MAKALAH PEMIKIRAN FILSAFAT DALAM KONTEKS ISLAM INDONESIA (PENGANTAR FILSAFAT)

MAKALAH
PEMIKIRAN FILSAFAT
DALAM KONTEKS ISLAM INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Filsafat
Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI)
Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan

Dosen pengampu : Miftahul Huda, M.Ag

Image result for STAIN PEKALONGAN 

Oleh :
1.    Ali Imron                               (2021114144)
2.    Fatchurahman Ali                  (2021114145)
3.    Tutik Saniyah                        (2021114146)
4.    Selfi Shochifatul Islah           (2021114147)
Kelas : PAI C

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI  (STAIN)
PEKALONGAN
2014


KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah materi mata kuliah Pengantar Filsafat kami yang berjudul “Pemikiran Filsafat Islam Indonesia”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat.
Makalah ini menjelaskan tentang Sejarah, Perkembangan dan Tokoh dan Pemikirannya dalam konteks Islam Indonesia. Dengan demikian materi makalah ini diharapkan dapat membantu proses belajar mahasiswa.
Teriring ucapan terima kasih kepada Bapak Miftahul Huda selaku pembimbing kami dalam pembelajaran mata kuliah Pengantar Filsafat, juga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan dan peningkatan kualitas makalah di masa yang akan datang dari pembaca adalah sangat berharga bagi kami.
Demikian makalah ini kami susun, semoga makalah ini bisa menambah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan referensi bagi penyusunan makalah dengan tema yang senada diwaktu yang akan datang. Aamiin yaa robbal ‘alamin.

Pekalongan, 26 November 2014

                                                                                Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Judul .................................................................................................   i
Kata Pengantar ................................................................................................   ii
Daftar Isi .........................................................................................................   iii
Bab I Pendahuluan ..........................................................................................   1
A.    Latar Belakang Masalah ......................................................................   1
B.     Rumusan Masalah ................................................................................   1
C.     Metode Pemecahan Masalah ...............................................................   2
D.    Sistematika Pemecahan Masalah .........................................................   2
Bab II Pembahasan ..........................................................................................   3
A.    Masuknya Islam ke Indonesia..............................................................   3
B.     Aspek Falsafah Islam ..........................................................................   5
C.     Perkembangan Pembaruan Di Indonesia .............................................   5
D.    Pemikiran Islam Empat Madzhab Indonesia (Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Dan Jalaluddin Rahmat) ......................................................................   8
1.      Nurcholis Majid dan Pemikirannya .................................................   8
1.1.   Modernisasi: Tinjauan Islami ..................................................   8
1.2.   Rasionalisme dan Agama Baru (Humanisme) ........................   9
1.3.   Westernisme, Liberalisme, dan komunisme.............................   9    
1.4.   Snoukisme: Pengalaman Berharga Bagi Bangsa Indonesia ....  11
1.5.   Nilai-Nilai Keislaman: Harta Berharga Bangsa Indonesia ......  12
2.      Abdurrahman Wahid Dan Pemikirannya ........................................  13
2.1.   Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ...................  13
2.2.   Aspek dan Pola Pemikiran Abdurrahman Wahid ...................  15
3.      Amien Rais Dan Pemikirannya .......................................................  19
3.1.    Riwayat Hidup Amien Rais ...................................................  19
3.2.       Aspek dan Pola Pemikiran Amien Rais .................................  21
4.      Jalaluddin Rakhmat Dan Pemikirannya ..........................................  21
4.1.    Riwayat hidup Jalaluddin Rakhmat ......................................  21   
4.2.    Pemikiran Jalaluddin Rakhmat ..............................................  22
Bab III Penutup ...............................................................................................  24
A.  Kesimpulan ..........................................................................................  24
B.  Saran dan Rekomendasi ......................................................................  25
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................  26
 BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Masalah
Agama islam adalah agama pembawa pertolongan bagi umat manusia. Hal ini tentu saja dibuktikan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan pasca islam. Hal ini bukan saja membawa dampak terangkatnya harkat umat manusia, akan tetapi juga mengangkat martabatnya, baik secara moral, sosial, maupun intelektual.
Perkembangan islam dari tahun ke tahun sangat memukau, melewati gurun-gurun pasir Arab sampai India, menyebrangi lautan sampai Eropa, dan bahkan mengarungi samudra sampai nusantara. Perkembangan dan perluasan ini bukan hanya membawa pengaruh-pengaruh islam secara teologis, melainkan juga membawa serta pemikiran-pemikiran filosofis dari para pendahulunya.
Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, yang mana hal ini tentu menyimpan banyak pertanyaan, khususnya bagi para pemerhati filsafat. Apakah ada filsafat islam di Indonesia? Kalaupun ada, seperti apa bentuknya? Siapa tokoh-tokoh yang terkenal dan siapa pula yang mempengaruhinya? Makalah ini akan mencoba mengurai bentuk-bentuk filsafat islam di Indonesia.[1]
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana islam masuk ke Indonesia?
2.      Apakah makna filsafat Islam Indonesia?
3.      Bagaimana perkembangan/pembaruan Islam indonesia?
4.      Bagaimana pemikiran-pemikiran tentang Islam di indonesia?



C.      Metode Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan melalui study literatur atau metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan beberapa referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas. Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan masalah yang akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan langkah-langkah pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian jawaban permasalahan.
D.      Sistematika Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian, meliputi: Bab I Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah, perumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah; Bab II, adalah Pembahasan; Bab III, bagian penutup yang terdiri dari simpulan dan saran.





BAB II
PEMBAHASAN

A.  MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer muslim. Mengenai kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Nusantara terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut.
a.       Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, diantaranya Snouk Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam raja kerajaan Samudera Pasai  (Malik as-Sholeh) yang dikatakan berasal dari gujarat.
b.      Kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana muslim, diantaranya Prof. Hamka. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriah (± abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 (Abad ke-7) melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.
c.       Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibu kota Abbasiyah oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut.
a.       Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
b.      Dakwah, yang dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para  pedagang. Para mubalig itu bisa jadi juga para sufi penggembara.
c.       Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat kharisma kebangsawanan.  
d.      Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap , mereka menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandarseperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubalig lokal, diantaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.[2] Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah, Raja Islam Pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung Jati, Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh Dzatu kahfi; Maulana Hasanuddin yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang kelak menjadi Sunan Banten pertama.[3]
B.  ASPEK FALSAFAH ISLAM
Falsafah islam dalam pegertian falsafah yang dicetuskan oleh filosof Islam, seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, dan lain-lain secara murni tidak pernah datang dan berpengaruh di Indonesia. kalaupun ada adalah aspek falsafah yang mempengaruhi tasawuf yang kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang menggunakan terminologi falsafah di luar islam seperti dari Yunani, Persi, India, Nasrani, maupun dari Islam sendiriyang dari luar Islam mungkin dari Socrates, Plato, Aristoteles, dan aliran Neo Platonisme dengan ajaran emanasinya, ataupun falsafah Hermenitisme. Sedangkan, dari Islam seperti falsafahnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi. Selain itu juga dipengaruhi paham batiniah sekte islamiyah dari aliran Syi’ah, seperti ajaran-ajaran Ikhwal al-Shofa. Di samping tentunya dilandaskan kepada ilmu-ilmu Isla, fiqih, kalam, hadis serta tafsir. Tegasnya para tokoh tasawuf falsafi bersifat ensikopledis dan berlatar belakang budaya, pengalaman dan pendidikan yang bermacam-macam. Walupun demikian, keorisinilannya sebagai tasawuf tetap terjaga. Para tokohnya berusaha dengan gigih untuk mengkompromikan ajaran-ajaran falsafah dari luar Islam dengan tasawuf. Karena itu, dalam tasawuf falsafi banyak ajarannya yang samar-samar, banyak ungkapan dan peristilahan khusus yang dipahami oleh orang-orang yang mendalami ajaran tasawuf falsafi ini. Dengan demikian, falsafah jenis ini sangat berbahaya bagi orang awam, karena dapat menjadi salah dalam memahami, mungkin menjadi terjebak ke arah penyelewengan bahkan mungkin menjadi tersesat yang mengarah kepada kekafiran.[4]
C.  PERKEMBANGAN PEMBARUAN DI INDONESIA
Bila melihat rentetan sejarah peradaban Islam di Indonesia, maka akan ditemukan ada tiga periode perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut.



Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di masyarakat Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang ke Indonesia hingga berlangsungnya masa penjajahan. Bahkan menjadi simbol perlawanan dalam perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam perang Padri.
Kedua, Peran ulama-ulama islam digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam kepolitikan. organisasi politik seperti Muhammadiyah  yang memiliki peranan penting dalam memperkenalkan modernitas terutama dalam pendidikan. dengan mendirikan sekolah-sekolah formal (bukan pesantren lagi). Model pendidikan tradisional (pesantren) diganti dengan model pendidikan Barat (Belanda). Selain muncul golongan pembaru dalam Islam, muncul juga organisasi tradisional yang terhimpun dalam Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah pada tahun 1926. Yang semula menggunakan pesantren sebagai basis kegiatannya, melestarikan tradisi-tradisi lama, bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Di Indonesia mereka sering dikatakan mengikuti fiqih Syafi’i, akidah ahli sunnah wal jama’ah, dan tasawuf Al-Junaedi, Al-Ghazali. Kitab-kitab mereka jadi rujukan dalam beramal, beribadah dan bertasawuf. Walaupun begitu tidak selalu bermakna konservatif, tidak modern, atau menolak modernitas. Dalam sisi tertentu mereka sangat akrab dengan modernitas. Seperti menggunakan telepon seluler, komputer, pesawat dan lain-lain, yang merupakan produk dari modernitas. Mereka disebut tradisonalis lantaran metodologi keberagamannya yang berlandaskan pada warisan pemikiran ulama masa lalu, seperti terlihat pada rujukannya pada kitab-kitab kuning. Mereka mempunyai pedoman ­al-muhafadzah ala al-qadimi al-shalih, wal ahzu ila al-jadidi al-ashlah (memelihara yang lama yang sah, sambil mengambil yang baru yang lebih baik).


Ketiga, periode kebangkitan intelektual Muslim, yakni saat peran politisi intelektual Muslim dipertanyakan di hadapan kekuasaan, sistem politik waktu itu (Orde baru). Sudah dimulai pada tahun 1970, ditandai dengan munculnya beberapa literatur yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia intelektual Muslim Indonesia. Namun, dalam masa berikutnya zaman kebangkitan intelektual ini mempunyai macam corak pemikiran. Mereka itu adalah sebagai berikut.
1.      Neo modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua aliran modernisme dan tradisionalisme, tokohnya adalah Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib.
2.      Sosialisme demokrat, yaitu gerakan yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Tokoh-tokohnya: Dawam Raharjo, Adi Sasono, Kuntowijoyo.
3.      Universalisme, gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai perangkat nilai alternatif dari kemerootan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah: Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, dan A.M. Saefudin.
4.      Neo revivalis, sering dikatakan dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin, dalam beberapa organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir. Front Pembela Islam(FPI) Majelis Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara umum mereka adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat, Barat adalah musuh. Maka simbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan dalam kesadaran keberagamannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.[5]



D.  PEMIKIRAN ISLAM EMPAT MADZHAB INDONESIA (NURCHOLIS MAJID, ABDURRAHMAN WAHID, AMIEN RAIS, DAN JALALUDDIN RAHMAT)
1.    Nurcholis Majid dan Pemikirannya
Nurcholis Madjid ataupun yang akrab dengan sapaan Cak Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 M. Beliau adalah staf pada Lembaga Ilmu  Pengetahuan (LIPI), Jakarta. Juga, menjadi dosen di Fakultas Adab dan Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Pendidikannya dimulai di Pesantren Rejoso, Jombang, dan kemudian di Pondok Modern Gontor, Ponorogo. Melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Islam Jurusan Sastra Arab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan tamat pada tahun 1968. Sejak tahun 1978-1984 melanjutkan pendidikan doktoralnya di University of Chicago dan meraih gelar Ph.D. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971), Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Asisten Sekretaris Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations (IIFSO). Pengakuan atas perannya dalam kancah pemikiran keislaman di Indonesia tampak pada kenyataan dijadikannya pemikiran-pemikiran tokoh ini sebagai bahan beberapa disertasi doktoral sekaligus, disamping pembahasan-pembahasan dalam setiap karya tulis mengenai masalah tersebut. [6]
1.1.   Modernisasi: Tinjauan Islami
Pengertian yang mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik, dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Dengan demikian, kiranya menjadi mantaplah keyakinan kita, bahwa modernisasi, yang berarti rasionalisasi untuk memperoleh dayaguna dalam berpikir dan bekerja yang maksimal, guna kebahagiaan umat manusia, adalah perintah Tuhan yang imperatif dan mendasar.[7]
1.2.   Rasionalisme dan Agama Baru (Humanisme)
Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh komunis. Maka, seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Menurut Islam sekalipun, rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan, melalui Nabi-nabi.[8]
1.3.   Westernisme, Liberalisme, dan komunisme
Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisasi.
Dan sudah pasti, kita tidak menolak ilmu pengetahuan yang benar, dan juga teknologi, sekalipun berasal dari Barat, bahkan sekalipun berasal dari komunis. Sebab ilmu, pengetahuan dan teknologi sama sekali tidak dapat dikatakan dimonopoli oleh Barat, apalagi disebut westernisme. Malahan dalam hal ilmu pengetahuan, Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari nya dimana saja, “meskipun ke negeri Cina”.
Malahan sudah menjadi pengakuan yang umum sekali sekarang ini, bahwa kemajuan Barat adalah berkat ilmu pengetahuan kaum muslimin di zaman keemasannya. Supremasi Islam dimuka bumi, dua kali lebih panjang lamanya daripada supremasi Barat sekarang ini.
Cabang-cabang sekulerisme antara lain, ialah liberalisme. Bila diukur dengan ajaran Tuhan Yang Maha Esa, liberalisme adalah suatu ajaran yang sesat yang harus ditentang. Mengenai ajaran liberalisme tentang kemerdekaan individu, tentu patut dihargai. Tetapi bahwa kemerdekaan itu tak terbatas, adalah suatu hal yang sangat membahayakan kehidupan bermasyarakat.
Liberalisme mengakibatkan individualisme, dan individualisme mengakibatkan kapitalisme. Maka dalam kapitalisme inilah kita dapati prinsip lemerdekaan dinodai sedemikian rupa, sehingga tinggal sebagai semboyan belaka. Orang-orang kapitalis berbicara tentang “kemerdekaan ekonomi”: kebebasan setiap orang untuk mengumpulkan harta kekayaan dan menggunakannya sebagai modal, tanpa menentukan norma moral bagaimana harta kekayaan itu diperoleh. Bagi mereka tidak ada harta yang halal maupun yang haram.
Komunisme adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah sekularisme yang paling murni dan konsekuen. Dalam konsumenismelah seseorang menjadi ateis sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhan ajarannya pada prinsip persamaan diantara manusia. Tetapi prinsip persamaan dalam komunisme itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa, sehingga tinggal semboyan semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya supremasi-mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada umumnya.
Karena kapitalisme dan komunisme itu tidak benar, maka kita sekarang menyaksikan pergeseran-pergeseran di dalam keduanya. Sebab, manusia tidak mungkin bisa bertahan sepenuhnya dalam suatu prinsip dan dalam ajaran yang kebenarannya tidak mutlak. Sekarang ini kita lihat bahwa negara-negara kapitalis makin menunjukkan gejala sosialistis. Sebaliknya, negara-negara komunis, dari hari kehari menjadi liberalis.[9]
1.4.   Snoukisme: Pengalaman Berharga Bagi Bangsa Indonesia 
Seperti diketahui, Pemerintah kolonial belanda memberikan pendidikan kepada pribumi Hindia Belanda, dan mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari sekolah rendah sampai sekolah tinggi. Hal-hal itu dilakukan dalam rangka “Politik Sopan”-nya (Ethical Policy). Hal ini memaksa kita untuk kembali ke sejarah lebih jauh lagi.
Dalam menjalankan “Politik Sopan” inilah pandangan-pandangan seorang ahli islam (Islamologi) terkenal, Snouck Hurgronje, sangat berpengaruh. Ketika menasehati pemerintah kolonial belanda, untuk menghadapi umat islam indonesia, Snouck Hurgronje mengemukakan pendapatnya bahwa Pemerintahan Kolonial harus mengembangkan sikap netral terhadap Islam sebagai agama, dan sikap keras-tegas terhadap Islam sebagai gerakan politik, dan pemerintah kolonial sekaligus harus merangkul golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang agak tipis keislamannya: yaitu kaum elite tradisional, pemimpin-pemimpin kaum adat di luar Jawa, dan kaum priyayi di Jawa. Kesemuanya itu ditempuh semata-mata untuk memperkokoh kolonialisme Belanda di bumi Indonesia.
Tetapi, hal itu semua hanyalah permulaan politik Belanda lebih lanjut: yaitu sepenuhnya menghancurkan Islam, dan mengusirnya dari bumi Hindia Belanda. Sebab, seperti dikatakan oleh Dr. Harry J. Benda: “... selama bangsa indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya, masih tetap merupakan orang-orang Muslim, maka hubungan kolonial selamanya tidak akan dapat memberikan jalan bagi adanya ikatan yang abadi antara Indonesia dan Negeri Belanda”.
Lebih dari itu, dan inilah intisari filsafat kolonialismenya Snouck Hurgronje. Indonesia harus dimodernisasikan, dijadikan modern. Dan seperti juga dikatakan oleh Snouck, “Oleh karena Indonesia modern itu, menurut batasannya, tidak mungkin merupakan Indonesia Islam, dan tidak pula merupakan Indonesia yang diperintah oleh adat, maka harus merupakan Indonesia yang di Baratkan.[10]   
1.5.  Nilai-Nilai Keislaman: Harta Berharga Bangsa Indonesia
Dalam keadaan inilah rakyat Indonesia didorong oleh suatu kewajiban mencari kepribadian nasional (national identity), sebagai langkah yang pertama-tama harus diambil dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sebab, bukankah Tuhan tidak akan mengubah nasib sesuatu bangsa sebelum mereka mengubah apa yang ada pada jiwa mereka, yaitu berupa set of ideas, attitudes and convictions (sekumpulan pikiran, sikap, dan keyakinan).
Di antara milikan nasional itu, secara obyektif, yang paling menonjol ialah keislaman. Keislaman inilah yang telah mampu menjadikan dirinyasebagai simbol kebangkitan bangsa dalam menentang penjajahan, semenjak ekspedisi Patih Unusdari kerajaan Demak untuk mengusir penjajahan Portugis dari malaka, sampai lahirnya partai dan gerakan politik dengan organsasi massa yang modern yang pertama kali di Indonesia (PSII), dibawah pimpinan Pak Cokro dan pak H.A Salim, yang menjadi sumber inspirasi dan aspirasi seluruh gerakan nasional patriotik dan revolusioner di Indonesia menjelang kemerdekaan tahun 1945.
Dari segi inilah kita harus menilai mutlaknya gerakan-gerakan Islam dalam Indonesia merdeka ini, semenjak dari Partai Politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya partai politik Islam ditahun permulaan kemerdekaan, sampai partai-partai Islam yang ada sekarang ini, yaitu NU, PSII, Partai Muslimin dan Perti. Di samping itu, juga organisasi-organisasi massa Islam, baik yang bergerak di bidang pendidikan, kesejahteraan sosial dan lain-lain, maupun di bidang kemahasiswaan dan kepelajaran.
Organisasi-organisasi kemahasiswaan dan kepelajaran Islam berfungsi sebagai pelengkap pendidikan di sekolah atau fakultas/akademi, ditanamkan kewajiban untuk mengikis habis sisa-sisa Snockisme yang meracuni kehidupan bangsa Indonesia. organisasi-organisasi ini bertugas menghilangkan dualisme keislaman dan keterpelajaran (intelektualitas). Sehingga terbentuklah kelak sarjana-sarjana Musim, dimana keislaman dan intelektualitas berpadu.[11]
2.    ABDURRAHMAN WAHID DAN PEMIKIRANNYA
2.1.   Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman Ad-dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari, demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang  dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya.
Sosok yang pernah menjadi presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Ia adalah putra dari mantan menteri agama  RI pertama, K.H. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah memangku jabatan  Rais Akbar pengurus besar Nahdlatul ‘Ulama.
Sementara itu kakek dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syamsuri, juga pengasuh pondok pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ‘Am pengurus besar Nahdlatul ‘Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kyai cikal-bakal pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul ‘Ulama (NU), disamping K.H.A. Wahab Hasbullah.
Dalam banyak aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah di persiapkan sebagai “putra mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul ‘Ulama sebagai pewaris cita-cita ayah dan kakeknya. Idealisme yang di cita-citakan ayahnya, K.H. Wahid Hasyim terhadap putranya initergambar jelas dari nam yang dibrikannya : Abdurrahman Ad-dakhil. Secara leksikal ad-dakhil berarti sang penakluk, sebuah nama yang diambil K.H. Wahid Hasyim dari seorang perintis dinasti bani Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan islam di Spanyol berabad islam.
Sejak kecil Abdurahman Wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Di ambang usianya yang masih sangat muda (12 tahun), perasaan tangung jawab ini secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya dalam kecelakaan mobil.
Setamat Sekolah Dasar di jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikanyaa pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta daan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji paada K.H. Ali Maksum di krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis, K.H. Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Pendidikan keagamaan selanjutnya diasah di beberapa pondok pesantren Nahdlatul Ulama terkemuka, antara lain di pesantren tegalrejo, magelang dengan menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separo waktu santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959 sampai 1963, ia belajar di Mu’allimat bahrul ‘Ulim, pesantren tambakberas, jombang, jawa timur kepada K.H. Wahab Hasbullah. Berikutnya  ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren Krapyak, dan tinggal di rumah pimpinan Nahdlatul Ulama terkemuka K.H. Ali Ma’shum setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra di Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas di Baghdad.
Berbeda dengan ulama-ulama tradisional lainnya yang lebih senang mengungkapkan ide-ide dan pemikiran melalui lisan atau ceramahnya, Abdurrahman Wahid juga mengungkapkan pemikirannya dengan tulisan. Bunga Rampai Pesantren (1979) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1981) adalah karya-karya yang menjadikan sosok Abdurrahnman Wahid dikenal dengan keintelektualannya.
Hingga saat ini esai dan artikel yang telah ditulis oleh Abdurrahman Wahid tidak terhitung jumlahnya. Kyai Nyentrik Membela Pemerintah (1997), Tabayun Gus Dur (1998),Prisma Pemikiran Gus Dur (1999), Membangun Demokrasi (1999), islam, Negara, dan Demokrasi : Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (1999), Tuban Tidak Perlu Di Bela (1999)adalah contoh esai-esai Abdurrahman Wahid yang sudah diterbitkan.[12]
2.2    Aspek dan Pola Pemikiran Abdurrahman Wahid
Abdurrahman Wahid merupakan seorang kyai yang di didik dan di tempa oleh berbagai ulama, pemikiran dan lingkungan yang beragam.sejak kecil ia sudah menampakkan kecerdasannya dengan banyaknya buku- buku sosial yang ia baca. Almari bekas kamar ia belajar di pondok pesantren masih tersisa buku- buku sosial yang tidak sedikit berbahasa inggris.
Dengan gaya kontraversialnya, Abdurrahman Wahid mampu tampil menjadi top leader pembaharu bagi lingkungan yang ia jalani. Walau demikian, pemikiran dan perilaku kontraversialnya kerap kali mengundang pertanyaan dan membuat banyak orang bingung, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap sosok ini. Kelompok- kelompok yang berada diluar pemikirannya banyak yang menyatakan bahwa pemikiran- pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai pemikiran yang tidak Rasional yang membahayakan, diluar kebenaran dan pantas untuk ditentang. Sikap dan pemikiran kontroversialnya menyebabkan tidak sedikit kalangan islam dari kelompok ini yang menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid adalah agen zionis, sosok yang merusak pemahaman tentang islam.
Di balik pemikiran dan tingkah laku Abdurrahman Wahid yang kontroversial dan membuat resah bahkan dikecam masyarakat, ada satu kekuatan yang menjadikan posisi Abdurrahman Wahid tetap eksis terutama di kalangan masyarakat Nahdlatul ‘Ulama, yaitu loyalitas dan penghormatan yang tertinggi terhadap para ulama. Disamping memang ia keturunan ulama besar, dia tahu persis bagaimana mendekati dan meyakinkan  ulama bahwa apa yang dilakukannya adalah benar atau sesuai dengan zaman.
Ide dan pemikiran yang dilontarkan Abdurrahman Wahid saat ini tidak akan lepas dari latar belakang dan pengalaman pribadi yang dialaminya. Dia sendiri mengakui bahwa karakter dan pemikirannya bukan dibentuk dirinya atau seseorang, namun dibentuk oleh keseluruhan lingkungan yang mengitarinya, seperti: pesantren, dan lainnya.
Al Zastrouw mengatakan bahwa Abdurrahman Wahid mengalami tiga lintasan budaya yang berbeda dan membentuk karakter dan pemikirannya dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hirearkis, tertutup dan penuh dengan etika yang serba formal. Kedua, dunia Timur Tengah yang terbuka dan keras, Ketiga, budaya Barat yang Liberal, rasional, dan sekuler.
Ketika menimba ilmu bersama kyai chudlori di Tegalrejo, Abdurrahman wahid diperkenalkaan dalam ritus-ritus sufi dan praktek-praktek ritual mistik secara mendalam. Dengan menggunakan ritual dan waktu tertentu, misalnya dengan menggunakan perhitungan hari Arab yang digabung dengan hitungan jawa seperti Jum’at Legi, ia mulai melakukan ziarah ke beberapa kuburan keramat para wali di jawa dibawah bimbingan kyai chudlori dan berlangsung kurang lebih dua tahun, setelah itu ia kembali ke jombang dan menimba ilmu-ilmu keagamaan di pesantren kakeknya, tambak berasdan beberapa pesantren terkemuka lainnya sebelum akhirnya ia terbang ke timur tengah.
Walaupun ia merasa jenuh ketika belajar di Mesir dan waktu yang ada ia gunakan untuk membaca buku dan selebihnya nonton film, ada situasi yang menguntungkan dan turut membentuk karakter perilaku Gus Dur. Dan dari sinilah Gus Dur menemukan pemikiran-pemikiran muslim modern secara langsung di Mesir. Di Mesir pulalah ia memperoleh paham sosialisme yang berbudaya. Gus Dur mengatakan bahwa orang-orang Arab sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya.
Kepindahannya ke Universitas Baghdad, Irak ternyata menambah wacana pemikirannya. Ia merasakan perbedaan yang lebih baik daripada ketika belajar di Mesir. Di Baghdad masyarakat Arab klasik dikaji secara empiris dengan pisau metodologi yang tajam. Disana ia juga mempelajari kesejarahan Islam di Indonesia, disamping buku-buku besar karya orientalis Barat seperti karya Emile Durkheim sehingga di sinilah bakat empirisme yang dimiliki tumbuh cepat dalam waktu yang relatif singkat. Sementara itu, di luar Universitas, ia rajin mengunjungi makam-makam keramat seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani, di samping mempelajari ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang pendiri tasawuf yang diikuti oleh jamaah Nahdlatul Ulama. “Saya menemukan sumber spiritualitas saya,” demikian komentar Abdurrahman Wahid.
Abdurrahman Wahid berasal dan di besarkan dalam kelompok tradisionalis. Namun disebabkan beberapa fase mobilitas intelektual yang dialaminya, ia relatif berhasil membuat jarak  antara sosok intelektualitasnya dengan alam pemikiran sebagian besar para pendukung sayap tradisionalis dan justru dengan itu, ia mampu melihat kelemahan-kelemahan kaum modernis. Dalam posisinya yang semacam itulah, ia mampu membuat jarak intelektual, baik dengan kaum tradisionalis, maupun dengan kaum modernis.
Dengan gaya kontroversinya, Abdurrahman wahid mampu tampil menjadi top leader pembaharu bagi lingkungan yang ia jalani. Walaupun demikian, pemikiran dan perilaku kontroversialnya kerapkali mengundang banyak poertanyaan dan membuat banyak orang bingung, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap sosok ini. Kelompok-kelompok yang berada diluar jalur pemikirannya banyak yang menyatakan bahwa pemikiran-pemikiran Abdurrahman wahid sebagai pemikiran tidak rasional yang membahayakan, diluar kebenaran dan pantas untuk ditentang. Sikap dan pemikiran kontroversialnya menyebabkan tidak sedikit kalangan islam dari kalangan ini yang menyatakan bahwa Abdurrahman wahid adalah agen zionis, sosok yang merusak pemahaman tentang islam.
Di sisi lain, bagi mereka yang mencintai, mendukung dan bersama-sama dalam barisan pemikirannya akan semakin kagum dan terbuai dalam irama pemikiran dan perilaku Abdurrahman wahid,  walau tanpa ia sadari wacana pembelaan adalah suatu bentuk taklid buta. Bahkan lebih dari itu, mereka yang tergolong sebagai pendukung “setia” tidak sedikit yang menyatakan dan yakin bahwa sosok Abdurrahaman wahid merupakan auliya (waliyullah) yang mempunyai ilmu laduni sehingga setiap ucapan dan perilakunya merupakan sebuah keniscayaan.
Prinsip islam tradisional yang dilakukan oleh Abdurrahman wahid dalam menghadapi dan menyikapi persoalan-persoalan kemasyarakatan adalah sebuah prinsip klasik yang diajarkan dalam  organisasi  Nahdlatul ‘Ulama yaitu doktrin ahlussunah wal jama’ah yang dirumuskan antara lain dengan sikap tawassuth (moderat), tasamuh (toleran) dan i’tidal (adil) dalam berinteraksi dengan orang lain. Atau lebih spesifik lagi bahwa pemikiran dan perilaku Abdurrahman wahid sebagi sifat neo-modernismenya diungkapkan oleh fachry Ali dan Bachtiar Effendi.
Dengan semangat dan jiwa kebangsaannya, Abdurrahman wahid tampil sebagai seorang bangsawan yang demokrat dan tidak terlalu mempersoalkan formalisme islam sebagai simbol perjuangan politiknya. Dia beranggapan bahwa dalam dunia demokrasi, islam merupakan salah satu bagian dalam proses perjalanan politik di Indonesia di samping unsur-unsur lainnya.
Wacana pemikiran yang dilontarkan Abdurrahman wahid sebetulnya merupakan wacana yang bisa di sejajarkan dengan Bung Karno atau Bung Hatta, artinya perjuangan yang dilakukannya merupakan perwujudan dari penegakan cita-cita kemerdekaan negara indonesia. Namun, apabila dilihat dari sisinya sebagai seorang kyai dan di sejajarkan dengan Mohammad Natsir, KH. Wahab Hasbullah, KH. Idgham Chalid, atau juga mungkin ayahnya, KH. Wahid Hasyim dan politisi-politisi islam lainnya, maka corak pemikirannya tentang islam dan negara menjadi sesuatu yang kontroversial.
Abdurrahman Wahid sering mengakui bahwa pemikiran dan gagasan-gagasannya tentang demokrasi diilhami dari pemikiran Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi yang beragama hindhu, Sulak Sivaraksa dari Thailand yang beragama Budha, atau Ali Abdul  Roziq, yang hampir semua bukunya dilarang dibaca di Mesir.
Tanpa menafikan  aspek-aspek pemikiran lainnya, dari pemikiran diatas jelas terlihat bahwa pemikiran Abdurrahman wahid yang digagas dalam kondisi riil masyarakat indonesia merupakan telaah panjang dan akumulasi atas khasanah pemikiran tradisional, konservatif, eksklusif, dan fundamentalis denagn pola pemikiran yang modern, moderat, inklusif dan sekaligus liberal.[13]

3.    AMIEN RAIS DAN PEMIKIRANNYA
3.1.   Riwayat Hidup Amien Rais
Amien Rais yang dikenal sebagai pakar politik ini lahir di solo, Jawa Tengah tanggal 26 April 1944. Ia merupakan putra kedua dari enam bersaudara. Ayahnya, Syuhud Rais adalah seorang tokoh muhammadiyah di Surakarta yang menjadi kepala kantor pendidikan agama depag Surakarta dan ibunya, Sudalmiyah yang merupakan seorang guru juga selama 20 tahun menjabat sebagai ketua Aisyiyah Surakarta, organisasi wanita Muhammadiyah.
Amien Rais tumbuh dalam keluarga Muhammadiyah yang kental. pengalaman pada masa kecilnya disolo berjalan sebagaimana pola asuh keluarga santri. Bocah kecil yang belum baligh ini harus mulai menjalankan sholat 5 waktu dengan ketat. Ibunya, sudalmiyah mengenalkan agama kepadanya sejak kecil dengan kewajiban amien rais untuk bangun pukul 04.00 pagi guna menjalankan ibadah sholat shubuh.
Keluarga Syuhud Rais merupakan keluarga yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap pendalaman keagamaan dan menjunjung tinggi pendidikan.dalam bimbingan orangtuanya, Amien Rais memulaai pendidikan formal pada sekolah dasar Muhammadiyah solo dan lulus pada tahun 1956. Kemudian, ia disekolahkan di SMP Muhammadiyah solo sambil belajar agama pada pesantren Mamba’ul Ulum dan pesantren Al Islam. Setelah tamat SMP tahun 1959, Amie Rais melanjutkan pendidikan formalnya pada SMA Muhammadiyah solo dan selesai pada tahun 1962.
Ketika hendak melanjutkan study ke perguruan tinggi, ia memilih jurusan hubungan internasional FISIP Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia juga merangkap kuliah di fakultas tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun pendidikannya di IAIN Sunan Kalijaga terpaksa tidak terselesaikan karena adakeputusan pemerintah saat ini melarang mahasiswa berkuliah ganda.
Jenjang pendidikan Amin Rais setelah menyelesaikan study sarjananya dari UGM  pada tahun 1968 di tempuhnya di Amerika Serikat. Ia mengikuti program pendidikan pasca sarjana di University of Notre Dame,  indiana, Amerika dengan menekuni study tentang Uni Soviet dan eropa timur, dan selesai pada tahun 1974 dengan gelar M.A. selanjutnya ia mengikuti program dokter di politikal science, University of chichago. Gelar Ph.D diraihnya melalui disertasi dengan judul “The Moslem Brotherbood in Egypt: It Rise. Demise, and Resurgence” (ikhwanul muslimin di mesir: kelahiran, keruntuhan dan kebangkitan kembali).
Kontribusi pemikiran Amin rais tampak terlihat dari banyaknya tulisan-tulisan yang telah dibuatnya . umumnya karya tulisnya dituangkan dalam bentuk artikel, editing, dan kata pengantar di berbagai buku.[14]
3.2. Aspek dan Pola Pemikiran Amien Rais
Memahami pemikiran Amien Rais bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk mengetahui dan memahaminya, makaa kita tidak akan lepas dari perilaku daan sepak terjang yang selama ini dilakukannya. Disamping melalui hasil karya ilmiyah yang sudah banyak dihasilkannya selama ini. Seperti halnya  Abdurrahman Wahid.
Pendidikan agama yang ditanamkan orang tua kepada dirinya telah membentuk pribadi Amin Rais menjadi sosok yang teguh dan senantiasa berpegang pada islam sebagai pondasi yang mengakar terhadap pemikiran serta segala aktivitas yang dilakukannya.wacan dan pemikiran yang diperolehnya ketika belajar ibarat ia elaborasikan dengan wacana keislaman yang sudah sangat mengental dalam dirinya, sehingga lahirlah tokoh berpikiran modern yang akan merasa “gerah” tatkala melihat sebuah kemungkaran.
Amien Rais mengungkapkan bahwa menegakkan tugas kembar setiap manusia mukmin amar ma’ruf nahi munkar merupakan wujud menciptakan masyarakat secara multidimensional, dimana ketika hendak melakukan reaktualisasinya harus langsung merujuk kepada Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bagi orang beriman merupakan sosiologi kebenaran (sociology of trut), yang berbeda dengan sosiologi kebenaran lainnya seperti model libertarian, Marxiane, Humanis dan Eksistensialis dan lain- lainnya.[15]
4.    JALALUDDIN RAKHMAT DAN PEMIKIRANNYA
4.1.  Riwayat hidup Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Sehari-hari, kang Jalal sapaan akrab pakar komunikasi ini mengasuh SMA Plus Muthahhari, sekolah model untuk pembinaan akhlak. Meski swejak berdirinya Muthahhari dicurigai sebagai pelopor gerakan syi’ah di Indonesia, kurikulumnya justru mengajarkan pemikiran seluruh mahdzab. “Sya tidak mengajak orang masuk syi’ah. Disini kami mengajarkan keterbukaan untuk menghadapi perbedaan di antara berbagai mahdzab.” Jelasnya suatu ketika. Selain aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, Kang Jalal aktif berdakwah dan berkhidmat pada mustadafin. Ia membina jama’ah di masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Belakangan, ia mendirikan SMP Muthahhari di Cicalengka, khusus untuk siswa miskin.
Belum lama ini, ia bersama sejumlah tokoh populer, antara lain, K.H. Abdurrahman Wahid, Prof. Dr. Quraisy Shihab, hingga Dawam Rahardjo memperoleh atribut sesat lewat sebuah buku berjudul Aliran-aliran Sesat. Cap sesat acap diletakkan di keningnya barangkali karena kedekatannya dengan komunitas agama lain. Ia tidak saja begitu toleran pada Ahmadiyah yang dianggap sesat oleh MUI, tapi juga dengan umat lain. Cendikiawan yang belakangan dipanggil kiai ini kerap juga sering diminta berbicara di gereja atau forum umat Kristiani.
4.2.  Pemikiran Jalaluddin Rakhmat
Dalam suatu wawancara, ia menuturkan, “Saya dilahirkan dalam keluarga nahdliyin (orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam gerakan keagamaan untuk menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan saya waktu kecil dan bergabung dengan para pecinta syari’at. Saya selalu berangkat ke kota untuk belajar, dan bergabung mula-mula dengan kelompok Persatuan Islam (Persis) dan masuk kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul Ghad, atau pemimpin masa depan. Pada saat yang sama, saya juga bergabung dengan Muhammadiyah, dan di didik di Darul Arqam Muhammadiyah, dan pusat pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu, saya sempat kembali ke kampung untuk memberantas bidah, khufarat, dan tahayul. Tapi sebetulnya, yang saya berantas adalah perbedaan fikih antara fikih Muhammadiyah dengan fikih NU orang kampung saya. Misi hidup saya waktu itu saya rumuskan singkat: menegakkan misi Muhammadiyah dengan memuhammadiyahkan orang lain.
“Tapi apa kemudian yang terjadi? Saya bertengkar dengan Uwa’(paman) saya yang masih membina pesantren, dan penduduk kampung. Sebab, ketika semua orang berdiri untuk salat qabliyah Jum’at, saya duduk secara demonstratif. Saya hampir dipukuli karerna membawa fikih yang baru itu. Singkat cerita, melalui pengalaman hidup, saya menemukan bahwa fikih hanyalah perbedaan pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan sunah. Hanya saja, kemudian  berkembang pendapat yang berbeda-beda. Kekeliruan saya pada waktu itu berpikir bahwa fikih itu sama dengan Al-Quran dan sunah. Artinya, kalau orang menentang Al-Quran dan sunah, jelas dia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Al-Quran dan sunah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu perbedaan tafsiran saja. Karena itulah ia berpikir bahwa yang mempersatukan perbedaan adalah akhlak. Dalam bidang akhlak semua orang bisa bersetuju, apapun mahzabnya. Lalu ia mempunyai pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fikih, ia akan dahulukan akhlak. Kalau datang ke jama’ah NU yang qunut subuh, demi ukhuwah dan memelihara akhlak ditengah-tengah saudara saya, saya akan ikut qunut, walau saya misalnya orang Muhammadiyah yang tidak qunut. Tapi, ketika bergabung dengan orang-orang Muhammadiyah, saya mungkin tidak qunut demi menghargai jama’ah sekitar saya.” Refleksi dan perjalanan hidupnya itu menginspirasi Kang Jalal untuk membangun jembatan ukhuwah sesama muslim, apapun mahzabnya.[16]



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Indonesia adalah negara yang beragam, baik itu dari  sisi agama, bahasa, budaya, adat-istiadat, pakaian maupun kebiasaan. Selain itu Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, yang mana hal ini tentu menyimpan banyak pertanyaan, khususnya bagi para pemerhati filsafat. perkembangan filsafat Islam Indonesia sangat berkaitan dengan sejarah awal Islam masuk ke Indonesia yang dalam teori umum selalu diperpegangi kuatnya daya tarik dari luar Indonesia sendiri khususnya kawasan India dan Timur Tengah. bahkan menurut studi yang dilakukan Azyurmardi Azra setidaknya ada dua teori, yaitu 'teori perniagaan' dan 'teori sufi', akan tetapi nampaknya Azra lebih memegangi bahwa 'teori sufi'lah yang paling dominan dibanding 'teori perniagaan' dalam pengembangan Islam di wilayah Nusantara tersebut.
Dalam perkembangannya Islam Indonesia mempunyai macam corak pemikiran. Diantanya Neo modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua aliran modernisme dan tradisionalisme, tokohnya adalah Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid. Sosialisme demokrat, yaitu gerakan yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Tokoh-tokohnya: Dawam Raharjo, Adi Sasono, Kuntowijoyo. Universalisme, gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai perangkat nilai alternatif dari kemerootan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah: Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, dan A.M. Saefudin. Neo revivalis, sering dikatakan dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin, dalam beberapa organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir. Front Pembela Islam(FPI) Majelis Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara umum mereka adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat, Barat adalah musuh. Maka simbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan dalam kesadaran keberagamannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.
B.  Saran dan Rekomendasi
Semua pemikiran tokoh pembaruan islam khususnya dalam makalah ini menujukkan agar umat islam bisa lebih maju dan bisa menerima hal yang rasional untuk menghadapi perkembangan manusia dan zaman pada saat ini, tapi yang perlu kita garis bawahi apa yang telah dituangkan oleh para tokoh pembaru islam atau gagasan-gagasan yang telah mereka buat harus bisa kita filter dan kritisi tidak semata-semata harus kita telaah semua atau kita sepakati semua apa pendapat mereka, dalam kata lain  kita harus bisa mengambil hal yang baik, (secara rasionalis dan agamis), ataupun sesuai dengan nilai-nilai islam, seperti halnya semangat mereka dalam perubahan menuju yang lebih baik. Dan mengembalikan peran manusia dibumi  sebagai kholifah fil ardi, dan mengambil kembali  Keilmuan-keilmuan yang telah diukir oleh ulama-ulama terdahulu, karena sesungguhnya ilmu pengetahuan itu yang membuat zaman ini berkembang.



DAFTAR PUSTAKA


Majid, Nurcholis. 1999. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Jakarta: Penerbit Mizan.
Rahmat, Jalaluddin. 2006. Islam dan Pluralisme. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
Saefulloh, Aris. 2003. Gus Dur VS Amin Rais Dakwah Kultural-Struktural. Yokyakarta: laelathinkers.
Sunanto, Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.









[2]      Karena Maulana Malik Ibrahim wafat pada tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang bernama AHMAD ALI RAHMATULLAH dari Negeri Champa (sekarang daerah vietnam selatan) Beliau adalah anak SYEKH IBRAHIM ASMARAKANDI yang menjadi menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering dipanggil RADEN RAHMAT dan kelak kita kenal dengan nama Sunan Ampel. (Agus Sunyoto dalam diskusi Atlas Walisongo Youtube)

[3]    Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 7-11
[4] Ibid., hlm. 256-257
[5] Ibid., hlm. 307-313
[6]    Nurcholis Majid, Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan, (Jakarta:Penerbit Mizan, 1999), hlm. 5

[7] Ibid., hlm. 172-173
[8] Ibid., hlm. 181-182
[9] Ibid., hlm. 187-189
[10] Ibid., hlm. 192-193
[11] Ibid., hlm. 198-199
[12] Aris Saefulloh, Gus Dur VS Amin Rais Dakwah Kultural-Struktural, (Yokyakarta: laelathinkers, 2003), hlm. 65-69
[13] Aris Saefulloh, Ibid., hlm. 74-94
[14] Aris Saefulloh, Ibid., hlm. 95-97
[15] Aris Saefulloh, Ibid., hlm. 99-107
[16]  Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 5-9


EmoticonEmoticon