ISTIMDAD ILMU USHUL FIQH stain pkl



ISTIMDAD ILMU USHUL FIQH

Makalah

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah    : Ushul Fiqh
Dosen Pengampu        : H. M. Ubaidillah, M. Si

Disusun Oleh:
1. Fina Mardhotul Maula                                (2021114027)
2. Malinda Risma Fitriani                               (2021114075)
3. Milkhati Rizqiyah                                       (2021114136)
4. Nur Janah                                                    (2021114330)
5. Yuhrotun Nisa                                           
Kelas: B

JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )
PEKALONGAN
2015
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.
          Puji syukur kehadirat Allah Swt yang telah melimpahkan taufiq, hidayah dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Istimdad Ilmu Ushul Fiqh”. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Saw, sahabatnya, keluarganya, serta segala umatnya hingga yaumil akhir.
Makalah ini disusun guna menambah wawasan pengetahuan mengenai hubungan sekolah dan masyarakat dalam ilmu ushul fiqh yang berguna bagi pembaca. Makalah ini disajikan sebagai bahan materi dalam diskusi mata kuliah Ushul Fiqh. Penulis menyadari bahwa kemampuan dalam penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna. Penulis sudah berusaha dan mencoba mengembangkan dari beberapa reverensi mengenai sumber sosiologi pendidikan yang saling berkaitan. Apabila dalam penulisan makalah ini ada kekurangan dan kesalahan baik dalam penulisan dan pembahasannya maka penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran dari pembaca.
Akhir kata, semoga makalah yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang budiman. Amin yaa robbal’alamin.




Pekalongan, 26 September  2015


Penulis


DAFTAR ISI

Kata pengantar.........................................................................................................   ii
Dartaf isi..................................................................................................................   iii

BAB I PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang..................................................................................................   1
B.       Rumusan Masalah.............................................................................................   1
C.       Tujuan Makalah................................................................................................   2
D.      Metode Pemecahan Masalah............................................................................   2
E.       Sistematika Penulisan Makalah.........................................................................   2

BAB II PEMBAHASAN
A.      Istimdad dalam Ushul Fiqh..............................................................................   3
B.       Ilmu-ilmu yang Membantu Ushul Fiqh.............................................................   7
C.       Garis Besar Ilmu Tauhid, Ilmu Bahasa Arab, dan Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah.  9
D.      Hakikat Hukum Islam ......................................................................................   15

BAB III PENUTUP ...............................................................................................   17

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................   18




BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang Masalah
          Al-Quran dan As-Sunnah adalah dua sumber hukum dalam Islam yang telah diamanatkan oleh Rasulullah sallalahu ‘alaihi wa sallam untuk dijadikan pegangan oleh seluruh umatnya. Dijadikan pegangan atau dengan istilah lain berpegang teguh terhadap Al-Quran dan As-Sunah tidak dapat tercapai kecuali dengan cara memahami kandungannya dan pemahaman tersebut tidak akan lahir kecuali dengan cara mengkaji dan membahasnya.
Pembahasan Al-Quran dan As-Sunnah tidak terlepas dari dua segi, yaitu segi wurud (datang/sampainya kepada kita) dan segi dilalah (penunjukannya). Oleh karena itu untuk dapat mengkaji al-Quran dan as-Sunnah secara utuh dan benar, maka para ulama menyusun berbagai macam disiplin ilmu diantaranya ‘ulumul hadits atau mustholah hadits untuk membahas dari segi wurud, sedangkan dari segi dilalah diantaranya menyusun Ushul Fiqih
     Dalam pembahasan makalah ini, mencoba untuk menjabarkan pengambilan hukum dalam ushul fiqih atau dikenal dengan istilah istimdad. Bagaimana ushul fiqih menjadi suatu cabang ilmu pengetahuan yang sekaligus merupakan dasar hukum dalam kehidupan manusia untuk beribadah maupun bermuamalah.

B.       RumusanMasalah
      Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan memaparkan pembahasan tentang istimdad ilmu ushul fiqh, yaitu:
1.        Apa yang dimaksud istimdad dalam ushul fiqh?Apa saja istimdad dalam ushul fiqh?
2.        Apa saja ilmu-ilmu yang membantu ushul fiqh?
3.      Bagaimana garis besar ilmu Tauhid, ilmu Bahasa Arab, dan al-ahkam asy-syar’iyyah?
4.      Apa hakikat hukum islam?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.    Tujuan Umum
Secara umum penulisan ini bertujuan untuk mengetahui pengetahuan mahasiswa tentang istimdad ilmu ushul fiqh.
2.    Tujuan Khusus
a.    Menjelaskan tentang istimdad dalam ushul fiqh.
b.    Menjelaskan tentang ilmu-ilmu yang membantu ushul fiqh.

D.      Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui studi literatur / metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi buku atau dari referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menetukan masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian jawaban permasalahan.

E.       Sistematika Perumusan Makalah
Makalah ini ditulis menjadi tiga bagian meliputi :
Bab I, bagian pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, dan sistematika penulisan makalah;
Bab II, adalah pembahasan;
Bab III, bagian penutup yang terdiri dari simpulan dan saran-saran.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Istimdad Dalam Ushul Fiqh
            Syariat islam mencakup seluruh sisi hidup dan kehidupan manusia dan seluruh ranah apapun yang dilakonkan oleh manusia. Tidak ada satupun permasalahan dalam dunia manusia yang tidak dijamah oleh syariat. Tidak ada satupun perbuatan manusia kecuali ada hukumnya menurut pandangan syariat. Karena hukum Allah berkaitan dengan seluruh perbuatan manusia, seperti yang disampaikan oleh para ulama ushul fiqh. Secara spesifik ilmu untuk mengkaji perbuatan manusia dari perspektif syariat ini dikaji dalam ilmu fiqh.
            Setiap pengkaji sebuah ilmu sebelum mendalaminya mereka mesti mengetahui dasar-dasar sebuah ilmu. Agar ilmu yang akan ditekuni bisa diraih dengan pencapaian paripurna. Dasar-dasar sebuah ilmu ini dikenal oleh para ulama dengan istilah mabadi` `asyarah al `ilm. Karena seseorang yang tidak tahu apa yang sedang ditekuninya, akan berdampak terhadap kesia-siaan, yang tidak mendatangkan faidah dalam pencariannya. Sebagian ulama mengatakan: “orang-orang yang tidak menguasai dasar-dasar sebuah ilmu, maka ia tidak akan sampai (kepada puncak pencapaian paripurna sebuah ilmu).”[1]
            Menurut al-Syaukani dalam buku karangannya Ade Dedi Rohayana, ilmu ushul fiqh bersumber atau lahir dari tiga ilmu berikut ini:
1.        Ilmu Kalam (Teologi)
            Yakni ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ dalam bidang i’tiqat yang diperoleh dari dalil-dalil yang qath’i atau yang pasti, yang berdasarkan ketetapan akal, Al-Qur’an dan Al-Hadis. Dengan mengetahui ilmu ini, kita mengetahui adanya tuhan Allah yang menurunkan syari’at dan adanya Rasul yang membawa syari’at tersebut yaitu syari’at Islam.[2]
Ushul fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-dalil hukum hanya berguna jika orang mengenal Allah Swt dan sifat-sifat-Nya, jika mengakui kebenaran ajaran Rasulullah dan hal-hal akidah yang lain yang hanya bisa diketahui dari Ilmu Kalam. Hubungannya yaitu sebelum kita lebih jauh mempelajari ilmu ushul fiqih ataupun ilmu yang lain, maka kita hendaklah memiliki aqidah yang lurus, mengimani Allah SWT beserta sifat-sifatnya. Dan meyakini kebenaran rasul-Nya sebagai penyampai risalah Ilahiyyah.
2.        Ilmu Bahasa Arab
            Terkait dengan bahasa Arab, karena Al-Qur’an itu bahasa Arab, maka kita tidak akan dapat mengetahui atau mengambil sesuatu hukum dari padanya kalau kita tidak mengetahui bahasa Arab dalam segala seluk-beluknya, seperti nahwu, sharaf, lughat, dan lain-lain yang berhubungan dengan ini.[3]
            Bahasa Arab berperan penting karena dalil-dalil lafdziyyah, tekstual (al-Qur’an dan as-Sunnah) dan pendapat para ahli menggunakan bahasa Arab, sehingga persoalan-persoalan apakah teks itu menggunakan al-haqiqah dan al-majaz, al-‘umum dan al-khas, al-mutlaq dan al-muqayyad, dan lain-lainnya hanya bisa dipahami dengan menggunakan Bahasa Arab.
            Hubungannya bahwa bahasa arab adalah bahasa Al-Qur`an yang merupakan sumber hukum nomer satu. Dan semua hal pembahasan ilmu ushul fiqih pada dasarnya diambil dari Al-Qur`an. Maka, bahasa Arab ini sangat penting kedudukanya dalam mempelajari ilmu ushul fiqih.
Sedangkan ushul fiqh itu suatu kegiatan mengistinbathkan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka untuk memanfaatkan Ushul Fiqh guna mengistinbathkan hukum syara’ harus memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah itu untuk memahaminya tentu menggunakan bahasa Arab dan ilmu lain yang terkait dengan Bahasa Arab, misalnya ilmu mantiq, balaghoh, maupun nahwu shorofnya.[4]
a.    Balaghah
            Secara etimologi, balaghah ialah sampai atau mencapai. Dalam bahasa Arab sering diucapkan:
الركب المدينهبلغ : Rombongan kafilah telah sampai di kota.
     بلغ فلان مراده : Fulan telah mencapai maksudnya.
Dalam pengertian terminologi dikatakan bahwa, balaghoh menjadi sifat bagi kalimat (الكلام) dan pembicara atau orang yang berkata (المتكلم), sehingga dikatakan  كلام بليغdan متكلم بليغ. Tidak menjadi sifat bagi kata sebab memang tidak didengar ketentuannya.
Kalimat yang baligh ialah kalimat yang sesuai dengan kondisi khitab dan lafaz-lafaznya telah fasih, baik kata-kata ataupun kalimat-kalimatnya.
Balaghah pembicara ialah kemampuan yang ada dihati yang dengan kemampuan itu dapat disusun kalimat yang baligh yang sesuai dengan kontekstual, bersama itu kalimat tersebut telah fasih dalam segala makna yang dituju.[5]
b.    Nahwu
            Pengertian isim, secara harfiah berarti sama. Sedangkan menurut istilah, isim adalah semua jenis benda atau segala sesuatu yang dikategorikan benda, baik benda mati maupun benda hidup, tanpa ada kaitannya dengan waktu, atau kata yang digunakan sebagai nama untuk manusia, hewan, tumbuhan, benda mati, dan lain-lain.
            Pengertian fi’il, fi’il adalah kata yang menunjukkan arti pekerjaan atau peristiwa yang terjadi pada waktu tertentu, baik dimasa lampau, sekarang atau yang akan datang. Pengertian fi’il hampir sama atau identik dengan istilah kata kerja dalam bahasa Indonesia. Namun demikian, fi’il ini sangat erat hubungannya dengan waktu, seperti halnya kata kerja dalam kata bagasa inggris yang juga lekat dengan waktu pelaksanaanya.
            Pengertian huruf, huruf adalah kata yang tidak memiliki arti sempurna sebelum dihubungkan atau digabung dengan kata lainnya. Dengan kata lain, huruf tidak memiliki arti yang tanpa terhubung dengan kata yang lain yang ada dalam susunan kalimat. Oleh sebab itu, huruf berfungsi sebagai penghubung kata benda dengan kata kerja, kata benda dengan kata benda, ataupun kata kerja dengan kata kerja. Dalam bahasa Indonesia, huruf hampir sama dengan istilah kata bantu.[6]
3.        Al-Ahkam As-Syar’iyyah
            Hukum-hukum syara’ dari sisi tashawwurnya, karena yang dimaksud adalah menetapkan atau meniadakan hukum syara’. Hukum Syar’i penting bagi ushul fiqh karena materi bahasan ushul fiqh adalah hukum-hukum syar’i, tentu orang harus tahu terlebih dahulu hakikat hukum, sehingga ia tidak salah membahas.
            Keterkaitan antara ushul fiqih dengan ahkam syar’iyyah yaitu sebelum kita mengetahui maudhu’ ilmu ushul fiqih, hendaknya kita memiliki tashowwur atau gambaran mengenai bagaimana hukum syar’i dan pembagiannya.[7]
            Khudhari Bek yang dikutip oleh Ade Dedi Rohayana dalam bukunya “Ilmu Ushul Fiqh” menyebut ilmu kalam diatas dengan istilah ilmu tauhid dan ilmu fiqh. Hal ini karena ulama tauhid menetapkan bahwa yang berada diantara dua pinggir (baina daftain) adalah firman Alaah. Kemudian ushul fiqh membahas dalalah lafadz, penggunaan lafadz, dan ruang lingkup lafadz, seperti ‘amm, khash, dan sebagainya. Padahal, semuanya ini berkaitan dengan ilmu Bahasa Arab, sehingga secara otomatis ilmu ushul fiqh lahir atau bersumber dari ilmu Bahasa Arab.
            Pengetahuan hukum tidak terlepas dari ruh tasyri’, tujuan hukum (maqashid al-syari’ah) dan hakikat hukum. Pengetahuan ini diperlukan agar mampu menetapkan hukum yang tepat dan mengandung kemaslahatan. Dengan demikian, Khudhari Bek (1988: 15) memasukkan ruh tasyri’ sehingga salah satu pendorong lahirnya ilmu ushul fiqh.[8]



B.       Ilmu-ilmu yang membantu Ushul Fiqh
Ilmu yang sangat berhubungan untuk mempelajari atau memanfaatkan ilmu ushul fiqh yaitu sebagai berikut:
1.        Ilmu Tauhid
            Ilmu Tauhid adalah ilmu yang mempelajari ke-Esa-an Allah SWT, kebenaran adanya Allah dan kebenaran ajaran-ajaran-Nya. Dengan bertauhid berarti seseorang meyakini kebenaran tuntunan dan ajaran Allah SWT dengan demikian ia meyakini pula kebenaran syari’at Islam, meyakini bahwa syari’at Islam adalah hukum Allah yang terjamin kebenarannya, karena syari’at Islam itu diturunkan dari Allah Yang Benar dan dibawa oleh utusan-Nya yang dapat dipercaya yakni Nabi Muhammad SAW yang bergelar Al-Amin.
            Tanpa meyakini kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, mustahil seseorang akan berhukum dengan syari’at Islam, karena ushul fiqh adalah alat untuk menetapkan hukum amaliyah orang mukallaf berdasarkan dalil-dalil Syara’ (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Seseorang yang tidak mau berhukum dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah itu karena dalam hatinya memang kurang yakin akan kebenaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, orang yang demikian tidak akan memperoleh manfaat mempelajari ushul fiqh.
2.        Ilmu Akhlak
            Ilmu fiqih tidak bisa dipisahkan dari ilmu akhlak atau tasawuf, meskipun keduanya bisa dibedakan. Pemisahan ilmu fiqih dari ilmu akhlak secara tajam akan mengakibatkan ilmu fiqih kehilangan keindahannya. Tanpa ilmu akhlak, ilmu fiqih hanya merupakan bangunan yang kosong, sunyi dan tidak membawa kepada ketentraman dan ketenangan hati. Juga sebaliknya ilmu akhlak tanpa ilmu fiqih dalam artinya yang luas akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan syari’ah. Pada gilirannya penyimpangan-penyimpangan ini sulit untuk bisa dipertanggungjawabkan.
            Singkatnya hubungan antara ilmu fiqih dan ilmu akhlak ini adalah seperti bangunan dan isi serta hiasan bangunan tersebut. Jadi ilmu tauhid merupakan pondasinya yang kokoh dan kuat, ilmu fiqih merupakan bangunannya yang megah, dan tasawuf merupakan isi dan hiasan yang indah.[9]
3.        Ilmu Sejarah
            Ilmu sejarah atau tarikh memiliki tiga dimensi; masa lalu, masa kini dan kemungkinan-kemungkinannya, masa yang akan datang. Untuk mengetahui bagaimana ilmu fiqih di masa lalu, bagaimana sekarang, dan bagaimana kemungkinan-kemungkinannya pada masa yang akan datang bisa ditelusuri dari ilmu sejarah Islam dan sejarah hukum Islam atau lebih dikenal dengan Tarikh al-Tasyri’.
            Masa lalu dan masa sekarang memberikan data dan fakta. Data dan fakta ini dicari latar belakangnya serta ditelusuri kandungan maknanya, sehingga ditemukan benang merahnya yang merupakan semangat ajaran Islam pada umumnya dan semangat ilmu fiqih pada khususnya yang berlaku sepanjang masa. Penerapan semangat ajaran ini akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapinya dengan tetap memperhatikan metodologi ilmu fiqih yaitu ushul fiqih dan kaidah-kaidah fiqhiyah.[10]
4.        Perbandingan Madzab
            Perbandingan madzab ini lebih tepat disebut sebagai cara mempelajari fiqih dengan membandingkan antara satu madzab dengan madzab lainnya. Prosesnya adalah sebagai berikut: “pertama kali, disebutkan masalahnya dan hukum masalah tersebut dari setiap madzab. Kemudian dikemukakan dalil-dalilnya dan cara ijtihadnya yang mengakibatkan perbedaan hukum dari setiap imam madzab.             Selanjutnya ditelaah dan dianalisis dalil-dalil tersebut dari segala aspeknya yang berkaitan dengan penarikan hukum. Terakhir disimpulkan hukumnya yang paling tepat.[11]
5.        Ilmu Hukum
            Maksud ilmu hukum di sini adalah ilmu hukum sistem Romawi dan sistem hukum adat. Seperti sering terjadi, sistem hukum Islam dalam masyarakat bertemu dengan sistem hukum Romawi dan atau sistem hukum adat, misalnya di Indonesia hukum Islam menghargai sistem hukum lain yang telah menjadi adat kebiasaan masyarakat selama tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan dengan tegas di dalam hukum Islam.[12]

C.      Garis Besar Ilmu Tauhid, Ilmu Bahasa Arab, dan Al-Ahkam Asy-Syar’iyyah
1.        Garis Besar Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid dinamai dengan Ilmu Ushuluddin, karena Ilmu ini membahas pokok-pokok keagamaan , yakni kepercayaan dan keyakinan kepada Tuhan. Dan dinamai Ilmu Aqa’id, karena dengan Ilmu ini seseorang diharapkan agar meyakini dalam hatinya secara mendalam dan mengingatkan dirinya hanya kepada Allah SWT. Sebagai Tuhan.
Dari pembahasan diatas tampak bahwa, pada intinya Ilmu Tauhid ialah Ilmu yang berbicara tentang bagaimana seseorang meyakini dan percaya hanya ada Tuhan yang satu, yang berkuasa atas segala sesuatu, sehingga Ilmu Tauhid ini adalah sebuah disiplin ilmu yang sangat penting bagi kehidupan umat manusia, khususnya bagi umat beragama untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun yang menjadi objek kajian dari Ilmu Tauhid ini ialah Aqidah yang diterangkan dalil-dalilnya, yakni Aqidah yang dimaksud ialah pendapat dan pikiran atau anutan yang mempengaruhi jiwa manusia, lalu menjadi sebagai suatu bagian dari manusia itu sendiri yang dipertahankan dan di I’tiqadkan bahwa itu adalah benar. Oleh karenanya, Aqidah inilah yang menjadi dasar Aqidah Islamiyah.
Secara garis besar Ilmu Tauhid ialah Ilmu yang mempelajari bagaimana bertauhid dengan baik dan benar sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadist. Petunjuk Al-Quran dan Hadist inilah yang dikaji secara mendalam oleh para Ulama’. Namun karena pola pikir, latar belakang, metode pendekatan, dan sudut pandang yang berbeda, tentunya hasil dari pemikiran merekapun berbeda pula. Jangankan antar madzhab, di dalam satu madzhabpun perbedaan sering terjadi, sehingga munculah sekte-sekte.
Jalan yang paling aman dan dekat untuk mengenal Tuhan ialah dengan memperhatikan dan meneliti alam semesta. Al-Quran selalu mendorong manusia agar mau memperhatikan dan memikirkan apa yang ada dan terjadi di alam raya ini, bukan saja alam yang berada di luar dirinya, tetapi  juga apa yang ada dalam diri manusia itu sendiri.[13]
2.        Garis Besar Ilmu Bahasa Arab
Ilmu Bahasa Arab secara garis besar terdiri dari ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu mantiq, ilmu balaghah, dan lain-lain. Namun, yang paling dominan adalah ilmu nahwu dan sharaf. Pejelasan ilmu nahwu dan ilmu mantiq dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya. Dan penjelasan ilmu balaghah ada pada paragraf selanjutnya.
Sedangkan pengertian ilmu sharaf (الصرف) menurut lughot adalah perubahan atau perpindahan, sedangkan menurut Istilah sharaf berarti ilmu yang dipelajari untuk mengetahui perubahan-perubahan bentuk kata yang bukan dari segi I'robnya, seperti mengetahui shahihnya, mudho'af atau ber'illatnya suatu kata dan gejala-gejalanya, baik berupa terjadinya pergantian, pemindahan, pembuangan atau perubahan syakal karena menghendaki ma’na yang dituju.[14]
Menurut Al-Ghulayayni, Sharaf adalah kaidah-kaidah yang menjelaskan kepada kita tentang bagaimana seharusnya keadaan kata-kata sebelum tersusun dalam kalimat.
Menurut Amin Ali as-Sayyid, pengertian ilmu sharaf ada 2 macam. Pertama, perubahan kata kepada bentuk yang berbeda untuk menyesuaikan jenis maknanya, seperti tashghir, taksir, tastniyah, jama’. Kedua, perubahan kata dari asal letaknya dengan tujuan lain dan tidak mengubah makna, seperti i’lal.
Sedangkan menurut Ali Bahauddin Bukhdud, ilmu sharaf adalah perubahan pada bentuk kata karena ada tujuan dalam segi makna maupun lafadz. Yang dimaksud dengan perubahan kata di sini adalah bentuk yang tertulis dari harakat, sukun, jumlah huruf, dan urutan huruf.
Dengan demikian, dapat kita pahami bahwa ilmu sharaf adalah suatu kajian mengenai perubahan kata karena ada perbedaan tujuan dari segi lafadz maupun makna.
Menurut KH. Ahmad Warson Munawwir shorof sebagai cabang ilmu bahasa Arab mula-mula disusun dan dikembangkan oleh orang 'ajam (non Arab). Pengembangan ini dimaksudkan untuk memberi bekal bagi orang 'ajam bukan penutur asli (ghoiru nathiqin) agar dapat mempelajari dan kemudian mempelajari bahasa Arab. Bersama dengan nahwu dan ilmu-ilmu lainnya seperti Arudl, Balaghoh, dan ilmu-ilmu bahasa Arab lainnya, shorof terbukti mampu menjadi ilmu alat penguasa bahasa Arab, baik bagi orang-orang 'ajam , maupun bagi orang-orang Arab yang belum baik dalam bahasa Arab (a 'jam).
Ilmu balaghah adalah ilmu yang mempelajari kefasihan bicara, yang meliputi ilmu-ilmu Ma’ani, Bayan, dan Badi’.[15]
Ilmu Ma’ani adalah ilmu untuk menjaga kesalahan berbicara. Ilmu Bayan adalah ilmu untuk menjaga pembicaraan yang tidak mengarah kepada tujuannya. Ilmu Badi’ adalah ilmu untuk menghias susunan kalimat.[16]
a.    Adapun obyek kajian Ilmu Ma’ani adalah tema-tema berikut, (1) Kalâm Khabar (2) Kalâm Insya’ (3) al-Qasr (4) Îjaz, Ithnab dan Musâwah.
1.        Kalâm Khabar (statement sentence)
            Kalâm Khabar atau kalimat berita adalah kalimat yang penuturnya bisa dikatakan jujur atau bohong. Penutur dikatakan jujur jika kalimatnya sesuai dengan fakta, dan dikatakan bohong jika kalimatnya tidak sesuai dengan fakta[9]. Contoh kalâm khabar “purnama telah datang dan pekat-pun berlalu”, bisa saja berita ini benar bisa juga salah. Adapun tujuan kalimat berita (kalâm khabar) bermacam-macam, diantaranya;
a.    Sebagai permohonan belas kasihan (istirhâm), contoh:
إني فقير إلى عفو ربي
b.    Menampakkan kelemahan dan kepasrahan , contoh:
إني وهن العظم مني واشتعل الرأس شيبا
c.    Penyesalan dari sesuatu yang diharapkan, contoh;
إني وضعتها أنثى[17]
2.        Kalâm Insya’(originative sentence)
Kalâm Insya’ adalah kalimat yang penuturnya tidak bisa dinilai bohong ataupun jujur.[18] Kalâm insya’ dibagi kedalam dua bagian, yaitu (1) Insya’ thalaby (2) Insya’ ghairu thalaby.
a. Insya’ thalaby
Insya’ thalaby adalah kalimat yang menghendaki suatu permintaan yang belum diperoleh saat meminta. Insya’ thalaby dibagi kedalam lima macam, yaitu Al-`amr, Al-Nahy, al-Istifhâm, al-Tamannî, al-Nidâ’.[19]
b. Insya’ Ghair Thalaby
Insya’ Ghairu Thalaby adalah kalimat yang didalamnya tidak menghendaki suatu permintaan. Insya’ ghairu thalaby bisa berbentuk, al-Madh wa al-Dzam,Shiyâgh al-’Uqûd, al-Qasam dan al-Ta’ajjub wa al-Raja’.
3. Al-Qashr (rhetorical restriction)
Al-Qashr berarti mengkhususkan sesuatu dengan sesuatu yang lain dengan cara yang khusus pula, kata pertama adalah al-maqsûr (yang mengkhususkan) dan kata yang kedua adalah al-maqsûr ‘alaihi (yang dikhususkan).[20]
4. Îjaz (brachylogi), Ithnab (periphrasis), Musâwah (equality)
Îjaz adalah adanya makna yang luas dibalik kalimat yang pendek.  Îjaz ada dua macam, ada kalanya Qashr (meringkas) dan ada kalanya Hadf (membuang). Contoh:
ولكم فى القصاص حياة يا أولى الألباب (القصر)
وجاهد فى الله حق جهاده (الخذف)
Ithnab adalah menambah kata-kata dari makna yang sebenarnya untuk tujuan tertentu. Contoh:
تنزل الملائكة و الروح فيها
Musâwah adalah kalimat dimana kata-katanya sepadan dengan maknanya dan maknanya sepadan dengan kata-katanya, tidak lebih dan tidak kurang.
ستبدى لك الأيام ما كنت جاهلا  *  ويأتيك بالأخبار من لم تزود
5. Al-Fashl dan al-Washl
Al-Washl adalah menyambungkan kalimat dengan kalimat yang lainnya dengan huruf wawu, contoh:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ (التوبة: 119)
Al-Fashl adalah kebalikan dari al-washl, yakni tidak menyambungkan antara dua kalimat, contoh:
وَلاَتَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلاَالسَّيِّئَةُ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ (فصلت:34)
b.    Obyek kajian ilmu Bayan meliputi: (1) Tasybîh (2) Majâz, dan (3) Kinâyah.
1. al-Tasybîh(comparison)
Al-Tasybîh adalah seni penggambaran yang bertujuan menjelaskan dan mendekatkan sesuatu pada pemahaman, tasybîh merupakan ungkapan yang menerangkan adanya kesamaan sifat diantara beberapa hal, yang ditandai dengan kata-sandang kaf (bak/laksana) dan sejenisnya, baik secara tersurat maupun tersirat.

2. Al-Majâz(allegory)
Majâz secara etimologi terbentuk dari kata jâza al-syai’ yajûzuhu (melampaui sesuatu). Sedangkan secara terminologi, majâz menurut al-Jurjani berarti nominal yang dimaksudkan untuk menunjuk sesuatu yang bukan makna tekstual, karena adanya kecocokan antara keduanya (makna tekstual dan kontekstual).
3. Al-Kinâyah(metonymy)
Kinâyah secara etimologi adalah sesuatu  yang dibicarakan oleh seseorang namun maksudnya lain. Secara terminologi, kinâyah berarti ujaran yang dimaksudkan bukan untuk makna sesungguhnya, namun diperbolehkan menggunaan makna sesungguhnya karena tidak adanya indikasi yang melarang keinginan pemaknaan haqiqî.
c.    Secara gais besar ilmu badî’ mempunyai dua obyek kajian, yaitu al-Muhassinât al-Lafdziyyah (keindahan ujaran) dan al-Muhassanât al-Ma’nawiyyah (keindahan makna).

3.        Garis Besar Al-Ahkam As-Syar’iyyah
Garis besar Al-ahkam Asy-syar’iyyah adalah Hukum-hukum Syara’ itu sendiri, yaitu:
a.    Wajib
Wajib adalah suatu perbuatan yang dituntut Allah untuk dilakukan secara tuntutan pasti, yang diberi ganjaran dengan pahala orang yang melakukannya karena perbuatannya itu telah sesuai dengan kehendak yang menuntut dan diancam dosa orang yang meninggalkannya karena bertentangan dengan kehendak yang menuntut.
b.   Mandub (sunnah)
Dalam artian lughawi adalah seruan untuk sesuatu yang penting. Adapun dalam artian definitif (istilah) adalah sesuatu yang dituntut untuk memperbuatnya secara hukum syar’i tanpa ada celaan terhadap orang yang meninggalkan secara mutlak. Sunnah ini terbagi menjadi dua, yakni sunnah muakkad dan sunnah ghair muakkad.
c.    Haram
Haram secara lughawi adalah sesuatu yang lebih banyak kerusakannya.
d.   Karahah (makruh)
Karahah secara lughawi adalah sesuatu yang tidak disenangi atau sesuatu yang dijauhi.
e.    Mubah
Mubah ialah sesuatu yang tidak dipuji mengajarkannya atau meninggalkannya.

D.      Hakikat Hukum Islam
Hakikat hukum Islam adalah segala ketentuan yang telah ada dalam Al-Quran sebagai sumber pertama hukum Islam dan Hadis sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an. Setelah Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan penetapan hukum, sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad. Ijtihad berasal dari kata ijtahada yang artinya bersungguh-sungguh atau mencurahkan segala kemampuan. Ijtihad dilakukan dengan mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syara atau ketentuan hukum yang bersifat operasional dengan mengambil kesimpulan dari prinsip dan aturan yang telah ada dalam Al-Qur’an dan sunah Nabi muhammad Saw.























BAB III
PENUTUP

            Fiqh islami adalah sebuah ilmu yang sangat subur dan mampu menjawab setiap permasalahan umat. Ketika kita mengamalkan fiqh bukan berarti beramal dengan produk akal manusia, akan tetapi tetap beramal dengan Al Qur`an dan sunnah yang otentik dengan perantaraan ijtihad para ulama yang kompeten. Belakangan pengajaran fiqh tidak segiat para ulama beebrapa kurun waktu lalu. Warisan berharga emas para ulama pun hanya terpendam di dalam kitab-kitab klasik sebagai sebuah nostalgia. Ini mengakibatkan konsep syariat islam yang merupakan rahmat bagi sekalian alam dan bersifat universal gagal diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari muslim.



















DAFTAR PUSTAKA

Al-Ahdhori, Abdurrahman. 2009. Terjemah Jauharul Maknun (Ilmu Balaghah, alih bahasa Achmad Sunarto. Surabaya: MUTIARA ILMU.
Al-Hasyimi, Sayid Ahmad. 1994. Jawahirul Balaghah. Surabaya: Mutiara Ilmu.
Al-Jarim, ‘Ali dan Musthafa Amin. 1977. Al-Balâghah al-Wadhihah. Mesir:Dâr al-Ma’ârif.
Alnofiandri Dinar, Pengantar Ilmu Fiqh,                   syariahkita.wordpress.com/2010/11/01/pengantar-ilmu-fiqh/.
Amiruddin, Zen. 2009. Ushul Fiqh. Yogyakarta: Sukses Offset.
Anas, A. Idhoh. 2007. Ilmu Sharaf Lengkap. Pekalongan: Al-Asri.
Banna’, Haddam. Tanpa Tahun. Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani. Ponorogo: Darussalam Press.
Djazuli. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Prenada Media.
Fachul Machasin, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh,                      http://makasin.blogspot.com/2009/04/pengantar-ilmu-ushul-fikih.html.
Hasyimi, Ahmad. 1994. Jawâhir al-Balâghah. Beirut: Dâr al-Fikri.
Rohayana, Ade Dede. 2005. Ushul Fiqh. Pekalongan: STAIN Press.
Rusdianto. 2012. Bahasa Arab. Yogyakarta: Diva Press.


                [1] Alnofiandri Dinar, Pengantar Ilmu Fiqh, syariahkita.wordpress.com/2010/11/01/pengantar-ilmu-fiqh/.  Diakses tanggal 26 September 2015.
                [2] Muhammad Rifa’i, Ushul Fiqh  (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1995), hlm. 11.
                [3] Ibid., hlm. 11.
                [4] Zen Amiruddin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), hlm. 14.
                [5] Sayid Ahmad Al-Hasyimi, Jawahirul Balaghah (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994), hlm. 26.
                [6] Rusdianto, Bahasa Arab (Yogyakarta: Diva Press, 2012), hlm. 25.
                [7] Fachul Machasin, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh, http://makasin.blogspot.com/2009/04/pengantar-ilmu-ushul-fikih.html. Di akses 26 September 2015.
                [8] Ade Dedi Rohayana, Ushul Fiqh (Pekalongan: STAIN Press, 2005), hlm. 16.
                [9] Djazuli, Ilmu Fiqih (Jakarta: Prenada Media, 2005), hlm. 33-34.
                [10] Ibid., hlm. 37.
                [11] Ibid.
                [12] Ibid., hlm. 39.
[14] A. Idhoh Anas, Ilmu Sharaf Lengkap  (Pekalongan: Al-Asri, 2007), hlm. 3.
[15] Abdurrahman Al-Ahdhori, Terjemah Jauharul Maknun (Ilmu Balaghah) alih bahasa Achmad Sunarto (Surabaya: MUTIARA ILMU, 2009), hlm. 10.
[16] Ibid., hlm. 11.
[17] Ahmad Hasyimi, Jawâhir al-Balâghah (Beirut: Dâr al-Fikri, 1994), hlm. 59-60.
[18] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, Al-Balâghah al-Wadhihah (Mesir:Dâr al-Ma’ârif, 1977),  hlm. 139.
[19] Haddam Banna’, Al-Balâghah: fi ‘Ilm al-Ma’ani (Ponorogo: Darussalam Press. Tanpa Tahun. Hlm. 22.
[20] ‘Ali al-Jarim dan Musthafa Amin, Op. cit., hlm 154.


EmoticonEmoticon