MAKALAH
PEMIKIRAN
FILSAFAT
DALAM
KONTEKS ISLAM INDONESIA
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Pengantar Filsafat
Program Studi Pendidikan Agama Islam
(PAI)
Jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan
Dosen pengampu : Miftahul
Huda, M.Ag
Oleh
:
1. Ali Imron (2021114144)
2. Fatchurahman Ali (2021114145)
3. Tutik Saniyah (2021114146)
4. Selfi Shochifatul Islah (2021114147)
Kelas
: PAI C
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2014
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi
Allah yang telah memberikan kemudahan kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah materi mata kuliah Pengantar Filsafat kami yang
berjudul “Pemikiran Filsafat Islam
Indonesia”. Sholawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada
Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat dan orang-orang yang
mengikutinya hingga hari kiamat.
Makalah ini
menjelaskan tentang Sejarah, Perkembangan dan Tokoh dan Pemikirannya dalam
konteks Islam Indonesia. Dengan demikian materi makalah ini diharapkan dapat membantu
proses belajar mahasiswa.
Teriring ucapan
terima kasih kepada Bapak Miftahul Huda selaku pembimbing kami dalam
pembelajaran mata kuliah Pengantar Filsafat, juga kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan serta motivasi kepada kami dalam menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari
bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan dan peningkatan kualitas makalah di masa yang akan datang dari
pembaca adalah sangat berharga bagi kami.
Demikian
makalah ini kami susun, semoga makalah ini bisa menambah keilmuan dan
bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan referensi bagi penyusunan makalah
dengan tema yang senada diwaktu yang akan datang. Aamiin yaa robbal ‘alamin.
Pekalongan,
26 November 2014
Penulis
DAFTAR
ISI
Halaman
Judul ................................................................................................. i
Kata
Pengantar ................................................................................................ ii
Daftar
Isi ......................................................................................................... iii
Bab
I Pendahuluan .......................................................................................... 1
A.
Latar
Belakang Masalah ...................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 1
C. Metode Pemecahan Masalah ............................................................... 2
D. Sistematika Pemecahan Masalah ......................................................... 2
Bab
II Pembahasan .......................................................................................... 3
A.
Masuknya
Islam ke Indonesia.............................................................. 3
B. Aspek Falsafah Islam .......................................................................... 5
C.
Perkembangan Pembaruan Di Indonesia ............................................. 5
D.
Pemikiran Islam Empat Madzhab Indonesia (Nurcholis Majid,
Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Dan Jalaluddin Rahmat) ...................................................................... 8
1.
Nurcholis Majid dan Pemikirannya ................................................. 8
1.1.
Modernisasi: Tinjauan Islami .................................................. 8
1.2.
Rasionalisme dan Agama Baru (Humanisme) ........................ 9
1.3.
Westernisme, Liberalisme,
dan komunisme............................. 9
1.4.
Snoukisme: Pengalaman
Berharga Bagi Bangsa Indonesia .... 11
1.5.
Nilai-Nilai Keislaman: Harta
Berharga Bangsa Indonesia ...... 12
2.
Abdurrahman Wahid Dan Pemikirannya ........................................ 13
2.1.
Riwayat Hidup Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) ................... 13
2.2.
Aspek dan Pola Pemikiran
Abdurrahman Wahid ................... 15
3.
Amien Rais Dan Pemikirannya ....................................................... 19
3.1.
Riwayat Hidup Amien Rais ................................................... 19
3.2.
Aspek dan Pola Pemikiran Amien Rais ................................. 21
4.
Jalaluddin Rakhmat Dan Pemikirannya .......................................... 21
4.1.
Riwayat hidup Jalaluddin Rakhmat ...................................... 21
4.2.
Pemikiran Jalaluddin Rakhmat .............................................. 22
Bab
III Penutup ............................................................................................... 24
A. Kesimpulan .......................................................................................... 24
B.
Saran
dan Rekomendasi ...................................................................... 25
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 26
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Agama islam adalah agama pembawa pertolongan bagi umat
manusia. Hal ini tentu saja dibuktikan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan
pasca islam. Hal ini bukan saja membawa dampak terangkatnya harkat umat manusia,
akan tetapi juga mengangkat martabatnya, baik secara moral, sosial, maupun
intelektual.
Perkembangan islam dari tahun ke tahun sangat memukau,
melewati gurun-gurun pasir Arab sampai India, menyebrangi lautan sampai Eropa,
dan bahkan mengarungi samudra sampai nusantara. Perkembangan dan perluasan ini
bukan hanya membawa pengaruh-pengaruh islam secara teologis, melainkan juga
membawa serta pemikiran-pemikiran filosofis dari para pendahulunya.
Indonesia adalah negara berpenduduk muslim terbanyak
di dunia, yang mana hal ini tentu menyimpan banyak pertanyaan, khususnya bagi
para pemerhati filsafat. Apakah ada filsafat islam di Indonesia? Kalaupun ada,
seperti apa bentuknya? Siapa tokoh-tokoh yang terkenal dan siapa pula yang
mempengaruhinya? Makalah ini akan mencoba mengurai bentuk-bentuk filsafat islam
di Indonesia.[1]
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
islam masuk ke Indonesia?
2.
Apakah makna
filsafat Islam Indonesia?
3.
Bagaimana
perkembangan/pembaruan Islam indonesia?
4.
Bagaimana
pemikiran-pemikiran tentang Islam di indonesia?
C. Metode
Pemecahan Masalah
Metode pemecahan masalah yang dilakukan
melalui study literatur atau metode kajian pustaka, yaitu dengan menggunakan
beberapa referensi lainnya yang merujuk pada permasalahan yang dibahas.
Langkah-langkah pemecahan masalahnya dimulai dengan menentukan masalah yang
akan dibahas dengan melakukan perumusan masalah, melakukan langkah-langkah
pengkajian masalah, penentuan tujuan dan sasaran, perumusan jawaban
permasalahan dari berbagai sumber, dan penyintesisan serta pengorganisasian
jawaban permasalahan.
D. Sistematika
Penulisan Makalah
Makalah ini ditulis dalam tiga bagian,
meliputi: Bab I Pendahuluan yang terdiri dari: latar belakang masalah,
perumusan masalah, metode pemecahan masalah, dan sistematika penulisan makalah;
Bab II, adalah Pembahasan; Bab III, bagian penutup yang terdiri dari simpulan
dan saran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
MASUKNYA ISLAM KE INDONESIA
Suatu kenyataan bahwa kedatangan Islam ke Indonesia dilakukan
secara damai. Berbeda dengan penyebaran Islam di Timur Tengah yang dalam
beberapa kasus disertai dengan pendudukan wilayah oleh militer muslim. Mengenai
kapan, dari mana, dan dimana pertama kali Islam datang ke Nusantara terdapat
perbedaan pendapat sebagai berikut.
a.
Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis
Belanda, diantaranya Snouk Hurgronje yang berpendapat bahwa Islam datang ke
Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan
bukti ditemukannya makam raja kerajaan Samudera Pasai (Malik as-Sholeh) yang dikatakan berasal dari
gujarat.
b.
Kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana muslim, diantaranya Prof.
Hamka. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke
Indonesia pada abad pertama Hijriah (± abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab
dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai
jauh sebelum abad ke-13 (Abad ke-7) melalui Selat Malaka yang menghubungkan
Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah
di Asia Barat.
c.
Sarjana Muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan
kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke
Indonesia sejak abad pertama Hijriyah, tetapi baru dianut oleh pedagang Timur
Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan
mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra
Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibu kota Abbasiyah
oleh Hulagu. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang Muslim mengalihkan
aktivitas perdagangan ke Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.
Dari paparan diatas dapat dijelaskan bahwa tersebarnya Islam ke
Indonesia adalah melalui saluran-saluran sebagai berikut.
a.
Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
b.
Dakwah, yang dilakukan oleh mubalig yang berdatangan bersama para pedagang. Para mubalig itu bisa jadi juga para
sufi penggembara.
c.
Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim dengan anak
bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti sosial, yaitu
keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu secara tidak
langsung orang Muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan sifat
kharisma kebangsawanan.
d.
Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap , mereka
menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandarseperti Gresik. Pusat-pusat perekonomian
itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam. Pusat-pusat
pendidikan dan dakwah Islam di kerajaan Samudra Pasai berperan sebagai pusat
dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan mengirim mubalig lokal,
diantaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.[2]
Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga
merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah,
Raja Islam Pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung
Jati, Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh
Dzatu kahfi; Maulana Hasanuddin yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang
kelak menjadi Sunan Banten pertama.[3]
B.
ASPEK FALSAFAH ISLAM
Falsafah islam dalam
pegertian falsafah yang dicetuskan oleh filosof Islam, seperti Al-Kindi,
Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi, dan lain-lain secara murni tidak pernah
datang dan berpengaruh di Indonesia. kalaupun ada adalah aspek falsafah yang
mempengaruhi tasawuf yang kemudian dikenal dengan istilah tasawuf falsafi.
Tasawuf falsafi
adalah tasawuf yang menggunakan terminologi falsafah di luar islam seperti dari
Yunani, Persi, India, Nasrani, maupun dari Islam sendiriyang dari luar Islam
mungkin dari Socrates, Plato, Aristoteles, dan aliran Neo Platonisme dengan
ajaran emanasinya, ataupun falsafah Hermenitisme. Sedangkan, dari Islam seperti
falsafahnya Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusydi. Selain itu juga dipengaruhi
paham batiniah sekte islamiyah dari aliran Syi’ah, seperti ajaran-ajaran Ikhwal
al-Shofa. Di samping tentunya dilandaskan kepada ilmu-ilmu Isla, fiqih, kalam,
hadis serta tafsir. Tegasnya para tokoh tasawuf falsafi bersifat ensikopledis
dan berlatar belakang budaya, pengalaman dan pendidikan yang bermacam-macam.
Walupun demikian, keorisinilannya sebagai tasawuf tetap terjaga. Para tokohnya
berusaha dengan gigih untuk mengkompromikan ajaran-ajaran falsafah dari luar
Islam dengan tasawuf. Karena itu, dalam tasawuf falsafi banyak ajarannya yang
samar-samar, banyak ungkapan dan peristilahan khusus yang dipahami oleh
orang-orang yang mendalami ajaran tasawuf falsafi ini. Dengan demikian,
falsafah jenis ini sangat berbahaya bagi orang awam, karena dapat menjadi salah
dalam memahami, mungkin menjadi terjebak ke arah penyelewengan bahkan mungkin
menjadi tersesat yang mengarah kepada kekafiran.[4]
C.
PERKEMBANGAN PEMBARUAN DI INDONESIA
Bila melihat
rentetan sejarah peradaban Islam di Indonesia, maka akan ditemukan ada tiga
periode perkembangan pemikiran Islam di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
Pertama, periode ketika kepemimpinan ulama sangat dominan di masyarakat
Muslim. Kepemimpinan ulama berlangsung sejak Islam datang ke Indonesia hingga
berlangsungnya masa penjajahan. Bahkan menjadi simbol perlawanan dalam
perang-perang besar melawan penjajah. Misalnya Fatahillah mengusir Portugis dari
Sunda Kelapa, Kiai Maja membantu perang Diponegoro, Imam Bonjol dalam perang
Padri.
Kedua, Peran ulama-ulama islam digantikan oleh pemimpin-pemimpin Islam
yang bergerak di bidang organisasi atau kepartaian dalam kepolitikan. organisasi
politik seperti Muhammadiyah yang
memiliki peranan penting dalam memperkenalkan modernitas terutama dalam
pendidikan. dengan mendirikan sekolah-sekolah formal (bukan pesantren lagi).
Model pendidikan tradisional (pesantren) diganti dengan model pendidikan Barat
(Belanda). Selain muncul golongan pembaru dalam Islam, muncul juga organisasi
tradisional yang terhimpun dalam Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama) yang
dicetuskan oleh K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah pada tahun 1926.
Yang semula menggunakan pesantren sebagai basis kegiatannya, melestarikan
tradisi-tradisi lama, bergerak dalam bidang sosial keagamaan. Di Indonesia
mereka sering dikatakan mengikuti fiqih Syafi’i, akidah ahli sunnah wal
jama’ah, dan tasawuf Al-Junaedi, Al-Ghazali. Kitab-kitab mereka jadi rujukan
dalam beramal, beribadah dan bertasawuf. Walaupun begitu tidak selalu bermakna
konservatif, tidak modern, atau menolak modernitas. Dalam sisi tertentu mereka
sangat akrab dengan modernitas. Seperti menggunakan telepon seluler, komputer,
pesawat dan lain-lain, yang merupakan produk dari modernitas. Mereka disebut
tradisonalis lantaran metodologi keberagamannya yang berlandaskan pada warisan
pemikiran ulama masa lalu, seperti terlihat pada rujukannya pada kitab-kitab
kuning. Mereka mempunyai pedoman al-muhafadzah ala al-qadimi al-shalih, wal
ahzu ila al-jadidi al-ashlah (memelihara yang lama yang sah, sambil
mengambil yang baru yang lebih baik).
Ketiga, periode kebangkitan intelektual Muslim, yakni saat peran politisi
intelektual Muslim dipertanyakan di hadapan kekuasaan, sistem politik waktu itu
(Orde baru). Sudah dimulai pada tahun 1970, ditandai dengan munculnya beberapa
literatur yang mencoba mencermati secara sistematis perkembangan dunia
intelektual Muslim Indonesia. Namun, dalam masa berikutnya zaman kebangkitan
intelektual ini mempunyai macam corak pemikiran. Mereka itu adalah sebagai
berikut.
1.
Neo modernisme, yaitu pemikiran keislaman yang menggabungkan dua
aliran modernisme dan tradisionalisme, tokohnya adalah Nurcholis Majid,
Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib.
2.
Sosialisme demokrat, yaitu gerakan yang melihat keadilan sosial dan
demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Tokoh-tokohnya: Dawam Raharjo, Adi Sasono,
Kuntowijoyo.
3.
Universalisme, gerakan pemikiran Islam yang memandang Islam sebagai
perangkat nilai alternatif dari kemerootan nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya
adalah: Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, dan A.M. Saefudin.
4.
Neo revivalis, sering dikatakan dengan gerakan Ikhwan al-Muslimin,
dalam beberapa organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir. Front Pembela
Islam(FPI) Majelis Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara umum
mereka adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat, Barat
adalah musuh. Maka simbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan
dalam kesadaran keberagamannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.[5]
D.
PEMIKIRAN ISLAM EMPAT MADZHAB INDONESIA (NURCHOLIS MAJID,
ABDURRAHMAN WAHID, AMIEN RAIS, DAN JALALUDDIN RAHMAT)
1.
Nurcholis Majid dan Pemikirannya
Nurcholis Madjid
ataupun yang akrab dengan sapaan Cak Nur, lahir di Mojoanyar, Jombang, Jawa
Timur, 17 Maret 1939 M. Beliau adalah staf pada Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI), Jakarta. Juga, menjadi
dosen di Fakultas Adab dan Pasca sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Pendidikannya dimulai di Pesantren Rejoso, Jombang, dan kemudian di Pondok
Modern Gontor, Ponorogo. Melanjutkan studinya ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan
Islam Jurusan Sastra Arab IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan tamat pada tahun
1968. Sejak tahun 1978-1984 melanjutkan pendidikan doktoralnya di University of
Chicago dan meraih gelar Ph.D. Pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus
Besar Himpunan Mahasiswa Islam selama dua periode (1966-1969 dan 1969-1971),
Presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara, dan Asisten Sekretaris
Jenderal International Islamic Federation of Students Organizations (IIFSO).
Pengakuan atas perannya dalam kancah pemikiran keislaman di Indonesia tampak
pada kenyataan dijadikannya pemikiran-pemikiran tokoh ini sebagai bahan
beberapa disertasi doktoral sekaligus, disamping pembahasan-pembahasan dalam
setiap karya tulis mengenai masalah tersebut. [6]
1.1.
Modernisasi: Tinjauan Islami
Pengertian yang
mudah tentang modernisasi ialah pengertian yang identik, atau hampir identik,
dengan pengertian rasionalisasi. Dan hal itu berarti proses perombakan pola
berpikir dan tata kerja lama yang tidak akliah. Kegunaannya ialah untuk
memperoleh daya-guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan
menggunakan penemuan mutakhir manusia di bidang ilmu pengetahuan. Dengan
demikian, kiranya menjadi mantaplah keyakinan kita, bahwa modernisasi, yang
berarti rasionalisasi untuk memperoleh dayaguna dalam berpikir dan bekerja yang
maksimal, guna kebahagiaan umat manusia, adalah perintah Tuhan yang imperatif
dan mendasar.[7]
1.2.
Rasionalisme dan Agama Baru (Humanisme)
Rasionalisme
adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh
komunis. Maka, seorang rasionalis adalah seorang yang menggunakan akal
pikirannya secara sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal
pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai yang merupakan kebenaran
terakhir sekalipun. Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu
dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan
kebenaran-kebenaran. Menurut Islam sekalipun, rasio dapat menemukan
kebenaran-kebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan
kebenaran yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang
lain yang lebih tinggi daripada rasio, yaitu wahyu (revelation) yang
melahirkan agama-agama Tuhan, melalui Nabi-nabi.[8]
1.3.
Westernisme, Liberalisme, dan komunisme
Kita sepenuhnya
berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh
dimensi-dimensi moral, dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa
modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisasi.
Dan sudah
pasti, kita tidak menolak ilmu pengetahuan yang benar, dan juga teknologi,
sekalipun berasal dari Barat, bahkan sekalipun berasal dari komunis. Sebab
ilmu, pengetahuan dan teknologi sama sekali tidak dapat dikatakan dimonopoli
oleh Barat, apalagi disebut westernisme. Malahan dalam hal ilmu pengetahuan,
Nabi Muhammad memerintahkan umatnya untuk mencari nya dimana saja, “meskipun ke
negeri Cina”.
Malahan sudah
menjadi pengakuan yang umum sekali sekarang ini, bahwa kemajuan Barat adalah
berkat ilmu pengetahuan kaum muslimin di zaman keemasannya. Supremasi Islam
dimuka bumi, dua kali lebih panjang lamanya daripada supremasi Barat sekarang
ini.
Cabang-cabang
sekulerisme antara lain, ialah liberalisme. Bila diukur dengan ajaran Tuhan
Yang Maha Esa, liberalisme adalah suatu ajaran yang sesat yang harus ditentang.
Mengenai ajaran liberalisme tentang kemerdekaan individu, tentu patut dihargai.
Tetapi bahwa kemerdekaan itu tak terbatas, adalah suatu hal yang sangat
membahayakan kehidupan bermasyarakat.
Liberalisme
mengakibatkan individualisme, dan individualisme mengakibatkan kapitalisme. Maka
dalam kapitalisme inilah kita dapati prinsip lemerdekaan dinodai sedemikian
rupa, sehingga tinggal sebagai semboyan belaka. Orang-orang kapitalis berbicara
tentang “kemerdekaan ekonomi”: kebebasan setiap orang untuk mengumpulkan harta
kekayaan dan menggunakannya sebagai modal, tanpa menentukan norma moral
bagaimana harta kekayaan itu diperoleh. Bagi mereka tidak ada harta yang halal
maupun yang haram.
Komunisme
adalah bentuk lain dan lebih tinggi dari sekularisme. Sebab, komunisme adalah
sekularisme yang paling murni dan konsekuen. Dalam konsumenismelah seseorang
menjadi ateis sempurna. Kaum komunis membenarkan, malah mendasarkan keseluruhan
ajarannya pada prinsip persamaan diantara manusia. Tetapi prinsip persamaan
dalam komunisme itu pun mengalami nasib yang sama dengan prinsip kemerdekaan
dalam kapitalisme. Kaum komunis menodai prinsip persamaan itu sebegitu rupa,
sehingga tinggal semboyan semata-mata. Malahan yang terjadi ialah adanya
supremasi-mutlak pihak penguasa atas pihak yang dikuasai, yaitu rakyat pada
umumnya.
Karena
kapitalisme dan komunisme itu tidak benar, maka kita sekarang menyaksikan
pergeseran-pergeseran di dalam keduanya. Sebab, manusia tidak mungkin bisa
bertahan sepenuhnya dalam suatu prinsip dan dalam ajaran yang kebenarannya
tidak mutlak. Sekarang ini kita lihat bahwa negara-negara kapitalis makin
menunjukkan gejala sosialistis. Sebaliknya, negara-negara komunis, dari hari
kehari menjadi liberalis.[9]
1.4.
Snoukisme: Pengalaman Berharga Bagi Bangsa Indonesia
Seperti
diketahui, Pemerintah kolonial belanda memberikan pendidikan kepada pribumi
Hindia Belanda, dan mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari sekolah rendah
sampai sekolah tinggi. Hal-hal itu dilakukan dalam rangka “Politik Sopan”-nya (Ethical
Policy). Hal ini memaksa kita untuk kembali ke sejarah lebih jauh lagi.
Dalam menjalankan
“Politik Sopan” inilah pandangan-pandangan seorang ahli islam (Islamologi)
terkenal, Snouck Hurgronje, sangat berpengaruh. Ketika menasehati pemerintah
kolonial belanda, untuk menghadapi umat islam indonesia, Snouck Hurgronje
mengemukakan pendapatnya bahwa Pemerintahan Kolonial harus mengembangkan sikap
netral terhadap Islam sebagai agama, dan sikap keras-tegas terhadap Islam
sebagai gerakan politik, dan pemerintah kolonial sekaligus harus merangkul
golongan-golongan dalam masyarakat Indonesia yang agak tipis keislamannya:
yaitu kaum elite tradisional, pemimpin-pemimpin kaum adat di luar Jawa, dan
kaum priyayi di Jawa. Kesemuanya itu ditempuh semata-mata untuk memperkokoh
kolonialisme Belanda di bumi Indonesia.
Tetapi, hal itu
semua hanyalah permulaan politik Belanda lebih lanjut: yaitu sepenuhnya
menghancurkan Islam, dan mengusirnya dari bumi Hindia Belanda. Sebab, seperti
dikatakan oleh Dr. Harry J. Benda: “... selama bangsa indonesia, terutama
pemimpin-pemimpinnya, masih tetap merupakan orang-orang Muslim, maka hubungan kolonial
selamanya tidak akan dapat memberikan jalan bagi adanya ikatan yang abadi
antara Indonesia dan Negeri Belanda”.
Lebih dari itu,
dan inilah intisari filsafat kolonialismenya Snouck Hurgronje. Indonesia harus
dimodernisasikan, dijadikan modern. Dan seperti juga dikatakan oleh Snouck,
“Oleh karena Indonesia modern itu, menurut batasannya, tidak mungkin merupakan
Indonesia Islam, dan tidak pula merupakan Indonesia yang diperintah oleh adat,
maka harus merupakan Indonesia yang di Baratkan.[10]
1.5.
Nilai-Nilai Keislaman: Harta Berharga Bangsa Indonesia
Dalam keadaan
inilah rakyat Indonesia didorong oleh suatu kewajiban mencari kepribadian
nasional (national identity), sebagai langkah yang pertama-tama harus
diambil dalam rangka mengisi kemerdekaan. Sebab, bukankah Tuhan tidak akan
mengubah nasib sesuatu bangsa sebelum mereka mengubah apa yang ada pada jiwa
mereka, yaitu berupa set of ideas, attitudes and convictions (sekumpulan
pikiran, sikap, dan keyakinan).
Di antara
milikan nasional itu, secara obyektif, yang paling menonjol ialah keislaman.
Keislaman inilah yang telah mampu menjadikan dirinyasebagai simbol kebangkitan
bangsa dalam menentang penjajahan, semenjak ekspedisi Patih Unusdari kerajaan
Demak untuk mengusir penjajahan Portugis dari malaka, sampai lahirnya partai
dan gerakan politik dengan organsasi massa yang modern yang pertama kali di
Indonesia (PSII), dibawah pimpinan Pak Cokro dan pak H.A Salim, yang menjadi
sumber inspirasi dan aspirasi seluruh gerakan nasional patriotik dan
revolusioner di Indonesia menjelang kemerdekaan tahun 1945.
Dari segi
inilah kita harus menilai mutlaknya gerakan-gerakan Islam dalam Indonesia
merdeka ini, semenjak dari Partai Politik Islam Masyumi sebagai satu-satunya
partai politik Islam ditahun permulaan kemerdekaan, sampai partai-partai Islam
yang ada sekarang ini, yaitu NU, PSII, Partai Muslimin dan Perti. Di samping
itu, juga organisasi-organisasi massa Islam, baik yang bergerak di bidang
pendidikan, kesejahteraan sosial dan lain-lain, maupun di bidang kemahasiswaan
dan kepelajaran.
Organisasi-organisasi
kemahasiswaan dan kepelajaran Islam berfungsi sebagai pelengkap pendidikan di
sekolah atau fakultas/akademi, ditanamkan kewajiban untuk mengikis habis
sisa-sisa Snockisme yang meracuni kehidupan bangsa Indonesia.
organisasi-organisasi ini bertugas menghilangkan dualisme keislaman dan
keterpelajaran (intelektualitas). Sehingga terbentuklah kelak sarjana-sarjana
Musim, dimana keislaman dan intelektualitas berpadu.[11]
2.
ABDURRAHMAN WAHID DAN PEMIKIRANNYA
2.1.
Riwayat Hidup Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman
Ad-dakhil bin Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari, demikian nama lengkap dari
Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah
sosok yang lahir dan berkembang dari
suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena
faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya.
Sosok yang
pernah menjadi presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada
tanggal 4 Agustus 1940. Ia adalah putra dari mantan menteri agama RI pertama, K.H. Hasyim Asy’ari adalah ulama
besar pengasuh pondok pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah
memangku jabatan Rais Akbar pengurus
besar Nahdlatul ‘Ulama.
Sementara itu
kakek dari pihak ibunya, K.H. Bisri Syamsuri, juga pengasuh pondok pesantren di
Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan Rais ‘Am pengurus besar Nahdlatul
‘Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid inilah yang merupakan tokoh dan kyai cikal-bakal
pendiri organisasi keagamaan Nahdlatul ‘Ulama (NU), disamping K.H.A. Wahab
Hasbullah.
Dalam banyak
aspek Abdurrahman Wahid seakan memang telah di persiapkan sebagai “putra
mahkota” yang kelak akan memimpin Nahdlatul ‘Ulama sebagai pewaris cita-cita
ayah dan kakeknya. Idealisme yang di cita-citakan ayahnya, K.H. Wahid Hasyim
terhadap putranya initergambar jelas dari nam yang dibrikannya : Abdurrahman
Ad-dakhil. Secara leksikal ad-dakhil berarti sang penakluk, sebuah
nama yang diambil K.H. Wahid Hasyim dari seorang perintis dinasti bani Umayyah
yang telah menancapkan tonggak kejayaan islam di Spanyol berabad islam.
Sejak kecil
Abdurahman Wahid sudah diberi pengetahuan dan pendalaman agama serta perasaan
tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Di ambang usianya yang masih sangat
muda (12 tahun), perasaan tangung jawab ini secara dramatis semakin menguat
ketika harus menyaksikan kematian ayahnya dalam kecelakaan mobil.
Setamat Sekolah
Dasar di jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikanyaa pada
Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta daan lulus tahun 1957,
sambil sesekali belajar mengaji paada K.H. Ali Maksum di krapyak, walaupun ia
sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis, K.H. Junaid, seorang ulama yang
merupakan anggota Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Pendidikan
keagamaan selanjutnya diasah di beberapa pondok pesantren Nahdlatul Ulama
terkemuka, antara lain di pesantren tegalrejo, magelang dengan menyelesaikan
waktu belajarnya kurang dari separo waktu santri pada umumnya (1957-1959). Dari
tahun 1959 sampai 1963, ia belajar di Mu’allimat bahrul ‘Ulim, pesantren tambakberas,
jombang, jawa timur kepada K.H. Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di
pesantren Krapyak, dan tinggal di rumah pimpinan Nahdlatul Ulama terkemuka K.H.
Ali Ma’shum setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra di
Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra
Universitas di Baghdad.
Berbeda dengan
ulama-ulama tradisional lainnya yang lebih senang mengungkapkan ide-ide dan
pemikiran melalui lisan atau ceramahnya, Abdurrahman Wahid juga mengungkapkan
pemikirannya dengan tulisan. Bunga Rampai Pesantren (1979) dan Muslim di Tengah
Pergumulan (1981) adalah karya-karya yang menjadikan sosok Abdurrahnman Wahid
dikenal dengan keintelektualannya.
Hingga saat ini
esai dan artikel yang telah ditulis oleh Abdurrahman Wahid tidak terhitung
jumlahnya. Kyai Nyentrik Membela Pemerintah (1997), Tabayun Gus Dur
(1998),Prisma Pemikiran Gus Dur (1999), Membangun Demokrasi (1999), islam,
Negara, dan Demokrasi : Himpunan Percikan Perenungan Gus Dur (1999), Tuban
Tidak Perlu Di Bela (1999)adalah contoh esai-esai Abdurrahman Wahid yang sudah
diterbitkan.[12]
2.2
Aspek dan Pola Pemikiran Abdurrahman Wahid
Abdurrahman
Wahid merupakan seorang kyai yang di didik dan di tempa oleh berbagai ulama,
pemikiran dan lingkungan yang beragam.sejak kecil ia sudah menampakkan
kecerdasannya dengan banyaknya buku- buku sosial yang ia baca. Almari bekas kamar
ia belajar di pondok pesantren masih tersisa buku- buku sosial yang tidak
sedikit berbahasa inggris.
Dengan gaya
kontraversialnya, Abdurrahman Wahid mampu tampil menjadi top leader pembaharu bagi
lingkungan yang ia jalani. Walau demikian, pemikiran dan perilaku
kontraversialnya kerap kali mengundang pertanyaan dan membuat banyak orang
bingung, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap sosok ini.
Kelompok- kelompok yang berada diluar pemikirannya banyak yang menyatakan bahwa
pemikiran- pemikiran Abdurrahman Wahid sebagai pemikiran yang tidak Rasional
yang membahayakan, diluar kebenaran dan pantas untuk ditentang. Sikap dan
pemikiran kontroversialnya menyebabkan tidak sedikit kalangan islam dari
kelompok ini yang menyatakan bahwa Abdurrahman Wahid adalah agen zionis, sosok
yang merusak pemahaman tentang islam.
Di balik
pemikiran dan tingkah laku Abdurrahman Wahid yang kontroversial dan membuat
resah bahkan dikecam masyarakat, ada satu kekuatan yang menjadikan posisi
Abdurrahman Wahid tetap eksis terutama di kalangan masyarakat Nahdlatul ‘Ulama,
yaitu loyalitas dan penghormatan yang tertinggi terhadap para ulama. Disamping
memang ia keturunan ulama besar, dia tahu persis bagaimana mendekati dan
meyakinkan ulama bahwa apa yang
dilakukannya adalah benar atau sesuai dengan zaman.
Ide dan
pemikiran yang dilontarkan Abdurrahman Wahid saat ini tidak akan lepas dari
latar belakang dan pengalaman pribadi yang dialaminya. Dia sendiri mengakui
bahwa karakter dan pemikirannya bukan dibentuk dirinya atau seseorang, namun
dibentuk oleh keseluruhan lingkungan yang mengitarinya, seperti: pesantren, dan
lainnya.
Al Zastrouw
mengatakan bahwa Abdurrahman Wahid mengalami tiga lintasan budaya yang berbeda
dan membentuk karakter dan pemikirannya dalam kehidupan bermasyarakat. Pertama,
Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hirearkis,
tertutup dan penuh dengan etika yang serba formal. Kedua, dunia Timur
Tengah yang terbuka dan keras, Ketiga, budaya Barat yang Liberal,
rasional, dan sekuler.
Ketika menimba
ilmu bersama kyai chudlori di Tegalrejo, Abdurrahman wahid diperkenalkaan dalam
ritus-ritus sufi dan praktek-praktek ritual mistik secara mendalam. Dengan
menggunakan ritual dan waktu tertentu, misalnya dengan menggunakan perhitungan
hari Arab yang digabung dengan hitungan jawa seperti Jum’at Legi, ia mulai
melakukan ziarah ke beberapa kuburan keramat para wali di jawa dibawah
bimbingan kyai chudlori dan berlangsung kurang lebih dua tahun, setelah itu ia
kembali ke jombang dan menimba ilmu-ilmu keagamaan di pesantren kakeknya,
tambak berasdan beberapa pesantren terkemuka lainnya sebelum akhirnya ia
terbang ke timur tengah.
Walaupun ia
merasa jenuh ketika belajar di Mesir dan waktu yang ada ia gunakan untuk
membaca buku dan selebihnya nonton film, ada situasi yang menguntungkan dan
turut membentuk karakter perilaku Gus Dur. Dan dari sinilah Gus Dur menemukan
pemikiran-pemikiran muslim modern secara langsung di Mesir. Di Mesir pulalah ia
memperoleh paham sosialisme yang berbudaya. Gus Dur mengatakan bahwa
orang-orang Arab sering mempersoalkan sosialisme dari sudut budaya.
Kepindahannya
ke Universitas Baghdad, Irak ternyata menambah wacana pemikirannya. Ia
merasakan perbedaan yang lebih baik daripada ketika belajar di Mesir. Di
Baghdad masyarakat Arab klasik dikaji secara empiris dengan pisau metodologi
yang tajam. Disana ia juga mempelajari kesejarahan Islam di Indonesia,
disamping buku-buku besar karya orientalis Barat seperti karya Emile Durkheim
sehingga di sinilah bakat empirisme yang dimiliki tumbuh cepat dalam waktu yang
relatif singkat. Sementara itu, di luar Universitas, ia rajin mengunjungi
makam-makam keramat seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani, di samping
mempelajari ajaran Imam Junaid Al-Baghdadi, seorang pendiri tasawuf yang
diikuti oleh jamaah Nahdlatul Ulama. “Saya menemukan sumber spiritualitas
saya,” demikian komentar Abdurrahman Wahid.
Abdurrahman
Wahid berasal dan di besarkan dalam kelompok tradisionalis. Namun disebabkan
beberapa fase mobilitas intelektual yang dialaminya, ia relatif berhasil
membuat jarak antara sosok
intelektualitasnya dengan alam pemikiran sebagian besar para pendukung sayap
tradisionalis dan justru dengan itu, ia mampu melihat kelemahan-kelemahan kaum
modernis. Dalam posisinya yang semacam itulah, ia mampu membuat jarak
intelektual, baik dengan kaum tradisionalis, maupun dengan kaum modernis.
Dengan gaya
kontroversinya, Abdurrahman wahid mampu tampil menjadi top leader pembaharu
bagi lingkungan yang ia jalani. Walaupun demikian, pemikiran dan perilaku
kontroversialnya kerapkali mengundang banyak poertanyaan dan membuat banyak
orang bingung, sehingga menimbulkan persepsi yang berbeda terhadap sosok ini.
Kelompok-kelompok yang berada diluar jalur pemikirannya banyak yang menyatakan
bahwa pemikiran-pemikiran Abdurrahman wahid sebagai pemikiran tidak rasional
yang membahayakan, diluar kebenaran dan pantas untuk ditentang. Sikap dan
pemikiran kontroversialnya menyebabkan tidak sedikit kalangan islam dari
kalangan ini yang menyatakan bahwa Abdurrahman wahid adalah agen zionis, sosok
yang merusak pemahaman tentang islam.
Di sisi lain,
bagi mereka yang mencintai, mendukung dan bersama-sama dalam barisan
pemikirannya akan semakin kagum dan terbuai dalam irama pemikiran dan perilaku
Abdurrahman wahid, walau tanpa ia sadari
wacana pembelaan adalah suatu bentuk taklid buta. Bahkan lebih dari itu, mereka
yang tergolong sebagai pendukung “setia” tidak sedikit yang menyatakan dan
yakin bahwa sosok Abdurrahaman wahid merupakan auliya (waliyullah) yang
mempunyai ilmu laduni sehingga setiap ucapan dan perilakunya merupakan sebuah
keniscayaan.
Prinsip islam
tradisional yang dilakukan oleh Abdurrahman wahid dalam menghadapi dan
menyikapi persoalan-persoalan kemasyarakatan adalah sebuah prinsip klasik yang
diajarkan dalam organisasi Nahdlatul ‘Ulama yaitu doktrin ahlussunah wal
jama’ah yang dirumuskan antara lain dengan sikap tawassuth (moderat), tasamuh
(toleran) dan i’tidal (adil) dalam berinteraksi dengan orang lain. Atau
lebih spesifik lagi bahwa pemikiran dan perilaku Abdurrahman wahid sebagi sifat
neo-modernismenya diungkapkan oleh fachry Ali dan Bachtiar Effendi.
Dengan semangat
dan jiwa kebangsaannya, Abdurrahman wahid tampil sebagai seorang bangsawan yang
demokrat dan tidak terlalu mempersoalkan formalisme islam sebagai simbol perjuangan
politiknya. Dia beranggapan bahwa dalam dunia demokrasi, islam merupakan salah
satu bagian dalam proses perjalanan politik di Indonesia di samping unsur-unsur
lainnya.
Wacana
pemikiran yang dilontarkan Abdurrahman wahid sebetulnya merupakan wacana yang
bisa di sejajarkan dengan Bung Karno atau Bung Hatta, artinya perjuangan yang
dilakukannya merupakan perwujudan dari penegakan cita-cita kemerdekaan negara
indonesia. Namun, apabila dilihat dari sisinya sebagai seorang kyai dan di
sejajarkan dengan Mohammad Natsir, KH. Wahab Hasbullah, KH. Idgham Chalid, atau
juga mungkin ayahnya, KH. Wahid Hasyim dan politisi-politisi islam lainnya,
maka corak pemikirannya tentang islam dan negara menjadi sesuatu yang
kontroversial.
Abdurrahman Wahid
sering mengakui bahwa pemikiran dan gagasan-gagasannya tentang demokrasi
diilhami dari pemikiran Martin Luther King Jr, Mahatma Gandhi yang beragama
hindhu, Sulak Sivaraksa dari Thailand yang beragama Budha, atau Ali Abdul Roziq, yang hampir semua bukunya dilarang
dibaca di Mesir.
Tanpa
menafikan aspek-aspek pemikiran lainnya,
dari pemikiran diatas jelas terlihat bahwa pemikiran Abdurrahman wahid yang
digagas dalam kondisi riil masyarakat indonesia merupakan telaah panjang dan
akumulasi atas khasanah pemikiran tradisional, konservatif, eksklusif, dan
fundamentalis denagn pola pemikiran yang modern, moderat, inklusif dan
sekaligus liberal.[13]
3.
AMIEN RAIS DAN PEMIKIRANNYA
3.1.
Riwayat Hidup Amien Rais
Amien Rais yang
dikenal sebagai pakar politik ini lahir di solo, Jawa Tengah tanggal 26 April
1944. Ia merupakan putra kedua dari enam bersaudara. Ayahnya, Syuhud Rais
adalah seorang tokoh muhammadiyah di Surakarta yang menjadi kepala kantor
pendidikan agama depag Surakarta dan ibunya, Sudalmiyah yang merupakan seorang
guru juga selama 20 tahun menjabat sebagai ketua Aisyiyah Surakarta, organisasi
wanita Muhammadiyah.
Amien Rais
tumbuh dalam keluarga Muhammadiyah yang kental. pengalaman pada masa kecilnya
disolo berjalan sebagaimana pola asuh keluarga santri. Bocah kecil yang belum
baligh ini harus mulai menjalankan sholat 5 waktu dengan ketat. Ibunya,
sudalmiyah mengenalkan agama kepadanya sejak kecil dengan kewajiban amien rais
untuk bangun pukul 04.00 pagi guna menjalankan ibadah sholat shubuh.
Keluarga Syuhud
Rais merupakan keluarga yang menaruh perhatian yang sangat besar terhadap
pendalaman keagamaan dan menjunjung tinggi pendidikan.dalam bimbingan
orangtuanya, Amien Rais memulaai pendidikan formal pada sekolah dasar Muhammadiyah
solo dan lulus pada tahun 1956. Kemudian, ia disekolahkan di SMP Muhammadiyah
solo sambil belajar agama pada pesantren Mamba’ul Ulum dan pesantren Al Islam.
Setelah tamat SMP tahun 1959, Amie Rais melanjutkan pendidikan formalnya pada
SMA Muhammadiyah solo dan selesai pada tahun 1962.
Ketika hendak
melanjutkan study ke perguruan tinggi, ia memilih jurusan hubungan
internasional FISIP Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta. Ia juga merangkap
kuliah di fakultas tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun pendidikannya
di IAIN Sunan Kalijaga terpaksa tidak terselesaikan karena adakeputusan
pemerintah saat ini melarang mahasiswa berkuliah ganda.
Jenjang
pendidikan Amin Rais setelah menyelesaikan study sarjananya dari UGM pada tahun 1968 di tempuhnya di Amerika
Serikat. Ia mengikuti program pendidikan pasca sarjana di University of
Notre Dame, indiana, Amerika dengan
menekuni study tentang Uni Soviet dan eropa timur, dan selesai pada tahun 1974
dengan gelar M.A. selanjutnya ia mengikuti program dokter di politikal
science, University of chichago. Gelar Ph.D diraihnya melalui disertasi
dengan judul “The Moslem Brotherbood in Egypt: It Rise. Demise, and
Resurgence” (ikhwanul muslimin di mesir: kelahiran, keruntuhan dan
kebangkitan kembali).
Kontribusi
pemikiran Amin rais tampak terlihat dari banyaknya tulisan-tulisan yang telah
dibuatnya . umumnya karya tulisnya dituangkan dalam bentuk artikel, editing,
dan kata pengantar di berbagai buku.[14]
3.2. Aspek dan Pola
Pemikiran Amien Rais
Memahami
pemikiran Amien Rais bukanlah pekerjaan yang mudah. Untuk mengetahui dan
memahaminya, makaa kita tidak akan lepas dari perilaku daan sepak terjang yang
selama ini dilakukannya. Disamping melalui hasil karya ilmiyah yang sudah
banyak dihasilkannya selama ini. Seperti halnya
Abdurrahman Wahid.
Pendidikan
agama yang ditanamkan orang tua kepada dirinya telah membentuk pribadi Amin
Rais menjadi sosok yang teguh dan senantiasa berpegang pada islam sebagai
pondasi yang mengakar terhadap pemikiran serta segala aktivitas yang
dilakukannya.wacan dan pemikiran yang diperolehnya ketika belajar ibarat ia
elaborasikan dengan wacana keislaman yang sudah sangat mengental dalam dirinya,
sehingga lahirlah tokoh berpikiran modern yang akan merasa “gerah” tatkala
melihat sebuah kemungkaran.
Amien Rais
mengungkapkan bahwa menegakkan tugas kembar setiap manusia mukmin amar ma’ruf
nahi munkar merupakan wujud menciptakan masyarakat secara multidimensional,
dimana ketika hendak melakukan reaktualisasinya harus langsung merujuk kepada
Al-Qur’an, karena Al-Qur’an bagi orang beriman merupakan sosiologi kebenaran
(sociology of trut), yang berbeda dengan sosiologi kebenaran lainnya seperti
model libertarian, Marxiane, Humanis dan Eksistensialis dan lain- lainnya.[15]
4.
JALALUDDIN RAKHMAT DAN PEMIKIRANNYA
4.1.
Riwayat hidup Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin
Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Sehari-hari, kang Jalal sapaan
akrab pakar komunikasi ini mengasuh SMA Plus Muthahhari, sekolah model untuk
pembinaan akhlak. Meski swejak berdirinya Muthahhari dicurigai sebagai pelopor
gerakan syi’ah di Indonesia, kurikulumnya justru mengajarkan pemikiran seluruh
mahdzab. “Sya tidak mengajak orang masuk syi’ah. Disini kami mengajarkan
keterbukaan untuk menghadapi perbedaan di antara berbagai mahdzab.” Jelasnya
suatu ketika. Selain aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi, Kang
Jalal aktif berdakwah dan berkhidmat pada mustadafin. Ia membina jama’ah di
masjid-masjid dan tempat-tempat kumuh gelandangan. Belakangan, ia mendirikan
SMP Muthahhari di Cicalengka, khusus untuk siswa miskin.
Belum lama ini,
ia bersama sejumlah tokoh populer, antara lain, K.H. Abdurrahman Wahid, Prof.
Dr. Quraisy Shihab, hingga Dawam Rahardjo memperoleh atribut sesat lewat sebuah
buku berjudul Aliran-aliran Sesat. Cap sesat acap diletakkan di
keningnya barangkali karena kedekatannya dengan komunitas agama lain. Ia tidak
saja begitu toleran pada Ahmadiyah yang dianggap sesat oleh MUI, tapi juga
dengan umat lain. Cendikiawan yang belakangan dipanggil kiai ini kerap juga
sering diminta berbicara di gereja atau forum umat Kristiani.
4.2.
Pemikiran Jalaluddin Rakhmat
Dalam suatu wawancara, ia menuturkan, “Saya dilahirkan dalam
keluarga nahdliyin (orang-orang NU). Kakek saya punya pesantren di puncak bukit
Cicalengka. Ayah saya pernah ikut serta dalam gerakan keagamaan untuk
menegakkan syariat Islam. Begitu bersemangatnya, beliau sampai meninggalkan
saya waktu kecil dan bergabung dengan para pecinta syari’at. Saya selalu
berangkat ke kota untuk belajar, dan bergabung mula-mula dengan kelompok
Persatuan Islam (Persis) dan masuk kelompok diskusi yang menyebut dirinya Rijalul
Ghad, atau pemimpin masa depan. Pada saat yang sama, saya juga bergabung
dengan Muhammadiyah, dan di didik di Darul Arqam Muhammadiyah, dan pusat
pengkaderan Muhammadiyah. Dari latar belakang itu, saya sempat kembali ke
kampung untuk memberantas bidah, khufarat, dan tahayul. Tapi sebetulnya, yang
saya berantas adalah perbedaan fikih antara fikih Muhammadiyah dengan fikih NU
orang kampung saya. Misi hidup saya waktu itu saya rumuskan singkat: menegakkan
misi Muhammadiyah dengan memuhammadiyahkan orang lain.
“Tapi apa kemudian yang terjadi? Saya bertengkar dengan Uwa’(paman)
saya yang masih membina pesantren, dan penduduk kampung. Sebab, ketika semua
orang berdiri untuk salat qabliyah Jum’at, saya duduk secara demonstratif. Saya
hampir dipukuli karerna membawa fikih yang baru itu. Singkat cerita, melalui
pengalaman hidup, saya menemukan bahwa fikih hanyalah perbedaan pendapat para
ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu Al-Quran dan sunah. Hanya
saja, kemudian berkembang pendapat yang
berbeda-beda. Kekeliruan saya pada waktu itu berpikir bahwa fikih itu sama
dengan Al-Quran dan sunah. Artinya, kalau orang menentang Al-Quran dan sunah,
jelas dia kafir. Tapi kalau hanya menentang pendapat orang tentang Al-Quran dan
sunah, kita tidak boleh menyebutnya kafir. Itu perbedaan tafsiran saja. Karena
itulah ia berpikir bahwa yang mempersatukan perbedaan adalah akhlak. Dalam
bidang akhlak semua orang bisa bersetuju, apapun mahzabnya. Lalu ia mempunyai
pendirian: kalau berhadapan dengan perbedaan pada level fikih, ia akan
dahulukan akhlak. Kalau datang ke jama’ah NU yang qunut subuh, demi ukhuwah dan
memelihara akhlak ditengah-tengah saudara saya, saya akan ikut qunut, walau
saya misalnya orang Muhammadiyah yang tidak qunut. Tapi, ketika bergabung
dengan orang-orang Muhammadiyah, saya mungkin tidak qunut demi menghargai
jama’ah sekitar saya.” Refleksi dan perjalanan hidupnya itu menginspirasi Kang
Jalal untuk membangun jembatan ukhuwah sesama muslim, apapun mahzabnya.[16]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Indonesia adalah negara
yang beragam, baik itu dari sisi agama,
bahasa, budaya, adat-istiadat, pakaian maupun kebiasaan. Selain itu Indonesia
adalah negara berpenduduk muslim terbanyak di dunia, yang mana hal ini tentu
menyimpan banyak pertanyaan, khususnya bagi para pemerhati filsafat. perkembangan
filsafat Islam Indonesia sangat berkaitan dengan sejarah awal Islam masuk ke
Indonesia yang dalam teori umum selalu diperpegangi kuatnya daya tarik dari
luar Indonesia sendiri khususnya kawasan India dan Timur Tengah. bahkan menurut
studi yang dilakukan Azyurmardi Azra setidaknya ada dua teori, yaitu 'teori
perniagaan' dan 'teori sufi', akan tetapi nampaknya Azra lebih memegangi bahwa
'teori sufi'lah yang paling dominan dibanding 'teori perniagaan' dalam
pengembangan Islam di wilayah Nusantara tersebut.
Dalam perkembangannya Islam
Indonesia mempunyai macam
corak pemikiran. Diantanya Neo modernisme, yaitu pemikiran keislaman
yang menggabungkan dua aliran modernisme dan tradisionalisme, tokohnya adalah
Nurcholis Majid, Abdurrahman Wahid. Sosialisme demokrat, yaitu gerakan
yang melihat keadilan sosial dan demokrasi sebagai unsur pokok Islam. Tokoh-tokohnya:
Dawam Raharjo, Adi Sasono, Kuntowijoyo. Universalisme, gerakan pemikiran
Islam yang memandang Islam sebagai perangkat nilai alternatif dari kemerootan
nilai-nilai Barat. Tokoh-tokohnya adalah: Amien Rais, Jalaluddin Rahmat, dan
A.M. Saefudin. Neo revivalis, sering dikatakan dengan gerakan Ikhwan
al-Muslimin, dalam beberapa organisasi seperti Hamas, Hizbut Tahrir. Front
Pembela Islam(FPI) Majelis Mujahidin. Meski mereka berbeda-beda, tetapi secara
umum mereka adalah kelompok yang “menjaga jarak” dengan peradaban Barat, Barat
adalah musuh. Maka simbol-simbol identitas dan peradaban senantiasa digunakan
dalam kesadaran keberagamannya, misalnya berjenggot, bersorban, dan lain-lain.
B.
Saran dan Rekomendasi
Semua pemikiran tokoh pembaruan islam khususnya dalam makalah ini
menujukkan agar umat islam bisa lebih maju dan bisa menerima hal yang rasional
untuk menghadapi perkembangan manusia dan zaman pada saat ini, tapi yang perlu
kita garis bawahi apa yang telah dituangkan oleh para tokoh pembaru islam atau
gagasan-gagasan yang telah mereka buat harus bisa kita filter dan kritisi tidak
semata-semata harus kita telaah semua atau kita sepakati semua apa pendapat
mereka, dalam kata lain kita harus bisa mengambil hal yang baik, (secara
rasionalis dan agamis), ataupun sesuai dengan nilai-nilai islam, seperti halnya
semangat mereka dalam perubahan menuju yang lebih baik. Dan mengembalikan peran
manusia dibumi sebagai kholifah fil ardi, dan mengambil
kembali Keilmuan-keilmuan yang telah diukir oleh ulama-ulama terdahulu,
karena sesungguhnya ilmu pengetahuan itu yang membuat zaman ini berkembang.
DAFTAR PUSTAKA
Majid, Nurcholis. 1999. Islam, Kemodernan, dan
Keindonesiaan. Jakarta: Penerbit Mizan.
Rahmat,
Jalaluddin. 2006. Islam dan Pluralisme. Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta.
Saefulloh,
Aris. 2003. Gus Dur VS Amin Rais Dakwah Kultural-Struktural. Yokyakarta:
laelathinkers.
Sunanto,
Musyrifah. 2005. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Ya’qub, Ikhsan.
http://ikhsanyaqub.blogspot.com/2013/07/bentuk-bentuk-filsafat-islam-di.html.
Diakses
27 November 2014.
[1] Ikhsan Ya’qub.
http://ikhsanyaqub.blogspot.com/2013/07/bentuk-bentuk-filsafat-islam-di.html. Diakses 27
November 2014
[2] Karena Maulana Malik Ibrahim wafat pada
tahun 1419 M, maka pada tahun 1421 M dikirim seorang penyebar Islam baru yang
bernama AHMAD ALI RAHMATULLAH dari
Negeri Champa (sekarang daerah vietnam selatan) Beliau adalah anak SYEKH IBRAHIM ASMARAKANDI yang menjadi
menantu Sultan Campha. Pemilihan Ahmad Ali Rahmatullah yang nantinya sering
dipanggil RADEN RAHMAT dan kelak kita
kenal dengan nama Sunan Ampel. (Agus Sunyoto dalam diskusi
Atlas Walisongo Youtube)
[3] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 7-11
[4] Ibid., hlm.
256-257
[5] Ibid., hlm.
307-313
[7] Ibid., hlm.
172-173
[8] Ibid., hlm.
181-182
[10] Ibid., hlm.
192-193
[11] Ibid., hlm.
198-199
[12] Aris Saefulloh, Gus Dur VS
Amin Rais Dakwah Kultural-Struktural, (Yokyakarta:
laelathinkers, 2003), hlm. 65-69
[13] Aris
Saefulloh, Ibid., hlm. 74-94
[14] Aris
Saefulloh, Ibid., hlm. 95-97
[15] Aris
Saefulloh, Ibid., hlm. 99-107
[16] Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme,
(Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006), hlm. 5-9
EmoticonEmoticon