajikan sebagai bahan
materi dalam diskusi mata kuliah Ushul Fiqh. Penulis menyadari bahwa kemampuan
dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan
mencoba mengembangkan dari beberapa reverensi mengenai sumber sosiologi
pendidikan yang saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada
kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis
dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata, semoga makalah
yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang budiman. Amin
yaa robbal’alamin.
Pekalongan, 26 September 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata pengantar......................................................................................................... ii
Dartaf isi.................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 1
C. Tujuan Makalah................................................................................................ 2
D. Metode Pemecahan Masalah............................................................................ 2
E. Sistematika Penulisan Makalah......................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. Istimdad dalam Ushul Fiqh.............................................................................. 3
B. Ilmu-ilmu yang Membantu Ushul Fiqh............................................................. 7
C.
Garis Besar Ilmu Tauhid, Ilmu Bahasa Arab, dan
Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah. 9
D. Hakikat Hukum Islam ...................................................................................... 15
BAB III PENUTUP ............................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 18
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Al-Quran dan
As-Sunnah adalah dua sumber hukum dalam Islam yang telah diamanatkan oleh
Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam untuk dijadikan pegangan oleh seluruh
umatnya. Dijadikan pegangan atau dengan istilah lain berpegang teguh terhadap
Al-Quran dan As-Sunah tidak dapat tercapai kecuali dengan cara memahami
kandungannya dan pemahaman tersebut tidak akan lahir kecuali dengan cara
mengkaji dan membahasnya.
Pembahasan Al-Quran dan As-Sunnah tidak terlepas dari dua segi,
yaitu segi wurud (datang/sampainya kepada kita) dan segi dilalah
(penunjukannya). Oleh karena itu untuk dapat mengkaji al-Quran dan as-Sunnah
secara utuh dan benar, maka para ulama menyusun berbagai macam disiplin ilmu
diantaranya ‘ulumul hadits atau mustholah hadits untuk
membahas dari segi wurud, sedangkan dari segi dilalah
diantaranya menyusun Ushul Fiqih
Dalam pembahasan makalah ini,
mencoba untuk menjabarkan pengambilan hukum dalam ushul fiqih atau dikenal
dengan istilah istimdad. Bagaimana ushul fiqih menjadi suatu cabang ilmu
pengetahuan yang sekaligus merupakan dasar hukum dalam kehidupan manusia untuk
beribadah maupun bermuamalah.
B.
RumusanMasalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, penulis akan memaparkan pembahasan tentang istimdad ilmu ushul fiqh, yaitu:
1.
Apa yang
dimaksud istimdad dalam ushul fiqh?Apa saja
istimdad dalam ushul fiqh?
2.
Apa saja ilmu-ilmu yang membantu
ushul fiqh?
3.
Bagaimana garis besar ilmu Tauhid, ilmu Bahasa Arab, dan al-ahkam asy-syar’iyyah?
4.
Apa hakikat hukum islam?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Umum
Secara umum penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan mahasiswa tentang istimdad ilmu ushul fiqh.
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang istimdad dalam ushul fiqh.
b. Menjelaskan tentang ilmu-ilmu yang membantu
ushul fiqh.
D. Metode
Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui studi
literatur / metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi
buku atau dari referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menetukan
masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan
sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan
serta pengorganisasian jawaban permasalahan.
E. Sistematika Perumusan Makalah
Makalah ini ditulis menjadi tiga bagian meliputi :
Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan, dan sistematika penulisan makalah;
Bab II, adalah pembahasan;
Bab III, bagian penutup yang terdiri dari simpulan dan saran-saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Istimdad Dalam Ushul Fiqh
Syariat
islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan manusia dan seluruh ranah
apapun yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada satupun permasalahan dalam dunia
manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak ada satupun perbuatan manusia
kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat. Karena hukum Allah berkaitan
dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang disampaikan oleh para ulama
ushul fiqh. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji perbuatan manusia dari
perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fiqh.
Setiap
pengkaji sebuah ilmu sebelum mendalaminya mereka mesti mengetahui dasar-dasar
sebuah ilmu. Agar ilmu yang akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian
paripurna. Dasar-dasar sebuah ilmu ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi`
`asyarah al `ilm. Karena seseorang yang tidak tahu apa yang sedang
ditekuninya, akan berdampak terhadap kesia-siaan, yang tidak mendatangkan
faidah dalam pencariannya. Sebagian ulama mengatakan: “orang-orang yang tidak
menguasai dasar-dasar sebuah ilmu, maka ia tidak akan sampai (kepada puncak
pencapaian paripurna sebuah ilmu).”[1]
Menurut al-Syaukani dalam buku
karangannya Ade Dedi Rohayana, ilmu ushul fiqh bersumber atau lahir dari tiga
ilmu berikut ini:
1.
Ilmu Kalam (Teologi)
Yakni ilmu yang
menerangkan hukum-hukum syara’ dalam bidang i’tiqat yang diperoleh dari
dalil-dalil yang qath’i atau yang pasti, yang berdasarkan ketetapan akal,
Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dengan mengetahui ilmu ini, kita mengetahui adanya tuhan
Allah yang menurunkan syari’at dan adanya Rasul yang membawa syari’at tersebut
yaitu syari’at Islam.[2]
Ushul fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-dalil hukum hanya
berguna jika orang mengenal Allah Swt dan sifat-sifat-Nya, jika mengakui kebenaran
ajaran Rasulullah dan hal-hal akidah yang lain yang hanya bisa diketahui dari
Ilmu Kalam. Hubungannya yaitu sebelum kita lebih jauh mempelajari ilmu ushul
fiqih ataupun ilmu yang lain, maka kita hendaklah memiliki aqidah yang lurus,
mengimani Allah SWT beserta sifat-sifatnya. Dan meyakini
kebenaran rasul-Nya sebagai penyampai risalah Ilahiyyah.
2.
Ilmu Bahasa Arab
Terkait dengan bahasa
Arab, karena Al-Qur’an itu bahasa Arab, maka kita tidak akan dapat mengetahui
atau mengambil sesuatu hukum dari padanya kalau kita tidak mengetahui bahasa
Arab dalam segala seluk-beluknya, seperti nahwu, sharaf, lughat, dan lain-lain
yang berhubungan dengan ini.[3]
Bahasa Arab berperan penting karena dalil-dalil lafdziyyah, tekstual
(al-Qur’an dan as-Sunnah) dan pendapat para ahli menggunakan bahasa Arab,
sehingga persoalan-persoalan apakah teks itu menggunakan al-haqiqah dan
al-majaz, al-‘umum dan al-khas, al-mutlaq dan al-muqayyad, dan lain-lainnya
hanya bisa dipahami dengan menggunakan Bahasa Arab.
Hubungannya
bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum nomer
satu. Dan semua hal pembahasan ilmu ushul fiqih pada dasarnya diambil dari
Al-Qur`an. Maka, bahasa Arab ini sangat penting kedudukanya dalam mempelajari
ilmu ushul fiqih.
Sedangkan ushul fiqh itu suatu kegiatan mengistinbathkan hukum berdasarkan
Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka untuk memanfaatkan Ushul Fiqh guna
mengistinbathkan hukum syara’ harus memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah itu untuk
memahaminya tentu menggunakan bahasa Arab dan ilmu lain yang terkait dengan
Bahasa Arab, misalnya ilmu mantiq, balaghoh, maupun nahwu shorofnya.[4]
a.
Balaghah
Secara etimologi, balaghah
ialah sampai atau mencapai. Dalam bahasa Arab sering diucapkan:
الركب
المدينهبلغ : Rombongan kafilah telah sampai
di kota.
بلغ فلان مراده : Fulan telah mencapai maksudnya.
Dalam pengertian terminologi dikatakan bahwa, balaghoh menjadi sifat bagi
kalimat (الكلام) dan pembicara atau
orang yang berkata (المتكلم), sehingga dikatakan كلام بليغdan متكلم بليغ. Tidak menjadi sifat bagi kata sebab
memang tidak didengar ketentuannya.
Kalimat yang
baligh ialah kalimat yang sesuai dengan kondisi khitab dan lafaz-lafaznya telah
fasih, baik kata-kata ataupun kalimat-kalimatnya.
Balaghah
pembicara ialah kemampuan yang ada dihati yang dengan kemampuan itu dapat
disusun kalimat yang baligh yang sesuai dengan kontekstual, bersama itu kalimat
tersebut telah fasih dalam segala makna yang dituju.[5]
b.
Nahwu
Pengertian isim,
secara harfiah berarti sama. Sedangkan menurut istilah, isim adalah
semua jenis benda atau segala sesuatu yang dikategorikan benda, baik benda mati
maupun benda hidup, tanpa ada kaitannya dengan waktu, atau kata yang digunakan
sebagai nama untuk manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, dan lain-lain.
Pengertian fi’il, fi’il
adalah kata yang menunjukkan arti pekerjaan atau peristiwa yang terjadi pada
waktu tertentu, baik dimasa lampau, sekarang atau yang akan datang. Pengertian fi’il
hampir sama atau identik dengan istilah kata kerja dalam bahasa Indonesia.
Namun demikian, fi’il ini sangat erat hubungannya dengan waktu, seperti
halnya kata kerja dalam kata bagasa inggris yang juga lekat dengan waktu
pelaksanaanya.
Pengertian huruf, huruf
adalah kata yang tidak memiliki arti sempurna sebelum dihubungkan atau
digabung dengan kata lainnya. Dengan kata lain, huruf tidak memiliki arti yang
tanpa terhubung dengan kata yang lain yang ada dalam susunan kalimat. Oleh
sebab itu, huruf berfungsi sebagai penghubung kata benda dengan kata kerja,
kata benda dengan kata benda, ataupun kata kerja dengan kata kerja. Dalam
bahasa Indonesia, huruf hampir sama dengan istilah kata bantu.[6]
3.
Al-Ahkam As-Syar’iyyah
Hukum-hukum syara’ dari
sisi tashawwurnya, karena yang dimaksud adalah menetapkan atau meniadakan hukum
syara’. Hukum Syar’i penting bagi ushul fiqh karena materi bahasan ushul fiqh
adalah hukum-hukum syar’i, tentu orang harus tahu terlebih dahulu hakikat
hukum, sehingga ia tidak salah membahas.
Keterkaitan antara ushul
fiqih dengan ahkam syar’iyyah yaitu sebelum kita mengetahui maudhu’ ilmu
ushul fiqih, hendaknya kita memiliki tashowwur atau gambaran mengenai
bagaimana hukum syar’i dan pembagiannya.[7]
Khudhari Bek yang dikutip
oleh Ade Dedi Rohayana dalam bukunya “Ilmu Ushul Fiqh” menyebut ilmu
kalam diatas dengan istilah ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Hal ini karena ulama
tauhid menetapkan bahwa yang berada diantara dua pinggir (baina daftain) adalah
firman Alaah. Kemudian ushul fiqh membahas dalalah lafadz, penggunaan lafadz,
dan ruang lingkup lafadz, seperti ‘amm, khash, dan sebagainya. Padahal,
semuanya ini berkaitan dengan ilmu Bahasa Arab, sehingga secara otomatis ilmu
ushul fiqh lahir atau bersumber dari ilmu Bahasa Arab.
Pengetahuan hukum tidak terlepas
dari ruh tasyri’, tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) dan hakikat hukum.
Pengetahuan ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan
mengandung kemaslahatan. Dengan demikian, Khudhari Bek (1988: 15) memasukkan
ruh tasyri’ sehingga salah satu pendorong lahirnya ilmu ushul fiqh.[8]
B.
Ilmu-ilmu yang membantu Ushul Fiqh
Ilmu yang sangat berhubungan untuk mempelajari atau
memanfaatkan ilmu ushul fiqh yaitu sebagai berikut:
1.
Ilmu Tauhid
Ilmu
Tauhid adalah ilmu yang mempelajari ke-Esa-an Allah SWT, kebenaran adanya Allah
dan kebenaran ajaran-ajaran-Nya. Dengan bertauhid berarti seseorang meyakini
kebenaran tuntunan dan ajaran Allah SWT dengan demikian ia meyakini pula
kebenaran syari’at Islam, meyakini bahwa syari’at Islam adalah hukum Allah yang
terjamin kebenarannya, karena syari’at Islam itu diturunkan dari Allah Yang
Benar dan dibawa oleh utusan-Nya yang dapat dipercaya yakni Nabi Muhammad SAW
yang bergelar Al-Amin.
Tanpa
meyakini kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, mustahil seseorang akan berhukum
dengan syari’at Islam, karena ushul fiqh adalah alat untuk menetapkan hukum
amaliyah orang mukallaf berdasarkan dalil-dalil Syara’ (Al-Qur’an dan
As-Sunnah). Seseorang yang tidak mau berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
itu karena dalam hatinya memang kurang yakin akan kebenaran Al-Qur’an dan
As-Sunnah, orang yang demikian tidak akan memperoleh manfaat mempelajari ushul
fiqh.
2.
Ilmu Akhlak
Ilmu fiqih tidak bisa dipisahkan dari ilmu akhlak atau tasawuf, meskipun
keduanya bisa dibedakan. Pemisahan ilmu fiqih dari ilmu akhlak secara tajam
akan mengakibatkan ilmu fiqih kehilangan keindahannya. Tanpa ilmu
akhlak, ilmu fiqih hanya merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak
membawa kepada ketentraman dan ketenangan hati. Juga sebaliknya ilmu akhlak
tanpa ilmu fiqih dalam artinya yang luas akan menyimpang dari
ketentuan-ketentuan syari’ah. Pada gilirannya penyimpangan-penyimpangan ini
sulit untuk bisa dipertanggungjawabkan.
Singkatnya
hubungan antara ilmu fiqih dan ilmu akhlak ini adalah seperti bangunan dan isi
serta hiasan bangunan tersebut. Jadi ilmu tauhid merupakan pondasinya yang
kokoh dan kuat, ilmu fiqih merupakan bangunannya yang megah, dan tasawuf
merupakan isi dan hiasan yang indah.[9]
3.
Ilmu Sejarah
Ilmu sejarah atau tarikh memiliki tiga dimensi; masa lalu, masa kini dan
kemungkinan-kemungkinannya, masa yang akan datang. Untuk mengetahui bagaimana
ilmu fiqih di masa lalu, bagaimana sekarang, dan bagaimana
kemungkinan-kemungkinannya pada masa yang akan datang bisa ditelusuri dari ilmu
sejarah Islam dan sejarah hukum Islam atau lebih dikenal dengan Tarikh
al-Tasyri’.
Masa lalu
dan masa sekarang memberikan data dan fakta. Data dan fakta ini dicari latar
belakangnya serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan benang
merahnya yang merupakan semangat ajaran Islam pada umumnya dan semangat ilmu
fiqih pada khususnya yang berlaku sepanjang masa. Penerapan semangat ajaran ini
akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya
dengan tetap memperhatikan metodologi ilmu fiqih yaitu ushul fiqih dan
kaidah-kaidah fiqhiyah.[10]
4.
Perbandingan Madzab
Perbandingan
madzab ini lebih tepat disebut sebagai cara mempelajari fiqih dengan
membandingkan antara satu madzab dengan madzab lainnya. Prosesnya adalah
sebagai berikut: “pertama kali, disebutkan masalahnya dan hukum masalah
tersebut dari setiap madzab. Kemudian dikemukakan dalil-dalilnya dan cara
ijtihadnya yang mengakibatkan perbedaan hukum dari setiap imam madzab. Selanjutnya
ditelaah dan dianalisis dalil-dalil tersebut dari segala aspeknya yang
berkaitan dengan penarikan hukum. Terakhir disimpulkan hukumnya yang paling
tepat.[11]
5.
Ilmu Hukum
Maksud ilmu
hukum di sini adalah ilmu hukum sistem Romawi dan sistem hukum adat. Seperti
sering terjadi, sistem hukum Islam dalam masyarakat bertemu dengan sistem hukum
Romawi dan atau sistem hukum adat, misalnya di Indonesia hukum Islam menghargai
sistem hukum lain yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat selama tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dengan tegas di
dalam hukum Islam.[12]
C.
Garis Besar Ilmu Tauhid, Ilmu Bahasa Arab, dan Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah
1.
Garis Besar Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid dinamai dengan
Ilmu Ushuluddin, karena Ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan , yakni
kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan. Dan dinamai Ilmu Aqa’id,
karena dengan Ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara
mendalam dan mengingatkan dirinya hanya kepada Allah SWT. Sebagai Tuhan.
Dari pembahasan diatas tampak bahwa,
pada intinya Ilmu Tauhid ialah Ilmu yang berbicara tentang bagaimana
seseorang meyakini dan percaya hanya ada Tuhan yang satu, yang berkuasa atas
segala sesuatu, sehingga Ilmu Tauhid ini adalah sebuah disiplin ilmu
yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia, khususnya bagi umat beragama
untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun yang menjadi objek kajian
dari Ilmu Tauhid ini ialah Aqidah yang diterangkan
dalil-dalilnya, yakni Aqidah yang dimaksud ialah pendapat dan pikiran
atau anutan yang mempengaruhi jiwa manusia, lalu menjadi sebagai suatu bagian
dari manusia itu sendiri yang dipertahankan dan di I’tiqadkan bahwa itu
adalah benar. Oleh karenanya, Aqidah inilah yang menjadi dasar Aqidah
Islamiyah.
Secara
garis besar Ilmu Tauhid ialah Ilmu yang mempelajari bagaimana bertauhid
dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadist.
Petunjuk Al-Quran dan Hadist inilah yang dikaji secara mendalam oleh para
Ulama’. Namun karena pola pikir, latar belakang, metode pendekatan, dan sudut
pandang yang berbeda, tentunya hasil dari pemikiran merekapun berbeda pula.
Jangankan antar madzhab, di dalam satu madzhabpun perbedaan sering terjadi,
sehingga munculah sekte-sekte.
Jalan yang paling aman dan dekat
untuk mengenal Tuhan ialah dengan memperhatikan dan meneliti alam semesta.
Al-Quran selalu mendorong manusia agar mau memperhatikan dan memikirkan apa
yang ada dan terjadi di alam raya ini, bukan saja alam yang berada di luar
dirinya, tetapi juga apa yang ada dalam
diri manusia itu sendiri.[13]
2.
Garis Besar Ilmu Bahasa Arab
Ilmu Bahasa
Arab secara garis besar terdiri dari ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu mantiq, ilmu
balaghah, dan lain-lain. Namun, yang paling dominan adalah ilmu nahwu dan
sharaf. Pejelasan ilmu nahwu dan ilmu mantiq dapat dilihat pada penjelasan
sebelumnya. Dan penjelasan ilmu balaghah ada pada paragraf selanjutnya.
Sedangkan
pengertian ilmu sharaf (الصرف) menurut lughot adalah perubahan atau perpindahan,
sedangkan menurut Istilah sharaf berarti ilmu yang dipelajari untuk mengetahui
perubahan-perubahan bentuk kata yang
bukan dari segi I'robnya, seperti mengetahui shahihnya, mudho'af atau
ber'illatnya suatu kata dan gejala-gejalanya, baik berupa terjadinya
pergantian, pemindahan, pembuangan atau perubahan syakal karena menghendaki
ma’na yang dituju.[14]
Menurut Al-Ghulayayni, Sharaf adalah
kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada kita tentang bagaimana seharusnya keadaan
kata-kata sebelum tersusun dalam kalimat.
Menurut Amin Ali as-Sayyid, pengertian ilmu sharaf ada 2
macam. Pertama, perubahan kata kepada bentuk yang berbeda untuk
menyesuaikan jenis maknanya, seperti tashghir, taksir, tastniyah,
jama’. Kedua, perubahan kata dari asal letaknya dengan tujuan
lain dan tidak mengubah makna, seperti i’lal.
Sedangkan
menurut Ali Bahauddin
Bukhdud, ilmu sharaf adalah perubahan pada bentuk kata karena ada tujuan dalam
segi makna maupun lafadz. Yang dimaksud dengan perubahan kata di sini adalah
bentuk yang tertulis dari harakat, sukun, jumlah huruf, dan
urutan huruf.
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa ilmu sharaf
adalah suatu kajian mengenai perubahan kata karena ada perbedaan tujuan dari
segi lafadz maupun makna.
Menurut
KH. Ahmad Warson Munawwir shorof sebagai cabang ilmu bahasa Arab mula-mula
disusun dan dikembangkan oleh orang 'ajam (non Arab). Pengembangan ini
dimaksudkan untuk memberi bekal bagi orang 'ajam bukan penutur asli (ghoiru
nathiqin) agar dapat mempelajari dan kemudian mempelajari bahasa Arab.
Bersama dengan nahwu dan ilmu-ilmu lainnya seperti Arudl, Balaghoh, dan
ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya, shorof terbukti mampu menjadi ilmu alat penguasa
bahasa Arab, baik bagi orang-orang 'ajam , maupun bagi orang-orang Arab
yang belum baik dalam bahasa Arab (a 'jam).
Ilmu balaghah adalah ilmu yang mempelajari kefasihan
bicara, yang meliputi ilmu-ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’.[15]
Ilmu Ma’ani adalah ilmu untuk menjaga kesalahan
berbicara. Ilmu Bayan adalah ilmu untuk menjaga pembicaraan yang tidak mengarah
kepada tujuannya. Ilmu Badi’ adalah ilmu untuk menghias susunan kalimat.[16]
a.
Adapun obyek kajian Ilmu Ma’ani
adalah tema-tema berikut, (1) Kalâm Khabar (2) Kalâm Insya’ (3) al-Qasr
(4) Îjaz, Ithnab dan Musâwah.
1.
Kalâm Khabar (statement sentence)
Kalâm Khabar atau kalimat berita adalah kalimat
yang penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur dikatakan jujur jika
kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika kalimatnya tidak
sesuai dengan fakta[9]. Contoh kalâm khabar “purnama telah datang dan
pekat-pun berlalu”, bisa saja berita ini benar bisa juga salah. Adapun tujuan
kalimat berita (kalâm khabar) bermacam-macam, diantaranya;
a. Sebagai
permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh:
إني
فقير إلى عفو ربي
b. Menampakkan
kelemahan dan kepasrahan , contoh:
إني
وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا
c. Penyesalan
dari sesuatu yang diharapkan, contoh;
إني
وضعتها أنثى[17]
2.
Kalâm
Insya’(originative sentence)
Kalâm Insya’ adalah kalimat
yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur.[18]
Kalâm insya’ dibagi kedalam dua bagian, yaitu (1) Insya’ thalaby (2)
Insya’ ghairu thalaby.
a. Insya’ thalaby
Insya’ thalaby adalah kalimat yang menghendaki
suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta. Insya’ thalaby
dibagi kedalam lima macam, yaitu Al-`amr, Al-Nahy, al-Istifhâm, al-Tamannî, al-Nidâ’.[19]
b. Insya’ Ghair Thalaby
Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat yang didalamnya tidak
menghendaki suatu permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk,
al-Madh wa al-Dzam,Shiyâgh al-’Uqûd, al-Qasam dan al-Ta’ajjub wa
al-Raja’.
3. Al-Qashr (rhetorical restriction)
Al-Qashr berarti mengkhususkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula, kata pertama adalah al-maqsûr
(yang mengkhususkan) dan kata yang kedua adalah al-maqsûr ‘alaihi (yang
dikhususkan).[20]
4. Îjaz (brachylogi), Ithnab (periphrasis), Musâwah
(equality)
Îjaz adalah adanya makna yang luas
dibalik kalimat yang pendek. Îjaz ada dua macam, ada kalanya Qashr
(meringkas) dan ada kalanya Hadf (membuang). Contoh:
ولكم فى القصاص حياة يا أولى الألباب
(القصر)
وجاهد فى الله حق جهاده (الخذف)
Ithnab adalah menambah kata-kata dari makna
yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:
تنزل الملائكة و الروح فيها
Musâwah adalah kalimat dimana kata-katanya
sepadan dengan maknanya dan maknanya sepadan dengan kata-katanya, tidak lebih
dan tidak kurang.
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا
* ويأتيك بالأخبار من لم تزود
5. Al-Fashl dan al-Washl
Al-Washl adalah menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya
dengan huruf wawu, contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا
اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)
Al-Fashl adalah kebalikan dari al-washl, yakni tidak
menyambungkan antara dua kalimat, contoh:
وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ
وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ
وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (فصلت:34)
b. Obyek kajian ilmu Bayan
meliputi: (1) Tasybîh (2) Majâz, dan (3) Kinâyah.
1. al-Tasybîh(comparison)
Al-Tasybîh adalah seni penggambaran yang
bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman, tasybîh
merupakan ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa
hal, yang ditandai dengan kata-sandang kaf (bak/laksana) dan sejenisnya,
baik secara tersurat maupun tersirat.
2. Al-Majâz(allegory)
Majâz secara etimologi terbentuk dari
kata jâza al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara
terminologi, majâz menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan
untuk menunjuk sesuatu yang bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan
antara keduanya (makna tekstual dan kontekstual).
3. Al-Kinâyah(metonymy)
Kinâyah secara etimologi adalah
sesuatu yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain. Secara
terminologi, kinâyah berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna
sesungguhnya, namun diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak
adanya indikasi yang melarang keinginan pemaknaan haqiqî.
c. Secara gais besar ilmu badî’
mempunyai dua obyek kajian, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah
(keindahan ujaran) dan al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).
3.
Garis Besar Al-Ahkam As-Syar’iyyah
Garis besar Al-ahkam Asy-syar’iyyah
adalah Hukum-hukum Syara’ itu sendiri,
yaitu:
a.
Wajib
Wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara
tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya
karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam
dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang
menuntut.
b.
Mandub (sunnah)
Dalam artian lughawi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Adapun dalam
artian definitif (istilah) adalah sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya
secara hukum syar’i tanpa ada celaan terhadap orang yang meninggalkan secara
mutlak. Sunnah ini terbagi menjadi dua, yakni sunnah muakkad dan sunnah ghair
muakkad.
c.
Haram
Haram secara
lughawi adalah sesuatu yang lebih banyak kerusakannya.
d.
Karahah (makruh)
Karahah secara lughawi adalah sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu
yang dijauhi.
e.
Mubah
Mubah ialah sesuatu yang tidak dipuji mengajarkannya atau meninggalkannya.
D.
Hakikat Hukum Islam
Hakikat
hukum Islam adalah segala ketentuan yang telah ada dalam Al-Quran sebagai
sumber pertama hukum Islam dan Hadis sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an. Setelah
Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan penetapan hukum, sumber hukum yang ketiga
adalah ijtihad. Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya
bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad dilakukan dengan
mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara atau ketentuan hukum yang
bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang
telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi muhammad Saw.
BAB III
PENUTUP
Fiqh islami
adalah sebuah ilmu yang sangat subur dan mampu menjawab setiap permasalahan
umat. Ketika kita mengamalkan fiqh bukan berarti beramal dengan produk akal
manusia, akan tetapi tetap beramal dengan Al Qur`an dan sunnah yang otentik
dengan perantaraan ijtihad para ulama yang kompeten. Belakangan pengajaran fiqh
tidak segiat para ulama beebrapa kurun waktu lalu. Warisan berharga emas para
ulama pun hanya terpendam di dalam kitab-kitab klasik sebagai sebuah nostalgia.
Ini mengakibatkan konsep syariat islam yang merupakan rahmat bagi sekalian alam
dan bersifat universal gagal diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari muslim.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ahdhori,
Abdurrahman. 2009. Terjemah Jauharul Maknun (Ilmu Balaghah, alih bahasa
Achmad Sunarto. Surabaya: MUTIARA ILMU.
Al-Hasyimi, Sayid Ahmad.
1994. Jawahirul Balaghah. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Al-Jarim, ‘Ali dan
Musthafa Amin. 1977. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir:Dâr al-Ma’ârif.
Alnofiandri Dinar, Pengantar Ilmu Fiqh, syariahkita.wordpress.com/2010/11/01/pengantar-ilmu-fiqh/.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul
Fiqh. Yogyakarta: Sukses Offset.
Anas, A. Idhoh. 2007. Ilmu
Sharaf Lengkap.
Pekalongan: Al-Asri.
Banna’, Haddam. Tanpa
Tahun. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press.
Djazuli. 2005. Ilmu
Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Fachul Machasin, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, http://makasin.blogspot.com/2009/04/pengantar-ilmu-ushul-fikih.html.
Hasyimi, Ahmad. 1994. Jawâhir
al-Balâghah. Beirut: Dâr
al-Fikri.
http://executiftarbiyahptiq2012.blogspot.co.id/2014/01/manfaat-tujuan-dan-sumber-tauhid-aqidah.html.
Rohayana, Ade Dede. 2005. Ushul
Fiqh. Pekalongan: STAIN Press.
Rusdianto. 2012. Bahasa
Arab. Yogyakarta: Diva Press.
[7] Fachul
Machasin, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, http://makasin.blogspot.com/2009/04/pengantar-ilmu-ushul-fikih.html. Di akses
26 September 2015.
[13] http://executiftarbiyahptiq2012.blogspot.co.id/2014/01/manfaat-tujuan-dan-sumber-tauhid-aqidah.html. Diakses
tanggal 11 Desember 2015.
[15] Abdurrahman
Al-Ahdhori, Terjemah Jauharul Maknun (Ilmu Balaghah) alih bahasa Achmad
Sunarto (Surabaya: MUTIARA ILMU, 2009), hlm. 10.
[18] ‘Ali al-Jarim dan
Musthafa Amin, Al-Balâghah al-Wadhihah (Mesir:Dâr al-Ma’ârif, 1977), hlm. 139.
[19] Haddam Banna’, Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani (Ponorogo: Darussalam Press. Tanpa Tahun.
Hlm. 22.
EmoticonEmoticon