Makalah akad mudharabah dalam dunia perbankan (Prodi PBS STAIMAFA PATI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Bank syariah merupakan bank berazaskan syariat islam dengan petunjuk berdasarkan Al – Qur’an dan Al Hadits. Disini disebutkan prinsip bagi hasil merupakan jiwa dan nafasnya perbankan syariah.  Tapi dalam pelaksanaan secara riil dilapangan, bank sebagai shohibul mal tidak mau rugi atas dana yang disalurkannya terhadap pembiyaan usaha dimasyarakat.
Sistem pembagian revenue sharing menjadi kerangka dari pembagiaan hasil pembiayaan. Begitu juga yang terjadi terhadap bank syariah sebagai bank berplat merah kerangka  revenue sharing dijadikan dasar pembagiaan hasil pembiayaan usaha. Untuk pelaksanaan manajemen bank syariah diawasi dan dibina oleh Dewan Pengawas Syariah, hal ini difungsikan untuk selalu dalam koridor syariat islam.
Hambatan – hambatan berkembangnya perbankan syariah ini teletak pada itikat baik para pelaku. Dalam hal besarnya pendapatan yang harus dijadikan obyek  nisbah bagi hasil,  shohibul mal masih mempertanyakan kejujuran mudharib. Seiring dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah ini,  menuntut pihak bank untuk profesionalitas dalam pelaksanaanya dan mensosialisasikan produk- produknya. Prinsip bagi hasil sebagai nafas dan jiwanya perbankan syariah perlu disosialisasikan dalam implementasi produk-produk perbankan syariah. Berdasar atas prinsip bagi hasil  dengan bentuk penghimpunan dan penyaluran mudharabah penulis meneliti dan mencoba mengkaji tentang masalah mudharabah  tersebut.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud akad mudharabah dan apa saja ruang lingkupnya dalam dunia perbankan?
2.      Bagaimana pelaksanaan sistem bagi hasil mudharabah dalam dunia perbankan?
3.      Apakah dalam prakteknya Perbankan Syariah selama ini sudah sesuai dengan ketentuan syariah?
                                                            BAB II                                           
PEMBAHASAN
A.    Ruang Lingkup Mudharabah
1.      Pengertian Dan Landasan Hukum Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Secara istilah mudharabah adalah akad kerjasama antara pihak pemilik dana (shohibul mal) dengan pihak pengelola dana (mudharib) dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Atau akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (shohibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola (mudharib).
Landasan Syariah
Mudharabah merupakan akad yang diperbolehkan, hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, hadits ataupun ijma ulama. Di antara dalil ( landasan syariah ) yang memperbolehkan praktik akad mudharabah adalah sebagai berikut :
a.       “. . . dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah . . .” ( QS. Al- Muzammil:20 ), yang menjadi argumen dan dasar dilakukan akad mudharabah dalam ayat ini adalah kata ‘ yadhribun ‘ yang sama dengan akar kata mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu perjalanan usaha.
b.      “ Abbas bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia ( mudharib ) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya”.
Hadits riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk pada keabsahan melakukan transaksi mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian dalam mudharabah selalu dijadikan acuan para fuqaha ( ahli fiqh ).
Hadits ini menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah, khususnya mudharabah muqayyadah, karena shahibul maal sebagai penyedia dana memberikan beberapa persyaratan bagi mudharib dalam mengelola dana yang diberikan. Isi hadits ini jelas sekali memberikan legalitas praktik pembiayaan mudharabah.
c.       “ Nabi bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah ; jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah ), dan mencampur gandum denganjewawut untuk keperluan rumah tangga,bukan untuk dijual”. Hadits riwayat Ibnu Majah merupakan dalil lain dibolehkannya praktik mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian banyak ulama yang menggunakannya sebagai dalil untuk akad mudharabah ataupun jual beli tempo.
Ulama menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebih baik, terdapat pada perniagaan, terlebih pada jual beli yang dilakukan secara tempo ataupun akad mudharabah sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam hadits tersebut.
Dengan menunjuk adanya keberkahan ini, hal ini mengindikasikan diperbolehkannya praktik mudharabah. Dengan adanya mudharabah ini, maka usaha yang dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan tumbuh menjadi lebih baik, begitu juga dengan pihak bank, modalnya akan bertambah karena mendapatkan financial return.
d.      Kesepakatan ulama akan bolehnya mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaily dari kitab al- Fiqh al- Islamy WaAdillatuh. Diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat melakukan mudharabah dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak seorang pun dari mereka yang menyenggah ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam suatu amalan tertentu yang disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak seorang pun menyanggahnya, maka hal itu merupaka ijma’. Ketentuan ijma’ ini secara sharih mengakui keabsahan praktik pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan
e.       Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan mudharabah dengan mengqiyaskannya ( analogi ) kepada transaksi Musaqat, yaitu bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik kebun bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat ( penyiram ) mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan  di depan dari out put perkebunan ( pertanian ). Dalam mudharabah, pemilik dana ( shahibul maal ) dianalogkan dengan pemilik kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogkan dengan pengusaha ( entrepreneur ). Mengingat dasar hukum musaqot lebih valid dan tegas yang diambil dari sunnah Rasulullah SAW, maka metodologi qiyas dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya mudharabah.[1]
2.      Rukun Dan Syarat- Syarat Mudharabah
·         Rukun Mudharabah
a.       Malik atau shahibul maal ialah yang mempunyai modal
b.      Amil, atau mudharib ialah yang akan menjalankan modal
c.       Maal ialah harta pokok atau modal
d.      Shighot,
e.       Hasil

·         Syarat Sahnya Mudharabah
a.       Barang yang diserahkan adalah mata uang, tidak sah menyerahkan harta benda atau emas-perak yang masih dicampur atau masih berbentuk perhiasan.
b.      Melafadzkan ijab dari yang punya modal, dan qobul bagi yang menjalankannya.
c.       Ditetapkan dengan jelas, bagi hasil bagian pemilikmodal dan mudharib.
d.      Dibedakan dengan jelas antara modal dan hasilyang akan dibagi hasilkan sesuai dengan kesepakatan.
3.      Jenis- Jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu:
1)      Mudharabah Mutlaqah (akad mudharabah tanpa pembatasan)
Jenis usaha mudharabah dimana shohibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam fiqh sering dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan sesukamu) dari shohibul mal ke mudharinb yang memberi kewenangan penuh.
2)      Mudharabah Muqayyadah (akad mudharabah dengan pembatasan)
Jenis usaha mudharabah dimana shohibul mal dan mudharib yang cakupannya dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
3)      Mudharabah Musytarakah
Bentuk mudharabah dimana pengelola dana atau mudharib menyertakan dananya dalam kerjasama investasi. Akad ini merupakan perpaduan dari akad mudharabah dan musyarakah. Dalam mudharabahmusytarakah ini, pengelola dana (akad mudharabah) menyertakan juga modalnya dalam investasi bersama (akad musyarakah). Pemilik modal musyarakah (musytarik) memperoleh bagian hasil usaha sesuai porsi dana yang disetorkan. Pembagian hasil usaha antar pengelola dana dan pemilik dana dalam mudharabahadalah sebesar hasil usaha musyarakah setelah dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik modal musyarakah.
4.      Aplikasi Dalam Perbankan
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Dalam penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada:
a)      Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan qurban, deposito biasa, dan sebagainya.
b)      Deposito spesial (special investment), diman dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Pada pembiayaan, diterapkan pada:
a)      Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b)      Investasi khusus, disebut juga mudharabahmuqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shohibulmal.
Secara umum aplikasi perbankan dari al- mudharabah dapat digambarkan dalam skema dibawah ini:
Mudharabah mutlaqah




Mudharabah Muqayyadah
5.      Fatwa DSN Mengenai Mudharabah
Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH) ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1)      Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif.
2)      Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek  (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib atau  pengelola usaha.
3)      Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah  pihak (LKS dengan pengusaha).
4)      Mudharib boleh  melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam  managemen perusahaan atau  proyek tetapi  mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5)      Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam  bentuk  tunai dan bukan piutang.
6)      LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau  menyalahi perjanjian.
7)      Pada prinsipnya, dalam  pembiayaan mudharabah tidak ada  jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan  dari mudharib atau pihak ketiga.  Jaminan ini hanya dapat dicairkan  apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal  yang telah disepakati bersama dalam  akad.
8)      Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.
9)      Biaya operasional dibebankan kepada mudharib.
10)  Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau  melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau  biaya yang telah dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1)      Penyedia dana (sahibul  maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2)      Pernyataan ijab dan qabul  harus dinyatakan oleh para  pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam  mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal  berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan  kontrak (akad).
b.       Penerimaan dari penawaran dilakukan  pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3)      Modal ialah sejumlah uang  dan/atau aset yang diberikan  oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan  usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.       Modal harus diketahui  jumlah dan jenisnya.
b.      Modal dapat berbentuk uang  atau  barang yang dinilai. Jika modal  diberikan  dalam  bentuk aset, maka  aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.       Modal tidak dapat berbentuk piutang  dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam  akad.
4)      Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.        Harus  diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh  disyaratkan hanya untuk satu  pihak.
b.      Bagian  keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui  dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam  bentuk  prosentasi (nisbah) dari keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.       Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh  menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau  pelanggaran kesepakatan.
5)      Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal  yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal  berikut:
a.       Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.       Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.       Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga: Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1)      Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
2)      Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
3)      Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
4)      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
B.     Teknik Penentuan dan Analisa Bagi Hasil
a.      Teknik Menentukan Bagi Hasil
Di dalam Perbankan Syari’ah perhitungan bagi hasil yang diterapkan terdiri dari dua sistem, yakni profit sharing dan revenue sharing.
Profit sharing adalah perhitungan bagi hasil yang didasarkan pada keuntungan bersih. Apabila bank menggunakan sistem ini, maka kemungkinan bagi hasil yang akan diterima shahibul maal akan semakin kecil.[2]
Revenue sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan pada total keseluruhan pendapatan yang diterima. Apabila bank menggunakan sistem ini, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi hasil yang akan diterima oleh shahibul maal akan lebih besar.
Nisbah bagi hasil merupakan persentase keuntungan yang akan diperoleh shahibul maal dan mudharib yang ditentukan berdasarkan kesepakatan antara keduanya. Jika usaha tersebut mengalami kerugian, bukan akibat kelalaian mudharib maka kerugiannya ditanggung oleh shahibul maal.[3]

b.      Teknik Distribusi Bagi Hasil Mudharabah
1.      Bagi hasil dalam penghimpunan dana (funding)
Contoh sederhana perhitungan bagi hasil bagi dana pihak ketiga (tabungan/deposito masyarakat), antara bagi hasil dengan sistem bunga, yakni sebagai berikut:
Sistem bagi hasil:
Sistem bunga:
Catatan:
a.       Pada sistem bagi hasil, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposan tergantung pada:
-          Pendapatan bank;
-          Nisbah bagi hasil antara nasabah dan bank;
-          Nominal deposito nasabah;
-          Total deposito (rata-rata deposito untuk jangka waktu yang sama pada bank);
-          Jangka waktu deposito.
b.      Pada sistem bunga, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposan tergantung pada:
-          Tingkat bunga yang berlaku;
-          Nominal deposito nasabah;
-          Jangka waktu deposito.[4]


Menghitung Saldo Rata-rata Harian
Hal yang terpenting dalam kaitannya dengan tabel pembagian pendapatan untuk penyimpan dana dan bank per bulan adalah menghitung rata-rata saldo harian. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1.      Menentukan tanggal berapa keuntungan yang diperoleh dari penempatan dana akan dibagihasilkan.
2.      Jumlah hari yang dihitung dalam satu bulan adalah sesuai dengan hitungan kalender. Contoh:
SANDI : Penyetoran              = 1       Pembetulan Kesalahan            = 5
               Pengambilan             = 2       Pemindahan saldo                   = 6
               Pemindahbukuan     = 3       Rupa-rupa                               = 7
               Kadar Keuntungan  = 4       Pajak                                       = 8
Tanggal
Sandi
Debet (Rp)
Kredit (Rp)
Saldo (Rp)
PC
Pengesahan Petugas Bank
27/09/2012
1

575.000
575.000


2/10/2012
2
125.000

450.000


10/10/2012
1

250.000
700.000


15/10/2012
2
100.000

600.000


21/10/2012
1

400.000
1.000.000


Dari buku tabungan ini kemudian dihitung saldo rata-rata harian, yakni sebagai berikut:
a)      Tgl 27/09/2012 s/d 1/10/2012       = 6 hari x 575.000       = 3.450.000
b)      Tgl 2/10/2012 s/d 9/10/2012         = 8 hari x 450.000       = 3.600.000
c)      Tgl 10/10/2012 s/d 14/10/2012     = 5 hari x 700.000       = 3.500.000
d)     Tgl 15/10/2012 s/d 20/10/2012     = 6 hari x 600.000       = 3.600.000
e)      Tgl 21/10/2012 s/d 26/10/2012     = 6 hari x 1.000.000    = 6.000.000
Jumlah                                              31 hari                      = 20.150.000
Sehingga ssaldo rata-rata harian   = 20.150.000 : 31        = 650.000
3.      Cara perhitungan di atas digunakan juga untuk menghitung simpanan lainnya.
4.      Untung menghitung simpanan yang ditutup, maka saldo rata-rata yang dihitung adalah sejak tanggal 27 sampai dengan tanggal penutupan rekening tersebut.
Cara Menghitung Pendapatan yang Akan Dibagihasilkan
Pendapatan bagi hasil yang diperoleh bank berasal dari hasil penempatan dana pihak ketiga melalui pemyaran yang berakad jual beli, syirkah atau jasa. Hasil dari pendapatan tersebut dibagihasilkan kepada nasabah pemilik dana (deposan). Namun perlu diperhatikan bahwa untuk membagihasilkan pendapatan tersebut harus dilihat perbandingan antara jumlah dana yang dikelola (Giro, Tabungan, deposito dan yang lainnya) dengan jumlah pembiayaan yang disalurkan. Apabila jumlah pembiayaan lebih kecil dari total dana masyarakat, maka pendapat tersebut seluruhnya dibagihasilkan antara nasabah dengan bank. Sebaliknya, jika pembiayaan jumlahnya lebih besar dari total dana masyarakar, maka modal bank juga harus memperoleh bagian pendapatan.
Contoh:
Jumlah pendapatan Bank dari bagi hasil pembiayaan Rp. 10.000.000,- dalam satu bulan. Total dana masyarakat yang dikelola Rp. 250.000.000,-. Pembiayaan yang diberikan berjumlah Rp. 230.000.000,- maka pendapatan bank Rp. 10.000.000,- ini yang dibagihasilkan antara nasabah dengan bank.
Seandainya total pembiayaan yang diberikan Rp. 300.000.000,- berarti modal bank yang ikut disalurkan sebesar Rp. 50.000.000,- sehingga pendapatan tersebut harus dibagi dulu dengan perhitungan sebagai berikut:
a.         Untuk bank = (50.000.000 : 300.000.000) x 10.000.000 = 1.666.667
b.        Untuk nasabah = (250.000.000 : 300.000.000) x 10.000.000 = 8.333.333



2.      Bagi hasil dalam penyaluran dana (financing)
a.       Mudharabah off balance sheet[5]
Sistem ini menunjukkan bahwa bank hanya sebagai arranger saja, sehingga hanya berhak mendapatkan upah (fee) dan tidak berhak mendapat bagian bagi hasil keuntungan.
b.      Mudharabah on balance sheet[6]
Note: Asumsi pendapatan per 1000 nasabah

Pembayaran bagi hasil dapat dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut:
a)      Anniversary Date
-          Pembayaran bagi hasil dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan tanggal pembukaan deposito.
-          Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
-          Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan.

b)      End of Month
-          Pembayaran bagi hasil dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap bulan.
-          Bagi hasil bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.
-          Bagi hasil bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal jatuh tempo. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
-          Jumalh hari sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan.
-          Bagi hasil bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai permintaan deposan.
Untuk menghitung hasil akhir dari permintaan, bahwa jika yang dihitungkan adalah hasil dapat ditempuh melalui dua cara, yakni sebagai berikut:
1)      Dengan sistem rata-rata
Contoh soal:
Pembiayaan mudharabah sebesar Rp. 10.000.000,- dengan jangka waktu 10 bulan. Profit Bank setara 19,5% satu tahun pendapatan aktual. Nisbah bagi hasil 60:40. Aktualisasi pendapatan bruto Rp. 3.000.000,- tiap bulan untuk tahap pertama, tetapi untuk tahap berikutnya Rp. 1.000.000,- tiap bulan.
Diminta:          a) Tabel proyeksi pembayaran dengan perhitungannya dahulu.
b) Tabel realisasi/aktualisasi dan perhitungannya.
Jawab:
a)      Profit setara 19,5% setahun, untuk rata-rata (12 + 1): 2 = 6,5 bulan. Satu bulan rata-rata profitnya = 19,5% : 6,5 = 3%. Tempo rata-rata adalah 10 bulan = 5,5 bulan, besar profitnya = 5,5 x 3% = 16,5% dari modal Rp. 10.000.000 = Rp. 1.650.000,-. Maka profit rata-rata satu bulan = Rp. 165.000,-. Angsuran rata-rata Rp. 1.000.000,-, sehingga jumlah yang disetorkan ke Bank rata-rata tiap bulan = (1.000.000 + 165.000) = Rp. 1.165.000,-.
  Tabel Proyeksi Pembayaran Mudharabah dan Rata-rata (Dalam Ribuan Rupiah)
Bulan
Aktual
Nisbah
Aktual
Profit
Angsuran
Jumlah
Porsi Nasabah
Ke
Hasil
Bank
Setoran
Bank
Ke Bank
Jalan
Nisbah
Hasil
Bonus
Jumlah
1
3000
60%
1800
255
1545
1525
40%
1400

1400
2
3000
60%
1800
255
1545
3090
40%
1400

2800
3
3000
60%
1800
255
1545
4635
40%
1400

4200
.....
........
........
........
........
........
........
........
........
........
........
7
3000
60%
1800
1070
730
10000
40%
1400
326
10126

21000
60%
12600
2600
10000
10000
40%
9800
326
10126
Profit yang harus diterima
1785

Kelebihan profit
815
Untuk bonus nasabah
326
Tambahan Profit Bank
489
Jumlah Bank seharusnya
1785
Jumlah Profit Bank semuanya
2275
b)      Aktualisasi hasil nasabah Rp. 3.000.000,- tiap bulan.
Proyek hasil = Rp. 1.942.000,- nisbah bank 60% setorannya = Rp. 1.800.000. maka profit bank = 3.000.000 : 1.942.000 x 165.000 = Rp. 255.000,-.
Angsuran pokok Rp. 1.800.000 – Rp. 255.000 = Rp. 1.545.000,- tiap bulan. Maka tujuh bulan sudah lunas Rp. 10.000.000, dengan angsuran ke tujuh Rp. 730.000,- dan untuk profit bank Rp. 1.000.000,- sehingga jumlah profit selama tujuh bulan menjadi Rp. 2.600.000,- seharusnya hanya Rp. 1.785.000,- kelebihan Rp. 815.000,-. Maka insentif/bonus nasabah = 40% x Rp. 815.000,- = Rp. 326.000,-.
Catatan:
Dengan aktualisasi tersebut, nampaknya terdapat 3 kemungkinan:
a.       Jika aktualisasi sama dengan proyeksi, jangka waktu sesuai proyeksi atau yang direncanakan.
b.      Jika aktualisasi lebih besar daripada proyeksi, jangka waktu dapat lebih cepat dari proyeksi/rencana.
c.       Jika aktualisasi lebih kecil daripada proyeksi, jangka waktu dapat lebih lama dari rencana jangka waktu.
2)      Dengan sistem efektif
Kasus:
1.      Modal kerja yang dibutuhkan Rp. 4.705.000 pertama kali dari bank syari’ah, selanjutnya dari hasil panen. Untuk investasi dibutuhkan Rp. 5.648.000,- sehingga plafon mudharabah berjumlah Rp. 10.353.000,-.
2.      Panen udang setiap bulan sekali. Pembiayaan direncanakan dalam waktu enam kali atau 36 bulan.
3.      Proyeksi penjualan tiap panen Rp. 8.750.000,-.
4.      Bagi hasil setara dengan mark-up Bank 20% p.a (aktual pendapatan) efektif.
Yang harus dicari adalah:
a)      Menghitung nisbah bagi hasil;
b)      Jika aktualisasi panen Rp. 20.000.000,- tiap panen, hitung aktualisasi pembayarannya;
c)      Jika aktualisasi hasil Rp. 7.000.000,- hitung aktualisasi pembayarannya.
Jawab:
Perhitungan profit setara 20% p.a efektif dalam 12 bulan, 6 bulan = 10%.
Ke-1 : Misalkan Angsuran pertama = A
           Profit 10% = 10% x Rp. 10.353.000 = Rp. 1.035.300 (P)
           Setoran = A + P = A + Rp. 1.035.000 – A
           Saldo modal = Rp. 10.353.000 – A
Ke-2 : P2 = 10% (10.353.000 + A) = 1.035.300 + 0,1 A
           A2 = S2 – P2 = (A + 1.035.300) – 1.035.300 + 0,1 A = 1,1 A
           Saldo modal = 10.353.000 – A – 1,1 A = 10.353.000 – 2,1 A
Ke-3 : P3 = 10% (10.353.000 – 2,1 A) = 1.035.300 – 2,1 A
           A3 = S3 – P3 = A – 1.035.300 – 1.035.300 + 0,21 A = 1,21 A
Ke-4 : A4 = 1,21 A x 1,1       = 1,331
Ke-5 : A5 = 1,331 A x 1,1     = 1,46
Ke-6 : A6 = 1,4641 A x 1,1   = 1,61051 A
c.       Teknik Konverensi Bagi Hasil Kedalam Equivalen Rate
Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah, misalnya Tabungan iB dan Deposito iB, penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:  jenis produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang mendapatkan  return  bagi hasil. Sementara itu untuk produk simpanan iB dengan skema titipan (wadiah), return yang diberikan berupa bonus.
Misalnya:
Seorang nasabah mendepositokan dananya ke bank syari’ah sebesar Rp. 10.000.000,- dalam jangka waktu 1 bulan dengan nisbah bagi hasil 65% : 35%, dan pada bulan tersebut pendapatan bank sebesar Rp. 20.000.000,- dan total deposito dalam 1 bulan sebesar Rp. 950.000.000,-. Dicari bagi hasil dan equivalent rate!
Jawab:
Untuk Nasabah:
Untuk Bank:
Dari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabahDari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah adalah sebesar: 16% dan untuk bank sebesar 9 persen. Dengan demikian, dapat diperhitungkan sebagai berikut:
1)      Untuk nasabah: [16% : (16%+ 9%)] = 0,64 atau sebesar 64%.
2)      Untukbank syariah: [9% dibagi (16%+ 9%)] = 0.36 atau sebesar 36%.Maka nisbah bagi hasilnya kemudian dapat dituliskan sebagai 66%:34%.
Maka dengan perhitungan tersebut hampir sama dengan hasil nominal dari nisbah bagi hasil 65%:35%. Tentu saja dalam prakteknya nasabah iB tidak perlu terlalu pusing dengan perhitungan  njlimet  bagi hasil semacam ini. Masyarakat hanya tinggal menanyakan berapa rate indikatif  dari Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini adalah nilai  equivalent rate  dari pendapatan investasi yang akan dibagikan kepada nasabah, yang dinyatakan dalam persentase. Jadi masyarakat dengan cepat dan mudah dapat menghitung berapa besar keuntungan yang akan diperolehnya dalam menabung sekaligus berinvestasi di bank syariah.
C.    Analisis Akad Mudharabah Dalam Perbankan
Semoga yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah ini.
1.      Analisis Pertama: Peranan Ganda Perbankan Syari’ah
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.
Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.
Imam an-Nawawi Rahimahullah berkata, “tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah (pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil”.[7]
Ucapan senada juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata, “Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima) kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . . Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak mengetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya”.[8]
Dalam akad mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama’ menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[9]
Rekomendasi :.
Seharusnya bank mempunyai usaha sendiri tidak berperan ganda sebagai pelaku usaha dan pemilik pemodal. Karena jika bank berstatus ganda maka akad tersebut statusnya berubah menjadi utang piutang. Jadi bila ia berperan sebagai pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan amanah dari pemodal ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga tidak semestinya bank kembali menyalurkan modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah. Akan tetapi bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang  dikelola adalah milik nasabah.
2.      Analisis Kedua: Bank Tidak Memiliki Usaha Riil
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam. Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak berisiko.
Oleh karena itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan. Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai penyalur dana nasabah.
Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah. Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya, maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.
Rekomendasi:
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan operasional suatu bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, agar bank terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki berbagai unit usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya perbankan hanya mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata, tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, keuntungan yang didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat dihindarkan.
3.      Analisis Ketiga: Bank Tidak Siap Menangggung Kerugian.
Analisis yang ke tiga  ialah, ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung risiko mudharabah yang mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian, walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.
Para ulama dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil (baca: al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/145, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 38/64).
Sebagai contoh misalnya Bank toyyib syariah mengucurkan modal kepada Pak Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60% banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia terima dari bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank toyyib syariah akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh, yaitu Rp. 100.000.000,-.
Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan demikian, perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka kita katakan bahwa, alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha; dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali: Pertama, ia telah bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi pada modal yang pernah ia terima dari bank.
Rekomendasi:
Seharusnya bank lebih berani untuk mengambil resiko, dan tidak hanya meraih keuntungan belaka, karena dalam di dunia usaha pasti ada untung dan ruginya. Jadi bank selain mendapatkan bagi hasil yang berupa keuntungan juga harus menanggung atas resiko kerugian.
4.      Analisis Keempat : Semua Nasabah Mendapatkan Bagi Hasil.
Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya. Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.
Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah. Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah disalurkan.
Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini memaksa perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.
Rekomendasi:
Pemilahan nasabah berdasarkan tujuan masing-masing.
Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan dananya di bank menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya. Kelompok kedua, nasabah yang bertujuan mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang ada.
Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan dapat menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan dan sepenuhnya keuntungan yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding dana oprasionalnya.
Di antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari overlikuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan. Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan kepada nasabah, kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan metode yang simpel nan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.







BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah, misalnya Tabungan iB dan Deposito iB, penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:  jenis produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank. Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang mendapatkan  return  bagi hasil. Sementara itu untuk produk simpanan iB dengan skema titipan (wadiah), return yang diberikan berupa bonus.
Mudharabah adalah akad kerjasama antara pihak pemilik dana (shohibul mal) dengan pihak pengelola dana (mudharib) dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Atau akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama (shohibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola (mudharib).
Dari sedikit pemaparan perbankan syari’ah yang ada tidak menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya, kita dapat simpulkan bahwa perbankan syariah yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan, yang terjadi sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syariah. Mungkin, inilah yang mendorong sebagian umat Islam berani mempermainkan berbagai istilah syariah.





DAFTAR PUSTAKA
A. Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 3, Cet. 5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008)
Al-Aziz oleh ar-Rafi’i
al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali,
at-Tahdzib oleh Imam al-Baghawi
Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini
Muhamad, Teknik Perhitugan Bagi Hasil dan Pricing di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi
Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu




[1]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2008, hlm. 225-227
[2]Muhamad, Teknik Perhitugan Bagi Hasil dan Pricing di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 97
[3]Ibid, hlm. 99
[4]Ibid, hlm. 115-116
[5]Karim, A. Adiwarman, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 3, Cet. 5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 312
[6] Ibid, hlm. 314
[7](Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, silakan baca juga at-Tahdzib oleh Imam al-Baghawi 4/392, Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 202).
[8](al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali, 7/156).
[9](baca Al-Aziz oleh ar-Rafi’i 6/27-28, Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/158, Mughnil Muhtaaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikatul Mudharabah Fil Fiqhil Islaamy oleh Dr. Saad bin Gharir as-Silmy, hal. 202).


EmoticonEmoticon