BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Salah satu produk perbankan syariah yang saat ini sedang
dikembangkan adalah produk dengan akad kafalah (jaminan). Perbankan sebagai
lembaga penjamin terhadap nasabah akan memperoleh pendapatan berupa fee (ujrah)
dari nasabah atas jasa yang diberikan bank tersebut. Pada hakikatnya pemberian
kafalah ini akan memberikan kepastian dan keamanan bagi pihak ketiga untuk
melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah disepakati tanpa khawatir
apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga nasabah cidera janji untuk
memenuhi prestasinya.
Namun masih diperlukan kajian yang lebih mendalam tentang
kafalah ini untuk lebih meningkatkan perkembangan ekonomi Islam atau ekonomi
syariah pada umumnya dan perbankan syariah pada khususnya sehingga nantinya
akan lebih menarik dan mampu bersaing dengan perkembangan perbankan
konvensional.
Oleh sebab itu dalam makalah kali ini kami akan mencoba
menguraikan bagaimana kafalah diterapkan
dalam bidang ekonomi khususnya dalam dunia perbankan. Semoga melalui makalah
ini dapat memberi manfaat bagi kita. Amin
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan kafalah itu?
2.
Apa yang dijadikan landasan hukum diperbolehkannya kafalah?
3.
Apa rukun dan syarat kafalah?
4.
Apa macam- macam dari kafalah?
5.
Bagaimana berakhirnya akad kafalah?
6.
Bagaimana pendapat MUI tentang adanya kafalah?
7.
Bagaimana aplikasi kafalah dalam dunia perbankan?
8.
Bagaimana hikmah tentang penerapan adanya kafalah?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN KAFALAH
Kafalah dalam arti bahasa berasal dari kata : kafala, yang
sinonimnya dhamina, artinya : “menanggung”.
Kafalah dalam istilah dikemukakan juga oleh ulama madzab sebagai
berikut:
a.
Menurut Hanafiyah:
Ulama’- ulama’ hanafiyah mengemukakan dua definisi umtuk kafalah,
definisi pertama adalah kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan suatu
tanggungan yang lain dalam penuntutan terhadap jiwa, harta, atau benda.
Definisi kedua adalah kafalah atau dhaman adalah mengumpulkan tanggungan kepada
tanggungan yang lain didalam pokok utang.
Dari kedua definisi tersebut,
definisi pertama lebih shahih karena lebih umum, yakni mencakup tiga
jenis kafalah, yaitu kafalah terhadap jiwa, utang, atau benda. Sedangkan
definisi kedua hanya mencakup kafalah terhadap utang saja.
b.
Menurut Malikiyah
Kafalah, dhaman dan hamalah mempunyai arti yang sama, yaitu
penggabungan oleh pemilik hak terhadap tanggungan penanggung dengan tanggungan
orang yang ditanggung, baik penggabungan tanggungan tersebut bergantung kepada
adanya sesuatu atau tidak.
c.
Menurut Syafi’iyah
Dhamman dalam pengertian syar’ adalah suatu akad yang menghendaki tetapnya suatu hak yang
ada dalam tanggungan orang lain, atau menghadirkan benda yang dihadirkan atau
menghadirkan badan yang harus dihadirkan.
d.
Menurut Hanabilah
Dhaman adalah menetapkan sesuatu yang wajib kepada orang lain
sedangkan sesuatu itu tetap dalam genggaman.[1]
Jadi dengan demikian yang dimaksud dengan kafalah adalah jaminan
yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga (makful lahu) untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makful ‘anhu)[2]
2.
DASAR HUKUM KAFALAH
Kafalah
hukumnya dibolehkan berdasarkan alquran, sunnah, dan ijma’.
A.
Alquran
Surah
Yusuf ayat: 72
(#qä9$s% ßÉ)øÿtR tí#uqß¹ Å7Î=yJø9$# `yJÏ9ur uä!%y` ¾ÏmÎ/ ã@÷H¿q 9Ïèt/ O$tRr&ur ¾ÏmÎ/ ÒOÏãy ÇÐËÈ
Artinya
: “Penyeru-penyeru itu berkata: "Kami kehilangan piala Raja, dan siapa
yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta,
dan aku menjamin terhadapnya".
B.
Hadis
Hadis Nabi riwayat Bukhari: “Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW
jenazah
seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah saw bertanya,
‘Apakah ia mempunyai
hutang?’ Sahabat menjawab, ‘Tidak’. Maka, beliau mensalatkannya.
Kemudian
dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah punbertanya, ‘Apakah ia
mempunyai hutang?’
Sahabat menjawab. ‘Ya’. Rasulullah berkata, ‘Salatkanlah temanmu
itu’ (beliau sendiri
tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, ‘Saya menjamin
hutangnya, ya
Rasulullah’. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut.”
(HR. Bukhari dari
Salamah bin Akwa’).[3]
C. Ijma’
Sedangkan dalam Al-Ijma, Para ulama sepakat dengan bolehnya kafalah karena
sangat dibutuhkan dalam mu’amalah masyarakat. Dan agar pihak yang berpiutang
tidak dirugikan dengan ketidakmampuan orang yang berutang. Perlu diketahui,
kafalah yang dilakukan dengan niat yang ikhlas mempunyai nilai ibadah
yang berbuah pahala.[4]
3.
RUKUN DAN SYARAT- SYARAT KAFALAH
Menurut
ulama hanafiyah rukun kafalah itu satu yakni ijab dan qabul. Akan tetapi
menurut ulama’ ulama’ yang lain rukun kafalah ada lima, yaitu
a.
Shighat yaitu ijab dari
penjamin atau ijab-qabul dari akad transaksi.
b.
Dhamin atau kafil (penjamin)
c.
Pemilik hak, atau yang mempunyai piutang (makful lahu)
d. Pihak yang dijamin (makful ‘anhu)
e.
Obyek kafalah (makful bih).
Adapun syaratnya sebagai berikut:
1.
Syarat shighat
Ulama’
hanafiah tidak memberikan syarat-syarat khusus untuk shighat (redaksi) ijab
qobul dalam kafalah. Menurut mereka sighat kafalah bisa dengan setiap lafal
yang mengandung arti tanggungan atau iltizam seperti kafaltu (saya tanggung), dlomintu(saya
jamin), dan tahammaltu (saya pikul/tanggung jawab).
2.
Syarat kafil ( dlamin)
a.
Baligh. Tidak sah bagi seorang anak yang masih dibawah umur untuk
menanggung kepentingan orang lain. Ulama’ fuqoha’ madzhab empat sepakat namun hanafiah mengecualikan dalam hal
kafalah bil mal, bukan bin nafsi , yaitu apabilaanaktersebut anak yatim dan
walinya berutang untuk menafakahinya. Maka dalam hal ini anak tersebut
dibolehkan menanggungnya dengan perintah walinya dan kafalahnya hukumnya sah.
b.
Berakal. Tidak sah kafalah yang dilakukan oleh orang gila.
c.
Tidak mahjur’alaih karena boros. Apabila kafil dinyatakan
mahjur’alaih karena sebab yang lain selainboros maka kafalahnya hukumnya sah.
d.
Kafil tidak berada dalam keadaan marodlulmaut ( sakit keras ).
Dalam keadaan ini, maka kafalahnya tidak sah dengan dua syarat yaitu:
1.
Ia mempunyai hutang yang menghabiskan hartanya.
2.
Tidak ada tambahan harta yang baru setelah ia meninggal. Apabila
ada tambahan harta baru setelah ia meninggal, maka kafalahnya hukumnya sah.
e.
Tidak dipaksa. Dengan demikian kafalah orang yang dipaksa hukumnya
tidak sah.
f.
Hanafiah menambahkan syarat kafil harus orang merdeka. Tetapi bukan
sarat sah melainkan sarat nafadz.
3.
Syarat makful lahu
Makful lahu adalah orang yang kepentingannya ditanggung yaitu
pemilik utang ,syarat untuk pemilik utang adalah
a.
Harus jelas (diketahui) dengan demikian tidak sah menjamin
seseorang yang ia ( penjamin) tidak mengetahuinya.
b.
Berakal. Tidak sah menjamin seseorang gila. Hal tersebut
dikarenakan dalam kafalah harus ada qobul( penerimaan), dan orang gila qobulnya
tidak sah.
4.
Syarat makful ‘anhu
Makful ‘anhu adalah al-mudin yaitu orang yang memiliki beban utang,
syarat untuk al-mudin ialah ia tidak mahjur ‘alaih karena boros. Menurut
hanabilah dan syafiiyyah, ia ( makful ‘anhu) tidak disyaratkan harus diketahui
oleh penjamin. Alasan hanabilah antara lain tindakan ali dan abu qotadah, yang
memberikan jaminan kepada orang yang makful’anhunya tidak diketahui mereka
berdua, sebagaimana dikemukakan di atas.
5.
Syarat makful atau makful bih
Makful atau makful bih adalah obyek kafalah, baik berupa barang,
utang, orang, maupun pekerjaan yang wajib dikerjakan oleh makful ‘anhu.[5]
4.
MACAM-MACAM KAFALAH
Secara garis besar, kafalah terbagi
dua bagian:
1.
Kafalah bi an-nafs.
Pengertian
kafalah bi an-nafs menurut Sayid
Sabiq adalah:
“kafalah bi an-nafs adalah kewajiban seorang
penjamin untuk mendatangkan orang yang ditanggung (makful) kepada makful lahu
(tertanggung).
Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kafalah bi an-nafs adalah
suatu kafalah dimana objek
tanggunganya mendatangkan orang ke hadapan tertanggung. Shighat yang digunakan bisa dengan lafal: “saya jamin untuk mendatangkan si fulan, atau membawa badannya atau
wajahnya.”
Kafalah
bi an-nafs hukumnya jaiz (boleh) apabila makful bih-nya hak manusia. Apabila kafalah berkaitan dengan hukumnya had,
seperti hukuman zina atau hukuman qadzaf,
maka kafalah semacam ini menurut
kebanyakan ulama hukumnya tidak sah. Alasanya adalah hadis Amr ibnu Syu’aib
dari ayahnya dari kakeknya ia berkata: Nabi SAW bersabda:
“tidak ada kafalah dalam
hukuman had.(HR. Baihaqi dengan sanad yang dha’if).
Menurut syafi’iyah, kafalah untuk
menghadirkan orang yang dijatuhi hukumnya had, yang ada kaitanya dengan hak adami (manusia), seperti had qadzaf dan qishash, hukumnya dibolehkan. Hal tersebut dikarenakan hukuman
tersebut merupakan hak yang lazim(mengikat).
Akan tetapi, apabila hukuman had tersebut merupakan hak Allah, maka kafalah dalam hal ini hukumnya tidak
sah.
Menurut Ibnu Hazm dari mazhab Zhahiri, kafalah bi an-nafs sama sekali tidak dibolehkan, baik berkaitan
dengan harta, hukuman had maupun dalam hal lainnya, karena tidak ada dasarnya
dalam al-qur’an, sedangkan hadis yang dijadikan dasar sangat lemah, karena
didalam sanadnya terdapat Ibrahim ibnu Khaiam ibnu ‘Arak sehingga tidak bisa
dijadikan sebagai dalil.
Ulama Syafi’iyah memberikan syarat-syarat untuk kafalah bi an-nafs sebagai berikut:
a.
Makful dan makful lahu harus
diketahui.
b.
Makful harus setuju.
c.
Harus ada izin (persetujuan) wali apabila makful belum mukallaf.
d.
Hak yang berkaitan dengan makful
bih adalah hak adami (manusia/individu),
bukan hak Allah SAW.
Apabila seorang
penjamin (kafil) telah sanggup untuk
mendatangkan makful bih maka ia
berkewajiban untuk mendatangkannya. Apabila ia kesulitan untuk mendatangkanya,
padahal makful bih masih hidup, atau
ia (penjamin/kafil) menolak
menghadirkannya maka ia dikenakan ganti rugi. Hal ini didasarkan kepada Nabi
SAW dari Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas bahwa nabi SAW bersabda:
“orang yang menjamin harus memberikan ganti
rugi.(HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dan ia menghasakannya, dan Ibnu Hibban
dan ia mensahihkannya).
Menurut
malikiyah, penjamin (kafil) dibebaskan
dari kewajiban mengganti kerugian, apabila dalam perjanjian kafalah nya disyaratkan ia sanggup
menghadirkan makful bih tanpa
dibebani imbalan ganti rugi berupa harta. Sedangkan menurut hanafiah, penjamin
(kafil) harus ditahan (dipenjara) sampai ia bisa mendatangkan makful bih atau diketahui bahwa makful bih telah meninggal dunia, dan ia
tidak dibebani ganti rugi berupa harta kecuali apabila dalam perjanjian kafalah nya hal tersebut jelas
disebutkan.
Apabila al-ashil atau makful ‘anhu meninggal dunia maka penjamin (kafil) tidak berkewajiban untuk menanggung hak/kewajiban yang
ditinggalkan oleh makful ‘anhu karena
ia hanya sanggup mendatangkan orangnya dan tidak menjamin utang atau hartanya.
Pendapat ini dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan pendapat yang masyhur dari
madzhab syafi’i.
2.
Kafalah bi al-mal.
Pengertian kafalah bi al-mal
adalah sebagai berikut: “kafalah bi
al-mal adalah suatu bentuk kafalah dimana penjamin terikat untuk membayar
kewajiban yang bersifat harta.”
Kafalah
bi al-mal dibagi tiga
bagian:
Ø Kafalah bi Ad-Dain
Yaitu kewajiban penjamin (kafil)
untuk melunasi utang yang ada dalam tanggung jawab orang lain. Dalam hadis
Salamah bin Al-Akwa’ diceritakan bahwa nabi SAW menolak untuk menyalatkan
jenazah yang masih memilikiutang. Kemudian Abu Qatadah menyatakan bahwa ia yang
menjamin utang jenazah tersebut. Barulah
Nabi SAW menyalatkanya. Untuk kafalah bi
ad-dain ini disyaratkan:
ü Utang harus
sudah tetap pada saat dilangsungkanya kafalah,
seperti utang pinjaman, utang karena jual beli, utang karena sewa menyewa, dan
utang karena mahar. Apabila utang belum tetap maka kafalah tidak sah. Misalnya seorang penjamin mengatakan: “juallah kepada si fulan, saya yang akan
menjamin harganya.” Dalam contoh ini utang tersebut belum terjadi, sehingga
kafalah hukumnya tidak sah. Pendapat
ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Hasan, dan Zhahiriyah. Akan
tetapi, Imam Abu Hanifah, Malik, dan Abu Yusuf membolehkan kafalah dalam kasus seperti dalam contoh diatas.
ü Utang tersebut
harus jelas, tidak majhul, karena
bisa menimbulkan gharar (penipuan).
Ini menurut mazhab Syafi’i dan Ibnu Hazm. Akan tetapi, menurut Imam Abu
Hanifah, Malik dan Ahmah, kafalah
dalam utang yang tidak jelas (majhul),
hukumnya sah.
Ø Kafalah bi Al-‘Ain
Disebut juga kafalah bi
at-taslim, yaitu kewajiban penjamin (kafil)
untuk menyerahkan barang tertentu yang ada ditangan orang lain. Contohnya
mengembalikan barang yang di-ghasab
(dicuri) dari orang yang meng-ghasab
atau menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli. Dalam hal ini disyaratkan
barang yang akan diserahkan menjadi tanggungan ashil (makful ‘anhu),
seperti dalam barang yang di-ghasab.
Apabila barang tersebut bukan menjadi tanggunganya, seperti barang pinjaman
atau titipan maka kafalah hukumnya
tidak sah.
Ø Kafalah bi Ad-Darak
Yaitu kafalah atau
tanggungan terhadap apa yang timbul atas barang yang dijual, berupa
kekhawatiran karena adanya sebab yang mendahului akad jual beli. Dengan
demikian, kafalah dalam hal ini
adalah jaminan terhadap hak pembeli dari pihak penjual, apabila terhadap barang
yang dijual ada pihak lain yang merasa memiliki. Seperti barang yang diperjual
belikan ternyata dimiliki oleh orang lain, atau sedang digadaikan kepada pihak
lain.[6]
5.
BERAKHIRNYA AKAD KAFALAH
·
Apabila jenis kafalah-nya
kafalah bi al-mal, maka kafalah berakhir dengan salah satu dari
dua perkara.
1.
Harta telah diserahkan kepada pemilik hak ( ad-dain ) atau dalam pengertian diserahkan,baik penyerahan
tersebut oleh peminjam (kafil) maupun
oleh ashil atau makful ‘anhu (al-mudin).
Demikian pula kafalan berakhir apabila
pemilik hak (ad-dain) menghibahkan
hartanya kepada peminjam (kafil) atau
ashil (makful ‘anhu), atau
menyedekahkan kepada peminjam (kafil)
atau ashil (makful ‘anhu). Kafalah juga berakhir apabila pemilik
hak (ad-dain) meninggal dan hartanya
diwariskan oleh kafil atau ashil karena dengan warisan ia memiliki
apa yang berada dalam tanggungannya.
2.
Utang telah dibebaskan atau dalam pengertian dibebaskan. Apabila
pemilik hak (ad-dain) membebaskan
pinjaman (kafil) atau ashil (makful ‘anhu), maka kafalah berakhir. Hanya saja apabila ad-dain membebaskan kafil (pinjaman) maka ashil
(makful ‘anhu) belum bebas dari utang. Sebaliknya, apabila ad-dain membebaskan ashil (makful ‘anhu),maka pinjaman (kafil) menjadi bebas,karena utang tersebut ada pada ashil, bukan kepada kafil. Demikian pula kafalah
dapat berakhir dengan adanya perdamaian (shulh).
·
Apabila jenis kafalah-nya
bi an-nafs, maka kafalah berakhir karena tiga sebab, sebagai berikut.
1. Penyerahan diri
kepada orang yang dituntut ditempat yang memungkinkannya untuk dihadapkan di
muka siding pengadilan, misalnya dikota A. Apabila penyerahan dilakukan
dilapangan atau di tempat yang tidak mungkin terdakwa terhadap di muka siding,
maka kafil (peminjam) belum bebas karena tujuan penyerahan belum terwujud.
Apabila disyaratkan kafil harus
menyerahkan diri makful di kota A, tapipenyerahan di kota B, maka menurut Imam
Abu Hanifah, kafil sudah bebas,
karena terdakwa memungkinkan untuk dihadapkan di muka sidang pengadilan di kota
A. Sedangkan menurut Muhammad dan Abu Yusuf tidak bebas kecuali makful diserahkan di kota yang
ditentukan (A).
2. Pembebasan
terhadap kafil oleh pemilik hak dari
kewajiban kafalah bi an-nafs. Tetapi ashil (makful ‘anhu) tidak bebas karena
pembebasan tersebut hanya kafil saja.
Apabila pembebasannya termasuk juga makful
‘anhu maka kedua-duanya bebas.
3. Meninggalnya makful ‘anhu. Apabila al-ashil meninggal dunia maka kafalah menjadi berakhir, dan kafil (peminjam) telah bebas dari tugas kafalah bi an-nafs, karena makful tidak mungkin untuk dihadirkan.
Demikian pula kafalah berakhir karena
meninggalnya pinjaman (kafil). Tetapi
apabila makful ‘anhu yang meninggal,
maka kafalah bi an-nafs tidak gugur,
dan kedudukannya digantikan oleh ahli waris atau pemegang wasiatnya.
·
Apabila jenis kafalah-nya
kafalah bi al-‘ain, maka kafalah dapat berakhir karena dua hal,
yaitu sebagai berikut.
1.
Penyerahan benda yang ditanggung (dijamin), apabila barangnya masih
ada, atau persamaanya, atau harganya, apabila barangnya telah rusak.
2.
Pembebasan kafil
(peminjam) dari tugas kafalah.
Misalnya perkataan pemilik hak: “ saya
bebaskan engkau dari kafalah”. Demikian pula kafalah dapat gugur (berakhir) karena pembebasan ashil (makful) dari kewajiban
menyerahkan barang yang ada padanya.[7]
6.
FATWA MUI KAFALAH
Sebagai dasar akad kafalah Dewan Syari’ah Nasional – Majelis Ulama
Indonesia telah mengeluarkan fatwa sebagai berikut :
a)
Ketentuan Umum Kafalah:
·
Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
·
Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang
tidak memberatkan.
·
Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan
secara sepihak.
b)
Rukun dan Syarat Kafalah :
ü Pihak Penjamin
(Kafiil)
§ Baligh (dewasa)
dan berakal sehat.
§ Berhak penuh
untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan
tanggungan kafalah tersebut.
ü Pihak Orang
yang berhutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)
§ Sanggup
menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin
§ Dikenal oleh
penjamin.
ü Pihak Orang
yang Berpiutang (Makfuul Lahu)
§ Diketahui
identitasnya.
§ Dapat hadir
pada waktu akad atau memberikan kuasa.
§ Berakal sehat.
ü Obyek
Penjaminan (Makful Bihi)
§ Merupakan
tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang, benda, maupun
pekerjaan.
§ Bisa
dilaksanakan oleh penjamin.
§ Harus merupakan
piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau
dibebaskan.
§ Harus jelas
nilai, jumlah dan spesifikasinya.
§ Tidak
bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).[8]
7. APLIKASI KAFALAH DALAM
TRANSAKSI PERBANKAN
Dalam mekanisme system
perbankan prinsip-prinsip kafalah dapat diaplikasikan dalam bentuk bank garansi
dengan segala variasinya.
Bank Garansi
Bank garansi adalah surat
jaminan yang diterbitkan oleh bank untuk menjamin pihak ketiga atas permintaan
nasabah sehubungan dengan transaksi ataupun kontrak yang telah mereka sepakati
sebelumnya. Pemberian jaminan ini pada umumnya disyaratkan oleh pihak ketiga
terhadap mitra kerjanya, yang bertujuan untuk mendapatkan kepastian
dilaksanakannya isi kontrak sesuai dengan yang telah disepakati. Apabila
terjadi cidera janji oleh mitra kerjanya, berdasarkan surat jaminan bank (bank
garansi) maka pihak ketiga tadi dapat mengajukan klaim kepada bank penerbit
garansi tersebut, asal saja semua syarat-syarat untuk pengajuan klaim telah
terpenuhi. Bank garansi berfungsi sebagai covering risk jika salah satu
pihak lali/cidera janji memenuhi kewajibannya di mana pihak bank mengambil-alih
risiko tersebut.
Garansi yang diberikan
oleh bank dibukukan ke dalam perkiraan administrative (kontijensi), yang
berarti bahwa dengan garansi yang diberikan tidak akan mempengaruhi neraca pada
saat itu. Hal ini baru akan mempunyai pengaruh terhadap neraca bank apabila
nasabah cidera janji atau tidak melaksanakan kontrak sesuai dengan yang telah
disepakati, maka berdasarkan kalim yang diterima bank dan syarat-syarat kalim
terpenuhi, bank wajib membayar kalim tersebut tanpa harus menunggu nasabah
menyediakan dana terlebih dahulu.[9]
8. HIKMAH KAFALAH
1. Adanya unsur tolong
menolong antar sesama.
2. Orang yang jamin
(ashiil) terhindar dari perasaan malu atau tercela.
3. Makful lahu akan
terhindar dari unsur penipuan.
4. Kafiil akan mendapatkan
pahala dari Allah SWT karena telah menolong orang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Kafalah adalah akad pemberian
jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada pihak lain
(makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran suatu
hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu). Dan pengertian
kafalah sendiri dikemukakan juga oleh beberapa madzab.
2.
Dan dibolehkannya mengenai hukum kafalah karena dapat membantu orang lain
yang sedang membutuhkan pertolongan khususnya orang yang berada dalam jeratan
utang.
3.
Pada hakikatnya pemberian kafalah ini akan memberikan kepastian dan
keamanan bagi pihak ketiga untuk melaksanakan isi perjanjian/kontrak yang telah
disepakati tanpa khawatir apabila terjadi sesuatu dengan nasabah sehingga
nasabah cidera janji untuk memenuhi prestasinya.
4.
Sedangkan dalam kafalah terdapat rukun- rukunnya antara lain:
shighat, kafil, makful lahu, makful ‘anhu, dan makful bih dimana masing- masing
mempunyai syarat atau ketentuan- ketentuan tertentu sesuai dengan syari’at
islam.
5.
Kafalah terdapat dua macam kafalah diantaranya yaitu: Kafalah
bi an-nafs, dan kafalah bi al- mal, dimana berakhirnya akad berbeda- beda.
6. Aplikasi kafalah
transaksi perbankan yang dapat dikelompokkan dalam akad-akad kafalah ada tiga
diantaranya: Bank garansi dengan segala variasinya; dan Letter of
credit dengan segala jenis dan variasinya serta kartu kredit.
7.
Dan banyak sekali hikmah yang terkandung apabila kita dapat
melakukan tindakan kafalah ini. Karena Allah senang dengan orang yang saling
menolong dengan sesama umatnya yang sedang kesusahan tentunya dalam hal
kebaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad
Wardi Muslich, Fiqh Muamalah, Jakarta : Amzah, 2010
Dewan
Syaiah Nasional MUI, Himpunan Fatwa DSN
MUI, Jakarta: DSN MUI dan BI, 2006
Haroen, Nasrun, Fiqh
Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000
Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah, Jakarta: Gema Insani, 2001
Zulkifli, Sunarto, Panduan
Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta, Zikrul Hakim, 2003
[1] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010) hlm. 433- 435
[2] Muhammad
Syafi’i Antonio, Bank Syariah, (Jakarta: Gema Insani, 2001) hlm. 123
[3] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010) hlm. 435- 437
[5] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010) hlm. 437- 440
[6] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010) hlm.440- 444
[7] Ahmad Wardi
Muslich, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Amzah, 2010) hlm.444 - 446
[8]Dewan
Syaiah Nasional MUI, Himpunan Fatwa DSN
MUI, (Jakarta: DSN MUI dan BI, 2006) hlm. 69-74
EmoticonEmoticon