BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Bank syariah merupakan bank berazaskan syariat islam dengan
petunjuk berdasarkan Al – Qur’an dan Al Hadits. Disini disebutkan prinsip bagi
hasil merupakan jiwa dan nafasnya perbankan syariah. Tapi dalam pelaksanaan secara riil
dilapangan, bank sebagai shohibul mal tidak mau rugi atas dana yang
disalurkannya terhadap pembiyaan usaha dimasyarakat.
Sistem pembagian revenue sharing menjadi kerangka dari pembagiaan
hasil pembiayaan. Begitu juga yang terjadi terhadap bank syariah sebagai bank
berplat merah kerangka revenue sharing
dijadikan dasar pembagiaan hasil pembiayaan usaha. Untuk pelaksanaan manajemen
bank syariah diawasi dan dibina oleh Dewan Pengawas Syariah, hal ini
difungsikan untuk selalu dalam koridor syariat islam.
Hambatan – hambatan berkembangnya perbankan syariah ini teletak
pada itikat baik para pelaku. Dalam hal besarnya pendapatan yang harus
dijadikan obyek nisbah bagi hasil, shohibul mal masih mempertanyakan kejujuran
mudharib. Seiring dengan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan
syariah ini, menuntut pihak bank untuk
profesionalitas dalam pelaksanaanya dan mensosialisasikan produk- produknya.
Prinsip bagi hasil sebagai nafas dan jiwanya perbankan syariah perlu
disosialisasikan dalam implementasi produk-produk perbankan syariah. Berdasar
atas prinsip bagi hasil dengan bentuk
penghimpunan dan penyaluran mudharabah penulis meneliti dan mencoba mengkaji
tentang masalah mudharabah tersebut.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud akad mudharabah dan apa saja ruang lingkupnya
dalam dunia perbankan?
2.
Bagaimana pelaksanaan sistem bagi hasil mudharabah dalam dunia
perbankan?
3.
Apakah dalam prakteknya Perbankan Syariah selama ini sudah sesuai
dengan ketentuan syariah?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Ruang Lingkup Mudharabah
1.
Pengertian Dan Landasan Hukum Mudharabah
Mudharabah berasal
dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau
berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam
menjalankan usaha. Secara istilah mudharabah adalah akad kerjasama
antara pihak pemilik dana (shohibul mal) dengan pihak pengelola dana (mudharib)
dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian
ditanggung oleh pemilik modal. Atau akad kerjasama usaha antara dua pihak,
dimana pihak pertama (shohibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lain menjadi pengelola (mudharib).
Landasan Syariah
Mudharabah merupakan akad yang diperbolehkan,
hal ini berlandaskan atas dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an, hadits
ataupun ijma ulama. Di antara dalil ( landasan syariah ) yang memperbolehkan
praktik akad mudharabah adalah sebagai berikut :
a. “. . .
dan dari orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah
. . .” ( QS. Al- Muzammil:20 ), yang menjadi argumen dan dasar dilakukan akad
mudharabah dalam ayat ini adalah kata ‘ yadhribun ‘ yang sama dengan akar kata
mudharabah yang memiliki makna melakukan suatu perjalanan usaha.
b. “ Abbas
bin Abdul Muthalib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan
kepada mudharibnya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah,
serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia ( mudharib
) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar
Rasulullah, beliau membenarkannya”.
Hadits
riwayat Thabrani dari Ibnu Abbas merujuk pada keabsahan melakukan transaksi
mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun demikian dalam mudharabah selalu
dijadikan acuan para fuqaha ( ahli fiqh ).
Hadits
ini menunjukkan praktik pembiayaan mudharabah, khususnya mudharabah muqayyadah,
karena shahibul maal sebagai penyedia dana memberikan beberapa persyaratan bagi
mudharib dalam mengelola dana yang diberikan. Isi hadits ini jelas sekali
memberikan legalitas praktik pembiayaan mudharabah.
c. “ Nabi
bersabda, ada tiga hal yang mengandung berkah ; jual beli tidak secara tunai,
muqaradhah (mudharabah ), dan mencampur gandum denganjewawut untuk keperluan
rumah tangga,bukan untuk dijual”. Hadits riwayat Ibnu Majah merupakan dalil
lain dibolehkannya praktik mudharabah. Kedudukan hadits ini lemah, namun
demikian banyak ulama yang menggunakannya sebagai dalil untuk akad mudharabah
ataupun jual beli tempo.
Ulama
menyatakan bahwa keberkahan dalam arti tumbuh dan menjadi lebih baik, terdapat
pada perniagaan, terlebih pada jual beli yang dilakukan secara tempo ataupun
akad mudharabah sebagaimana
disabdakan Rasulullah dalam hadits tersebut.
Dengan
menunjuk adanya keberkahan ini, hal ini mengindikasikan diperbolehkannya
praktik mudharabah. Dengan adanya mudharabah ini, maka usaha yang
dijalankan oleh nasabah akan berkembang dan
tumbuh menjadi lebih baik, begitu juga dengan pihak bank, modalnya akan
bertambah karena mendapatkan financial
return.
d. Kesepakatan
ulama akan bolehnya mudharabah dikutip dari Dr. Wahbah Zuhaily dari kitab al-
Fiqh al- Islamy WaAdillatuh. Diriwayatkan bahwa sejumlah sahabat melakukan
mudharabah dengan menggunakan harta anak yatim sebagai modal dan tak seorang
pun dari mereka yang menyenggah ataupun menolak. Jika praktik sahabat dalam
suatu amalan tertentu yang disaksikan oleh sahabat yang lain lalu tidak seorang
pun menyanggahnya, maka hal itu merupaka ijma’. Ketentuan ijma’ ini secara
sharih mengakui keabsahan praktik pembiayaan mudharabah dalam sebuah perniagaan
e.
Qiyas merupakan dalil lain yang membolehkan
mudharabah dengan mengqiyaskannya ( analogi ) kepada transaksi Musaqat, yaitu
bagi hasil yang umum dilakukan dalam bidang perkebunan. Dalam hal ini, pemilik
kebun bekerja sama dengan orang lain dengan pekerjaan menyiram, memelihara dan
merawat isi perkebunan. Dalam perjanjian ini, sang perawat ( penyiram )
mendapatkan bagi hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan di depan dari out put perkebunan ( pertanian
). Dalam mudharabah, pemilik dana ( shahibul maal ) dianalogkan dengan pemilik
kebun, sedangkan pemeliharaan kebun dianalogkan dengan pengusaha ( entrepreneur
). Mengingat dasar hukum musaqot lebih valid dan tegas yang diambil dari sunnah
Rasulullah SAW, maka metodologi qiyas dapat dipakai untuk menjadi dasar diperbolehkannya
mudharabah.[1]
2.
Rukun Dan Syarat- Syarat Mudharabah
·
Rukun Mudharabah
a.
Malik atau shahibul maal ialah yang mempunyai modal
b.
Amil, atau mudharib ialah yang akan menjalankan modal
c.
Maal ialah harta pokok atau modal
d.
Shighot,
e.
Hasil
·
Syarat Sahnya Mudharabah
a.
Barang yang diserahkan adalah mata uang, tidak sah menyerahkan
harta benda atau emas-perak yang masih dicampur atau masih berbentuk perhiasan.
b.
Melafadzkan ijab dari yang punya modal, dan qobul bagi yang
menjalankannya.
c.
Ditetapkan dengan jelas, bagi hasil bagian pemilikmodal dan
mudharib.
d.
Dibedakan dengan jelas antara modal dan hasilyang akan dibagi
hasilkan sesuai dengan kesepakatan.
3.
Jenis- Jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu:
1) Mudharabah Mutlaqah (akad
mudharabah tanpa pembatasan)
Jenis usaha mudharabah
dimana shohibul mal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan
tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. Dalam
fiqh sering dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukan
sesukamu) dari shohibul mal ke mudharinb yang memberi kewenangan
penuh.
2) Mudharabah Muqayyadah (akad
mudharabah dengan pembatasan)
Jenis usaha mudharabah
dimana shohibul mal dan mudharib yang cakupannya dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
3) Mudharabah Musytarakah
Bentuk mudharabah
dimana pengelola dana atau mudharib menyertakan dananya dalam kerjasama
investasi. Akad ini merupakan perpaduan dari akad mudharabah dan musyarakah.
Dalam mudharabahmusytarakah ini, pengelola dana (akad mudharabah)
menyertakan juga modalnya dalam investasi bersama (akad musyarakah).
Pemilik modal musyarakah (musytarik) memperoleh bagian hasil
usaha sesuai porsi dana yang disetorkan. Pembagian hasil usaha antar pengelola
dana dan pemilik dana dalam mudharabahadalah sebesar hasil usaha musyarakah
setelah dikurangi porsi pemilik dana sebagai pemilik modal musyarakah.
4.
Aplikasi Dalam Perbankan
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Dalam
penghimpunan dana, mudharabah diterapkan pada:
a) Tabungan berjangka,
yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji,
tabungan qurban, deposito biasa, dan sebagainya.
b) Deposito spesial (special
investment), diman dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu,
misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Pada pembiayaan,
diterapkan pada:
a) Pembiayaan modal kerja,
seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b) Investasi khusus,
disebut juga mudharabahmuqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan
penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shohibulmal.
Secara umum
aplikasi perbankan dari al- mudharabah dapat digambarkan dalam skema dibawah
ini:
Mudharabah
mutlaqah
Mudharabah Muqayyadah
5.
Fatwa DSN Mengenai Mudharabah
Ketentuan hukum dalam FATWA DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang
PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH) ini adalah sebagai berikut :
Pertama : Ketentuan Pembiayaan:
1) Pembiayaan Mudharabah
adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha
yang produktif.
2) Dalam pembiayaan ini
LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100 % kebutuhan suatu
proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib
atau pengelola usaha.
3) Jangka waktu usaha,
tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4) Mudharib boleh
melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan
syari’ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau
proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
5) Jumlah dana pembiayaan
harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6) LKS sebagai penyedia
dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib
(nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi
perjanjian.
7) Pada prinsipnya,
dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib
atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah
disepakati bersama dalam akad.
8) Kriteria pengusaha,
prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan
memperhatikan fatwa DSN.
9) Biaya operasional
dibebankan kepada mudharib.
10) Dalam hal penyandang
dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap
kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:
1) Penyedia dana
(sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2) Pernyataan ijab dan
qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan
hal-hal berikut:
a. Penawaran dan
penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada
saat kontrak.
c. Akad dituangkan secara
tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi
modern.
3) Modal ialah sejumlah
uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada
mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a. Modal harus
diketahui jumlah dan jenisnya.
b. Modal dapat berbentuk
uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan
dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu
akad.
c. Modal tidak dapat
berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara
bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4) Keuntungan mudharabah
adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan
berikut ini harus dipenuhi:
a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan
tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b. Bagian keuntungan
proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu
kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari
keun-tungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c. Penyedia dana
menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak
boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan
disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5) Kegiatan usaha oleh
pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan
oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a. Kegiatan usaha adalah
hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai
hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana
tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c. Pengelola tidak boleh
menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan
mudhara-bah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.
Ketiga: Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:
1) Mudharabah boleh
dibatasi pada periode tertentu.
2) Kontrak tidak boleh
dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu
terjadi.
3) Pada dasarnya, dalam mudharabah
tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad
al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau
pelanggaran kesepakatan.
4) Jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua
belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
B.
Teknik Penentuan dan Analisa Bagi Hasil
a.
Teknik Menentukan Bagi Hasil
Di dalam Perbankan Syari’ah perhitungan bagi
hasil yang diterapkan terdiri dari dua sistem, yakni profit sharing dan revenue
sharing.
Profit sharing adalah perhitungan bagi hasil yang
didasarkan pada keuntungan bersih. Apabila bank menggunakan sistem ini, maka
kemungkinan bagi hasil yang akan diterima shahibul maal akan semakin
kecil.[2]
Revenue sharing adalah perhitungan bagi hasil
didasarkan pada total keseluruhan pendapatan yang diterima. Apabila bank
menggunakan sistem ini, maka kemungkinan yang akan terjadi adalah tingkat bagi
hasil yang akan diterima oleh shahibul maal akan lebih besar.
Nisbah bagi hasil merupakan persentase
keuntungan yang akan diperoleh shahibul maal dan mudharib yang
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara keduanya. Jika usaha tersebut
mengalami kerugian, bukan akibat kelalaian mudharib maka kerugiannya
ditanggung oleh shahibul maal.[3]
b.
Teknik Distribusi Bagi Hasil Mudharabah
1.
Bagi hasil
dalam penghimpunan dana (funding)
Contoh
sederhana perhitungan bagi hasil bagi dana pihak ketiga (tabungan/deposito
masyarakat), antara bagi hasil dengan sistem bunga, yakni sebagai berikut:
Sistem bagi
hasil:
Sistem bunga:
Catatan:
a.
Pada sistem
bagi hasil, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposan tergantung pada:
-
Pendapatan
bank;
-
Nisbah bagi
hasil antara nasabah dan bank;
-
Nominal
deposito nasabah;
-
Total deposito
(rata-rata deposito untuk jangka waktu yang sama pada bank);
-
Jangka waktu
deposito.
b.
Pada sistem
bunga, besar kecilnya pendapatan yang diperoleh deposan tergantung pada:
-
Tingkat bunga
yang berlaku;
-
Nominal deposito
nasabah;
Menghitung Saldo Rata-rata Harian
Hal yang terpenting dalam kaitannya dengan
tabel pembagian pendapatan untuk penyimpan dana dan bank per bulan adalah
menghitung rata-rata saldo harian. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:
1.
Menentukan
tanggal berapa keuntungan yang diperoleh dari penempatan dana akan
dibagihasilkan.
2.
Jumlah hari
yang dihitung dalam satu bulan adalah sesuai dengan hitungan kalender. Contoh:
SANDI
: Penyetoran = 1 Pembetulan Kesalahan = 5
Pengambilan = 2 Pemindahan saldo = 6
Pemindahbukuan = 3 Rupa-rupa = 7
Kadar Keuntungan = 4 Pajak =
8
|
||||||
Tanggal
|
Sandi
|
Debet (Rp)
|
Kredit (Rp)
|
Saldo (Rp)
|
PC
|
Pengesahan Petugas Bank
|
27/09/2012
|
1
|
|
575.000
|
575.000
|
|
|
2/10/2012
|
2
|
125.000
|
|
450.000
|
|
|
10/10/2012
|
1
|
|
250.000
|
700.000
|
|
|
15/10/2012
|
2
|
100.000
|
|
600.000
|
|
|
21/10/2012
|
1
|
|
400.000
|
1.000.000
|
|
|
Dari buku tabungan ini kemudian dihitung saldo
rata-rata harian, yakni sebagai berikut:
a)
Tgl 27/09/2012
s/d 1/10/2012 = 6 hari x 575.000 = 3.450.000
b)
Tgl 2/10/2012
s/d 9/10/2012 = 8 hari x 450.000 = 3.600.000
c)
Tgl 10/10/2012
s/d 14/10/2012 = 5 hari x 700.000 = 3.500.000
d)
Tgl 15/10/2012
s/d 20/10/2012 = 6 hari x 600.000 = 3.600.000
e)
Tgl 21/10/2012
s/d 26/10/2012 = 6 hari x 1.000.000 = 6.000.000
Jumlah 31 hari =
20.150.000
Sehingga ssaldo rata-rata harian = 20.150.000 : 31 = 650.000
3.
Cara
perhitungan di atas digunakan juga untuk menghitung simpanan lainnya.
4.
Untung
menghitung simpanan yang ditutup, maka saldo rata-rata yang dihitung adalah
sejak tanggal 27 sampai dengan tanggal penutupan rekening tersebut.
Cara Menghitung Pendapatan yang Akan Dibagihasilkan
Pendapatan bagi hasil yang diperoleh bank
berasal dari hasil penempatan dana pihak ketiga melalui pemyaran yang berakad
jual beli, syirkah atau jasa. Hasil dari pendapatan tersebut
dibagihasilkan kepada nasabah pemilik dana (deposan). Namun perlu diperhatikan
bahwa untuk membagihasilkan pendapatan tersebut harus dilihat perbandingan
antara jumlah dana yang dikelola (Giro, Tabungan, deposito dan yang lainnya)
dengan jumlah pembiayaan yang disalurkan. Apabila jumlah pembiayaan lebih kecil
dari total dana masyarakat, maka pendapat tersebut seluruhnya dibagihasilkan
antara nasabah dengan bank. Sebaliknya, jika pembiayaan jumlahnya lebih besar
dari total dana masyarakar, maka modal bank juga harus memperoleh bagian
pendapatan.
Contoh:
Jumlah
pendapatan Bank dari bagi hasil pembiayaan Rp. 10.000.000,- dalam satu bulan.
Total dana masyarakat yang dikelola Rp. 250.000.000,-. Pembiayaan yang
diberikan berjumlah Rp. 230.000.000,- maka pendapatan bank Rp. 10.000.000,- ini
yang dibagihasilkan antara nasabah dengan bank.
Seandainya
total pembiayaan yang diberikan Rp. 300.000.000,- berarti modal bank yang ikut
disalurkan sebesar Rp. 50.000.000,- sehingga pendapatan tersebut harus dibagi
dulu dengan perhitungan sebagai berikut:
a.
Untuk bank =
(50.000.000 : 300.000.000) x 10.000.000 = 1.666.667
b.
Untuk nasabah
= (250.000.000 : 300.000.000) x 10.000.000 = 8.333.333
2.
Bagi hasil
dalam penyaluran dana (financing)
Sistem ini menunjukkan bahwa bank hanya
sebagai arranger saja, sehingga hanya berhak mendapatkan upah (fee)
dan tidak berhak mendapat bagian bagi hasil keuntungan.
Note: Asumsi
pendapatan per 1000 nasabah
Pembayaran bagi hasil dapat dilakukan dengan
menggunakan metode sebagai berikut:
a)
Anniversary
Date
-
Pembayaran
bagi hasil dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal yang sama dengan
tanggal pembukaan deposito.
-
Tingkat bagi
hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup buku bulan terakhir.
-
Bagi hasil
bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai
permintaan deposan.
b)
End of Month
-
Pembayaran
bagi hasil dilakukan secara bulanan, yaitu pada tanggal tutup buku setiap
bulan.
-
Bagi hasil
bulan pertama dihitung secara proporsional hari efektif termasuk tanggal tutup
buku, namun tidak termasuk tanggal pembukaan deposito.
-
Bagi hasil
bulan terakhir dihitung secara proporsional hari efektif tidak termasuk tanggal
jatuh tempo. Tingkat bagi hasil yang dibayarkan adalah tingkat bagi hasil tutup
buku bulan terakhir.
-
Jumalh hari
sebulan adalah jumlah hari kalender bulan yang bersangkutan.
-
Bagi hasil
bulanan yang diterima nasabah dapat diafiliasikan ke rekening lainnya sesuai
permintaan deposan.
Untuk menghitung hasil akhir dari permintaan,
bahwa jika yang dihitungkan adalah hasil dapat ditempuh melalui dua cara, yakni
sebagai berikut:
1)
Dengan sistem
rata-rata
Contoh soal:
Pembiayaan mudharabah sebesar Rp.
10.000.000,- dengan jangka waktu 10 bulan. Profit Bank setara 19,5% satu tahun
pendapatan aktual. Nisbah bagi hasil 60:40. Aktualisasi pendapatan bruto Rp.
3.000.000,- tiap bulan untuk tahap pertama, tetapi untuk tahap berikutnya Rp.
1.000.000,- tiap bulan.
Diminta: a) Tabel proyeksi
pembayaran dengan perhitungannya dahulu.
b) Tabel
realisasi/aktualisasi dan perhitungannya.
Jawab:
a)
Profit setara
19,5% setahun, untuk rata-rata (12 + 1): 2 = 6,5 bulan. Satu bulan rata-rata
profitnya = 19,5% : 6,5 = 3%. Tempo rata-rata adalah 10 bulan = 5,5 bulan,
besar profitnya = 5,5 x 3% = 16,5% dari modal Rp. 10.000.000 = Rp. 1.650.000,-.
Maka profit rata-rata satu bulan = Rp. 165.000,-. Angsuran rata-rata Rp.
1.000.000,-, sehingga jumlah yang disetorkan ke Bank rata-rata tiap bulan =
(1.000.000 + 165.000) = Rp. 1.165.000,-.
Tabel Proyeksi Pembayaran Mudharabah dan Rata-rata (Dalam Ribuan
Rupiah)
Bulan
|
Aktual
|
Nisbah
|
Aktual
|
Profit
|
Angsuran
|
Jumlah
|
Porsi Nasabah
|
|||
Ke
|
Hasil
|
Bank
|
Setoran
|
Bank
|
Ke Bank
|
Jalan
|
Nisbah
|
Hasil
|
Bonus
|
Jumlah
|
1
|
3000
|
60%
|
1800
|
255
|
1545
|
1525
|
40%
|
1400
|
|
1400
|
2
|
3000
|
60%
|
1800
|
255
|
1545
|
3090
|
40%
|
1400
|
|
2800
|
3
|
3000
|
60%
|
1800
|
255
|
1545
|
4635
|
40%
|
1400
|
|
4200
|
.....
|
........
|
........
|
........
|
........
|
........
|
........
|
........
|
........
|
........
|
........
|
7
|
3000
|
60%
|
1800
|
1070
|
730
|
10000
|
40%
|
1400
|
326
|
10126
|
|
21000
|
60%
|
12600
|
2600
|
10000
|
10000
|
40%
|
9800
|
326
|
10126
|
Profit yang harus diterima
|
1785
|
|
||||||||
Kelebihan profit
|
815
|
|||||||||
Untuk bonus nasabah
|
326
|
|||||||||
Tambahan Profit Bank
|
489
|
|||||||||
Jumlah Bank seharusnya
|
1785
|
|||||||||
Jumlah Profit Bank semuanya
|
2275
|
b)
Aktualisasi
hasil nasabah Rp. 3.000.000,- tiap bulan.
Proyek hasil = Rp. 1.942.000,- nisbah bank 60%
setorannya = Rp. 1.800.000. maka profit bank = 3.000.000 : 1.942.000 x 165.000
= Rp. 255.000,-.
Angsuran pokok Rp. 1.800.000 – Rp. 255.000 =
Rp. 1.545.000,- tiap bulan. Maka tujuh bulan sudah lunas Rp. 10.000.000, dengan
angsuran ke tujuh Rp. 730.000,- dan untuk profit bank Rp. 1.000.000,- sehingga
jumlah profit selama tujuh bulan menjadi Rp. 2.600.000,- seharusnya hanya Rp.
1.785.000,- kelebihan Rp. 815.000,-. Maka insentif/bonus nasabah = 40% x Rp.
815.000,- = Rp. 326.000,-.
Catatan:
Dengan
aktualisasi tersebut, nampaknya terdapat 3 kemungkinan:
a.
Jika
aktualisasi sama dengan proyeksi, jangka waktu sesuai proyeksi atau yang
direncanakan.
b.
Jika
aktualisasi lebih besar daripada proyeksi, jangka waktu dapat lebih cepat dari
proyeksi/rencana.
c.
Jika
aktualisasi lebih kecil daripada proyeksi, jangka waktu dapat lebih lama dari
rencana jangka waktu.
2)
Dengan sistem
efektif
Kasus:
1.
Modal kerja
yang dibutuhkan Rp. 4.705.000 pertama kali dari bank syari’ah, selanjutnya dari
hasil panen. Untuk investasi dibutuhkan Rp. 5.648.000,- sehingga plafon mudharabah
berjumlah Rp. 10.353.000,-.
2.
Panen udang
setiap bulan sekali. Pembiayaan direncanakan dalam waktu enam kali atau 36
bulan.
3.
Proyeksi
penjualan tiap panen Rp. 8.750.000,-.
4.
Bagi hasil
setara dengan mark-up Bank 20% p.a (aktual pendapatan) efektif.
Yang harus
dicari adalah:
a)
Menghitung
nisbah bagi hasil;
b)
Jika
aktualisasi panen Rp. 20.000.000,- tiap panen, hitung aktualisasi
pembayarannya;
c)
Jika
aktualisasi hasil Rp. 7.000.000,- hitung aktualisasi pembayarannya.
Jawab:
Perhitungan
profit setara 20% p.a efektif dalam 12 bulan, 6 bulan = 10%.
Ke-1 :
Misalkan Angsuran pertama = A
Profit 10% = 10% x Rp. 10.353.000 =
Rp. 1.035.300 (P)
Setoran = A + P = A + Rp. 1.035.000 –
A
Saldo modal = Rp. 10.353.000 – A
Ke-2 : P2 =
10% (10.353.000 + A) = 1.035.300 + 0,1 A
A2 = S2 – P2 = (A + 1.035.300) –
1.035.300 + 0,1 A = 1,1 A
Saldo modal = 10.353.000 – A – 1,1 A
= 10.353.000 – 2,1 A
Ke-3 : P3 =
10% (10.353.000 – 2,1 A) = 1.035.300 – 2,1 A
A3 = S3 – P3 = A – 1.035.300 –
1.035.300 + 0,21 A = 1,21 A
Ke-4 : A4 =
1,21 A x 1,1 = 1,331
Ke-5 : A5 =
1,331 A x 1,1 = 1,46
Ke-6 : A6 =
1,4641 A x 1,1 = 1,61051 A
c.
Teknik Konverensi Bagi Hasil Kedalam Equivalen Rate
Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah,
misalnya Tabungan iB dan Deposito iB, penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu: jenis
produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank.
Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang
mendapatkan return bagi hasil. Sementara itu untuk produk
simpanan iB dengan skema titipan (wadiah), return yang diberikan berupa bonus.
Misalnya:
Seorang
nasabah mendepositokan dananya ke bank syari’ah sebesar Rp. 10.000.000,- dalam
jangka waktu 1 bulan dengan nisbah bagi hasil 65% : 35%, dan pada bulan
tersebut pendapatan bank sebesar Rp. 20.000.000,- dan total deposito dalam 1
bulan sebesar Rp. 950.000.000,-. Dicari bagi hasil dan equivalent rate!
Jawab:
Untuk Nasabah:
Untuk Bank:
Dari kedua
angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil dapat dihitung. Porsi bagi
hasil untuk nasabahDari kedua angka tersebut, maka kemudian nisbah bagi hasil
dapat dihitung. Porsi bagi hasil untuk nasabah adalah sebesar: 16% dan untuk
bank sebesar 9 persen. Dengan demikian, dapat diperhitungkan sebagai berikut:
1) Untuk nasabah: [16% : (16%+ 9%)] = 0,64 atau sebesar
64%.
2) Untukbank syariah: [9% dibagi (16%+ 9%)] = 0.36 atau sebesar
36%.Maka nisbah bagi hasilnya kemudian dapat
dituliskan sebagai 66%:34%.
Maka dengan
perhitungan tersebut hampir sama dengan hasil nominal dari nisbah bagi hasil
65%:35%. Tentu saja dalam prakteknya nasabah iB tidak perlu terlalu pusing
dengan perhitungan njlimet bagi hasil semacam ini. Masyarakat hanya
tinggal menanyakan berapa rate indikatif
dari Tabungan iB atau Deposito iB yang diminatinya. Rate indikatif ini
adalah nilai equivalent rate dari pendapatan investasi yang akan dibagikan
kepada nasabah, yang dinyatakan dalam persentase. Jadi masyarakat dengan cepat
dan mudah dapat menghitung berapa besar keuntungan yang akan diperolehnya dalam
menabung sekaligus berinvestasi di bank syariah.
C.
Analisis Akad Mudharabah Dalam Perbankan
Semoga yang saya lakukan ini, mendapat tanggapan dan respon positif dari
saudara-saudara kita yang berkepentingan dalam masalah ini.
1.
Analisis Pertama: Peranan Ganda Perbankan Syari’ah
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika berhubungan dengan
nasabah sebagai pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, yaitu
bank berperan sebagai pemodal ketika pihak perbankan berhadapan dengan pelaku
usaha yang membutuhkan dana untuk mengembangkan usahanya.
Status ganda yang diperankan perbankan ini membuktikan bahwa akad yang
sebenarnya dijalankan oleh perbankan selama ini adalah akad utang piutang, dan
bukan akad mudharabah. Yang demikian itu, karena, bila ia berperan sebagai
pelaku usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga
sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan yang dimaksud dengan amanah
dari pemodal, ialah mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan
mendatangkan hasil (keuntungan), sehingga bank, tidak semestinya menyalurkan
modal yang ia terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah.
Sehingga, bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan yang
sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik nasabah.
Imam an-Nawawi Rahimahullah
berkata, “tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal
yang ia terima kepada pihak ke tiga dengan perjanjian mudharabah. Bila ia
melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad mudharabah
(pertama) dan berubah status menjadi perwakilan bagi pemodal pada akad
mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak
dibenarkan untuk mensyaratkan untuk dirinya sedikitpun dari keuntungan yang
diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua bathil”.[7]
Ucapan senada
juga diutarakan oleh Imam Ibnu Qudamah al-Hambali rahimahullah, ia berkata,
“Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha untuk menyalurkan modal (yang ia terima)
kepada orang lain dalam bentuk mudharabah, demikian penegasan Imam Ahmad. . . .
Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan aku tidak
mengetahui ada ulama’ lain yang menyelisihinya”.[8]
Dalam akad
mudharabah, bila perbankan memerankan peranan ganda semacam ini, atas seizin
pemodal sedangkan ia tidak ikut serta dalam menjalankan usaha yang dilakukan
oleh pelaku usaha kedua, maka bank tidak berhak mendapatkan bagian dari
keuntungan, karena statusnya hanyalah sebagai perantara (calo). Para ulama’
menjelaskan bahwa alasan hukum ini adalah: karena hasil/ keuntungan dalam akad mudharabah
hanyalah hak pemilik modal dan pelaku usaha, sedangkan pihak yang tidak
memiliki modal, dan tidak ikut serta dalam pelaksanaan usaha, maka ia tidak
berhak untuk mendapatkan bagian dari hasil.[9]
Rekomendasi :.
Seharusnya bank mempunyai usaha sendiri tidak berperan ganda sebagai pelaku
usaha dan pemilik pemodal. Karena jika bank
berstatus ganda maka akad tersebut statusnya berubah menjadi utang piutang.
Jadi bila ia berperan sebagai pelaku
usaha, maka status dana yang ada padanya adalah amanah yang harus dijaga
sebagaimana layaknya menjaga amanah lainnya. Dan amanah dari pemodal ialah
mengelola dana tersebut dalam usaha nyata yang akan mendatangkan hasil
(keuntungan), sehingga tidak semestinya bank kembali menyalurkan modal yang ia
terima dari nasabah (pemodal) ke pengusaha lain dengan akad mudharabah.
Akan tetapi bila ia berperan sebagai pemodal, maka ini mendustakan kenyataan
yang sebenarnya, yaitu sebagian besar dana yang dikelola adalah milik
nasabah.
2.
Analisis Kedua: Bank Tidak Memiliki Usaha Riil
Badan-badan keuangan yang menamakan dirinya sebagai perbankan syariah
seakan tidak sepenuh hati dalam menerapkan sistem perekonomian Islam.
Badan-badan tersebut berusaha untuk menghindari sunnatullah yang telah Allah
Ta’ala tentukan dalam dunia usaha. Sunnatullah tersebut berupa pasangan sejoli
yang tidak mungkin dipisahkan, yaitu untung dan rugi. Operator perbankan
syariah senantiasa menghentikan langkah syariat pada tahap yang aman dan tidak
berisiko.
Oleh karena
itu, perbankan syariah yang ada –biasanya- tidak atau belum memiliki usaha
nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Semua jenis produk
perbankan yang mereka tawarkan hanyalah sebatas pembiayaan dan pendanaan.
Dengan demikian, pada setiap unit usaha yang dikelola, peran perbankan hanya sebagai
penyalur dana nasabah.
Sebagai contoh nyata dari produk perbankan yang ada ialah mudharabah.
Operator perbankan tidak berperan sebagai pelaku usaha, akan tetapi sebagai
penyalur dana nasabah. Hal ini mereka lakukan, karena takut dari berbagai resiko
usaha, dan hanya ingin mendapatkan keuntungan. Bila demikian ini keadaannya,
maka keuntungan yang diperoleh atau dipersyaratkan oleh perbankan kepada
nasabah pelaksana usaha adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama,
di antaranya sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam an-Nawawi di atas.
Rekomendasi:
Sebagaimana telah diketahui bersama, bahwa untuk menjalankan
operasional suatu bank pasti membutuhkan dana yang tidak sedikit. Oleh karena
itu, agar bank terkait dapat memenuhi kebutuhannya ini, ia harus memiliki
berbagai unit usaha nyata yang dapat menghasilkan keuntungan. Tidak sepantasnya
perbankan hanya mencukupkan diri dengan menjadi pihak penyalur dana semata,
tanpa terjun langsung dalam usaha nyata. Dengan demikian, keuntungan yang
didapatkan oleh bank benar-benar keuntungan yang halal dan bukan hasil
menghutangkan dana kepada pihak ketiga. Selama perbankan tidak terjun langsung
dalam dunia usaha nyata dan hanya mencukupkan dirinya sebagai penyalur dana
nasabah, maka riba tidak akan pernah dapat dihindarkan.
3.
Analisis Ketiga: Bank Tidak Siap Menangggung Kerugian.
Analisis yang ke tiga ialah,
ketidaksiapan operator perbankan untuk ikut menanggung risiko mudharabah yang
mereka jalin dengan para pelaku usaha. Bila pelaku usaha mengalami kerugian,
walaupun tanpa disengaja, niscaya kita dapatkan perbankan segera ambil langkah
seribu dengan cara meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Hal
ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan nasabah pelaku usaha
bukanlah mudharabah, akan tetapi hutang-piutang yang berbunga alias riba.
Para ulama dari berbagai mazhab telah menegaskan bahwa pemilik
modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan agar pelaku usaha memberikan jaminan
seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada perbankan
syariah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal
dengan utuh bila terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang batil (baca: al-Mughni
oleh Ibnu Qudamah 7/145, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,
38/64).
Sebagai contoh misalnya Bank toyyib syariah mengucurkan modal kepada Pak
Ahmad –misalnya- sebesar Rp. 100.000.000,- dengan perjanjian bagi hasil 60%
banding 40%. Setelah usaha berjalan dan telah jatuh tempo, Pak Ahmad mengalami
kecurian, atau gudangnya terbakar atau yang serupa, sehingga modal yang ia
terima dari bank hanya tersisa Rp. 20.000.000,-. Dalam keadaan semacam ini, Bank
toyyib syariah akan tetap meminta agar Pak Ahmad mengembalikan modalnya utuh,
yaitu Rp. 100.000.000,-.
Mungkin operator perbankan syariat akan berdalih, bahwa dalam dunia
usaha, uang kembali seperti semula tanpa ada keuntungan adalah kerugian. Dengan
demikian, perbankan telah ikut serta menanggung kerugian yang terjadi. Maka
kita katakan bahwa, alasan serupa juga dapat diutarakan oleh pelaksana usaha;
dalam dunia usaha, seseorang bekerja tanpa mendapatkan hasil sedikit pun adalah
kerugian. Andai ia bekerja pada suatu perusahaan, niscaya ia akan mendapatkan
gaji yang telah disepakati, walau perusahaan sedang merugi. Bahkan dalam akad mudharabah
dengan perbankan syariat, pelaku usaha merugi dua kali: Pertama, ia telah
bekerja banting tulang, peras keringat, dan pada akhirnya tidak mendapatkan
hasil sedikitpun. Kedua, ia masih juga harus menutup kekurangan yang terjadi
pada modal yang pernah ia terima dari bank.
Rekomendasi:
Seharusnya bank lebih berani untuk
mengambil resiko, dan tidak hanya meraih keuntungan belaka, karena dalam di
dunia usaha pasti ada untung dan ruginya. Jadi bank selain mendapatkan bagi
hasil yang berupa keuntungan juga harus menanggung atas resiko kerugian.
4.
Analisis Keempat : Semua Nasabah Mendapatkan Bagi Hasil.
Perbankan syariah mencampuradukkan seluruh dana yang masuk kepadanya.
Sehingga tidak dapat diketahui nasabah yang dananya telah disalurkan dari
nasabah yang dananya masih beku di bank. Walau demikian, pada setiap akhir
bulan, seluruh nasabah mendapatkan bagian dari hasil/keuntungan.
Hal ini menjadi masalah besar dalam metode mudharabah yang benar-benar
Islami. Sebab yang menjadi pertimbangan dalam membagikan keuntungan kepada
nasabah adalah keuntungan yang diperoleh dari masing-masing dana nasabah.
Sehingga nasabah yang dananya belum disalurkan, tidak berhak untuk mendapatkan
bagian dari hasil. Sebab keuntungan yang diperoleh adalah hasil dari
pengelolaan modal nasabah selain mereka. Pembagian hasil kepada nasabah yang
dananya belum tersalurkan jelas-jelas merugikan nasabah yang dananya telah
disalurkan.
Inilah fakta perbankan syariah yang ada di negeri kita. Oleh karena itu,
tidak mengherankan bila perbankan syariah dihantui oleh over likuiditas. Yaitu
suatu keadaan dimana bank kebanjiran dana masyarakat/nasabah, sehingga tidak
mampu menyalurkan seluruh dana yang terkumpul dari nasabahnya. Keadaan ini
memaksa perbankan syariat untuk menyimpan dana yang tidak tersalurkan tersebut
di Bank Indonesia (BI) dalam bentuk Sertifikat Wadi`ah. Sebagai contoh, pada
periode Januari 2004 dilaporkan, perbankan syariat berhasil mengumpulkan dana
dari nasabah sebesar 6,62 triliun rupiah, akan tetapi, dana yang berhasil
mereka gulirkan hanya 5,86 triliun rupiah.
Rekomendasi:
Pemilahan nasabah berdasarkan tujuan
masing-masing.
Secara global, kita dapat mengelompokkan nasabah yang menyimpan
dananya di bank menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama, nasabah
yang semata-mata bertujuan untuk mengamankan hartanya. Kelompok
kedua, nasabah yang bertujuan
mencari keuntungan dengan menginvestasikan dananya melalui jalur perbankan yang
ada.
Berdasarkan pemilahan ini pula, pihak operator perbankan dapat
menentukan hak dan kewajibannya terhadap masing-masing kelompok. Dana yang
berhasil dikumpulkan oleh bank dari nasabah jenis pertama dapat dimanfaatkan
dalam membiayai berbagai usaha yang menguntungkan dan sepenuhnya keuntungan
yang diperoleh menjadi milik bank. Dari hasil investasi dengan dana nasabah
jenis pertama ini, bank dapat membiayai operasionalnya. Bahkan tidak menutup
kemungkinan, bahwa bank akan mendapat keuntungan yang surplus bila dibanding
dana oprasionalnya.
Di antara keuntungan pemilahan ini, perbankan akan terhindar dari
overlikuidasi, karena bank tidak akan pernah menerima dana investasi, melainkan
setelah membuka peluang usaha yang benar-benar halal dan dibenarkan.
Sebagaimana pihak perbankan tidak berkewajiban untuk memberikan keuntungan
kepada nasabah, kecuali bila dananya benar-benar telah disalurkan dan
menghasilkan keuntungan. Dengan cara ini pula, prinsip mudharabah benar-benar
akan dapat diterapkan, sehingga penghitungan hasil akan dapat ditempuh dengan
metode yang simpel nan transparan, yaitu dengan mengalikan jumlah keuntungan
yang berhasil dibukukan dengan nisbah masing-masing nasabah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Untuk produk pendanaan/simpanan bank syariah,
misalnya Tabungan iB dan Deposito iB, penentuan nisbah bagi hasil dipengaruhi
oleh beberapa faktor, yaitu: jenis
produk simpanan, perkiraan pendapatan investasi dan biaya operasional bank.
Hanya produk simpanan iB dengan skema investasi (mudharabah) yang
mendapatkan return bagi hasil. Sementara itu untuk produk
simpanan iB dengan skema titipan (wadiah), return yang diberikan berupa bonus.
Mudharabah adalah akad kerjasama
antara pihak pemilik dana (shohibul mal) dengan pihak pengelola dana (mudharib)
dimana keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati, sedangkan kerugian
ditanggung oleh pemilik modal. Atau akad kerjasama usaha antara dua pihak,
dimana pihak pertama (shohibul mal) menyediakan seluruh (100%) modal,
sedangkan pihak lain menjadi pengelola (mudharib).
Dari sedikit
pemaparan perbankan syari’ah yang ada tidak
menerapkan metode mudharabah yang sebenarnya, kita
dapat simpulkan bahwa perbankan syariah
yang ada hanyalah sekedar nama besar tanpa ada hakikatnya. Bahkan, yang terjadi
sebenarnya hanyalah upaya mempermainkan istilah-istilah syariah. Mungkin,
inilah yang mendorong sebagian umat Islam berani mempermainkan berbagai istilah
syariah.
DAFTAR PUSTAKA
A. Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis
Fiqih dan Keuangan, Edisi 3, Cet. 5 (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2008)
Al-Aziz oleh ar-Rafi’i
al-Mughni oleh Ibnu Qudamah al-Hambali,
at-Tahdzib oleh Imam al-Baghawi
Mughni al-Muhtaj oleh asy-Syarbini
Muhamad, Teknik Perhitugan Bagi Hasil dan Pricing di Bank
Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004),
Raudhah ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi
Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami, oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu
[1]Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh
muamalah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2008, hlm. 225-227
[2]Muhamad, Teknik Perhitugan Bagi Hasil
dan Pricing di Bank Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2004), hlm. 97
[5]Karim, A. Adiwarman, Bank
Islam Analisis Fiqih dan Keuangan, Edisi 3, Cet. 5 (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2008), hlm. 312
[6]
Ibid, hlm. 314
[7](Raudhah ath-Thalibin oleh Imam
an-Nawawi 5/132, silakan baca juga at-Tahdzib oleh Imam al-Baghawi
4/392, Mughni
al-Muhtaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikah al-Mudharabah Fii al-Fiqhi al-Islami,
oleh Dr. Sa’ad bin Gharir bin Mahdi as-Silmu hal. 202).
[9](baca Al-Aziz oleh ar-Rafi’i 6/27-28, Raudhah
ath-Thalibin oleh Imam an-Nawawi 5/132, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 7/158, Mughnil
Muhtaaj oleh asy-Syarbini 2/314, dan Syarikatul Mudharabah Fil Fiqhil Islaamy oleh
Dr. Saad bin Gharir as-Silmy, hal. 202).
EmoticonEmoticon