SUMBER-SUMBER
HUKUM ISLAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqh
Semester Ganjil Tahun
2015
Dosen pengampu : H. M. Ubaidillah, M.Si
1. Dzati
Afifah (2021114049)
2. Masruroh (2021114089)
3. Rusyani
Syahwono (2021114284)
4. Fatchurahman
Ali (2021114145)
Kelas:
Pendidikan
Agama Islam B
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
PEKALONGAN
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah
satu kelemahan yang dialami oleh umat Islamsaat ini adalah kecenderungan yang
sangat tinggi untuk memperlajari fiqh, namun mengabaikan ushul fiqh. padahal
ushul fiqh adalah akar dari fiqh. dengan mempelajari ushul fiqh akan lebih
mudah dan lebih mendalam dalam mempelajari fiqh, karena ushul fiqh merupakan
kerangka berpikir berupa kaidah-kaidah yang selalu digunakan dalam melahirkan
ijtihad fiqh. dengan demikian, ushul fiqh merupakan ilmu yang pokok dalam dalam
bingkai hukum islam yang penting untuk dipelajari.
Seperti yang kita ketahui bahwa
belajar itu adalah proses dan bertahap, begitu pula ketika kita belajar ushul
fiqh kita juga akan mempelajari poin demi poin. Salah satu poin yang dipelajari
dalam ushul fiqh adalah tentang sumber-sumber hukum Islam. Tidak hanya itu kajian ushul fiqh begitu luas diantaranya adalah
hukum syara’, dalil hukum syara’ dan usaha merumuskan hukum syara’ dari
sumbernya atau ijtihad dan yang berkenaan dengannya.tapi kali ini kita hanya
akan terfokus untuk memperdalam tentang sumber-sumber hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan sumber hukum?
2.
Apakah yang dimaksud dengan Al-Qur’an?
3.
Apakah yang dimaksud dengan As-Sunnah?
4.
Apakah yang dimaksud denganIjma’?
5.
Apakah yang dimaksud denganQiyas?
C.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Sumber Hukum Islam
Makna sumber hukum adalah persoalan polemik antara ahli ilmu
tashawuf dan ahli fiqh. Ahli tashawuf
berpendapat bahwa sumber hukum, secara hakiki adalah Allah, sementara
ahli fiqh berpendapat bahwa sumber hukum itu adalah Al-Qur’an sebagai dalil
hukum. Senada dengan pikiran tersebut, Jaih Mubarok menegaskan bahwa:“...
Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-Qur’an bukan sumber hukum,
tetapi dalil hukum. Pendapat ini saya ungkapkan karena saya khawatir
kalau Al-Qur’an dijadikan sumber hukum akan melahirkan kecenderungan adanya
pengabaian terhadap eksistensi Allah. Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat
teologis. Dengan demikian, terdapat tiga tema yang berhubungan dengan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum, Allah berfirman tanpa suara dan huruf sebagaimadlul, dan
mushaf Al-Qur’an yang beredar di masyarakat yang ditulis dengan suara dan
huruf adalah dalil hukum. Apabila
terpaksa kita mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum, yang dimaksud
sumber disana dalam artian majazi.”
Sumber
hukum yang bersifat wahyu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hukum
bersifat ijtihadi diantaranya adalah ijma’, qiyas, istihsan, maslalah
mursalah,dan lainnya. Adapun kehadiran ijma’ berfungsi sebagai petunjuk atau
argumen (dalil) tentang eksistensi dan fungsi As-Sunnah. Disamping itu,
kehadiran akal menjadi penting pula sebagai penegas mengenai tidak adanya hukum
apabila tidak terdapat keterangan dari ketiga sumber hukum itu. Walaupun hukum Islam
dari segi sumbernya dapat dibedakan beberapa macam, semuanya berfungsi sebagai
petunjuk (dalil), tentang ada atau tidak adanya suatu hukum.[1]
B.
Sumber-Sumber Hukum Islam
1.
Al Qur’an
Secara bahasa kata اْلقُرْآنُ
terambil dari kata قَرَاَ . bentuknya sepola
dengan kata فُعْلَان seperti kata اْلغُفْرَانُ.
Penambahan huruf alif dan nun berfungsi untuk menunjukkan
kesempurnaan. maka secara bahasa kata اْلقُرْآنُ
bukan sekedar bacaan (قِرَاءةٌ),
tetapi bacaan yang sempurna.
Secara istilah, Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat jibril dengan lafadz berbahasa Arab
dengan makna yang benar sebagai hujah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup,
dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan di
akhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya.
Al-Qur’an diturunkan pertama kali di Kota Mekkah tepatnya di Gua
Hira pada tahun 611 M dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M dalam rentang
waktu 22 tahun beberapa bulan. Berdasarkan terjemah Departemen Agama RI.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Berdasarkan turunnya Al-Qur’an terbagi menjadi dua yaitu ayat Makiyah dan ayat
Madaniyah.Al-Qur’an juga disebut sebagai mu’jizat. Al-Qur’an juga memiliki
keotentikan dan keorisinalan yang terjamin dari mulai diturunkannya sampai
sekarang, hal ini berarti bahwa tidak ada perubahan baik berupa pengurangan
maupun penambahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Maka tidak ada keraguan
terhadap kebenaran dan keaslian Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan hujjah dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai
undang-undang yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia karena Al-Qur’an
diturunkan dari Allah SWT, disampaikan kepada manusia dengan jalan yang pasti
dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada campur tangan
manusia. Hal ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang
membuat manusia tidak mampu untuk mendatangkan semisalnya.
Al-Qur’an disebut juga al-Kitab sebagaimana tersebut dalam surat
al-Baqarah ayat 2:
ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ
فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ (البقرة ٢).
“Kitab
(Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Dalil lain yang
menunjukkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum adalah QS Al-Maidah ayat 48:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ
مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ
فَاحْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا
جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ
وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن لِّيَبْلُوَكُمْ
فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ
جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَÇÍÑÈ
Dan Kami
telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang
sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian
terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa
yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat
diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah
menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak
menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (Al Maidah, 48)
Dasar dari hadits yang menunjukkan bahwa Al Qur’an adalah sumber pertama
dalam menetapkan sebuah hukum syar’i adalah hadits Mu’adz ibn Jabal sewaktu
diutus Nabi pergi ke Yaman, Nabi berkata kepadanya: “Dengan apa engkau
memutuskan (sebuah permasalahan)??”, Mu’adz berkata: “Aku memutuskan (suatu perkara)
dengan Al Qur’an”, Nabi berkata: “Jika engkau tidak menemukan (dalil di
dalamnya)??”, Mu’adz berkata: “Aku memutuskan (suatu perkara) dengan sunnah
rosul”, Nabi berkata: “Jika engkau tidak menemukan (dalil di dalamnya)??”,
Mu’adz berkata: “Aku putuskan dengan pendapatku”.[2]
Dalam hadits tersebut, kita dapat mengetahui tentang mekanisme penetapan sebuah
hukum syar’i, dan Al Qur’an adalah rujukan pertama dalam menetapkan hukum, baru
kemudian Al Hadits dan disusul ijtihad atau pendapat.
2.
As-Sunnah
Sunnah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepakati)
setelah Al-Qur’an. Dalil yang menunjukkan Sunnah sebagai sumber hukum adalah
QS. An-Nisa’ ayat 59 berikut :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ .....ÇÎÒÈ
Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya)
(An Nisa’, 59).
مَّن
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا (النساء ٨٠)
Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.(an Nisa’ 80)
Kata sunnah (سُنَّةُ) berasal dari bahasa Arab yang terbentuk dari kata سَنَّ, يَسُنُّ. yang artinya jalan atau cara. Adapun
menurut Abu Zahra Sunnah berarti “perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi”.
a.
Sunnah
Qauliyah
Sunnah qauliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibanding
sunah fi’liyah dan taqririyah. Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam berbagai
kondisi yang didengar oleh sahabat dan disampaikan kepada orang lain.
Dalam sunah qauliyah terdapat permasalahan yang tampaknya perlu
dipertegas karena ada dua bentuk yang dapat keluar dari lisan Nabi. Pertama
bisa berupa perkataan Nabi (sunah qauliyah) bisa juga berupa ayat al-Qur’an
untuk membedakan apakah itu qauliyah atau al-Qur’an maka dapat diteliti, jika
benar yang keluar dari lisan Nabi itu al-Qur’an, maka biasanya Nabi menyuruh
sahabatnya untuk menghafal, menulis, dan mengurutkannya sesuai denganpetunjuk
Allah. Jika keluar lisan Nabi ini berupa sunah qauliyah, maka nabi melarang
untuk menuliskannya karena khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an.
Contoh Sunah
Qauliyah :
انّما اعمل بالنّية .١
امّتي لا تجتمع على خطأ .٢
لاضرر ولاضرار .٣
b.
Sunnah
Fi’liyyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan
diperhatikan oleh sahabat Nabi semuanya
disebut sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi bisa beraneka ragam bentuknya.
Hal ini, dapat dilihat dari kedudukan Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan
Allah.
Pertama, perbuatan
Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan oleh manusia pada umumnya
seperti cara makan dan minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara
jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia
biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu
dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tetapi sebagian ulama
yang lain, mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak
berdampak hukum dengan demikian tidak harus diikuti.
Kedua,perbuatan Nabi
yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak wajib bagi umatnya seperti
Nabi wajib shalat Dhuha, tahajud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan
tersebut tidaklah wajib. Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya
boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan Nabi
yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an seperti tentang
cara shalat, puasa, haji, jual-beli, dan utang piutang. Maka semua perbuatan
itu berdampak kepada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi tetapi juga bagi
umatnya.
c.
Sunnah
Taqririyyah
Maksudnya adalah sikap Nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnya
berupa perbuatan dan ucapan sahabat. Sikap Nabi itu adakalnya dengan cara
mendiamkannya, tidak menunjukkan tanda-tanda mengingkari atau menyetujuinya atau
melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan Nabi
yang hukumannya boleh dilakukan. Contoh, ketika Nabi mendiamkan orang yang
memakan binatang dhab (sebangsa biawak). Dengan sikap diam Nabi itu
berarti boleh hukumnya makan daging tersebut. Karena seandainya haram niscaya
Nabi tidak diam, pasti beliau melarangnya. Contoh lain, ketika Nabi menepuk
dada Muadz bin Jabal setelah diutus oleh Nabi ke negeri Yaman yang menandakan
bahwa Nabi membenarkan semua yang dikatakan oleh Muadz bin Jabal seraya berkata
“segala puji hanya milik Allah yang telah meberikan pertolongan kepada
utusan Rasul-Nya”.
3.
Ijma’
Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu
bentuk masdar dari kata اَجْمَعَ، يُجْمِعُ، اِجْمَاعُ ,
yang memiliki banyak arti diantaranya: ketetapan hati atau keputusan untuk
melakukan sesuatu dan sepakat. Adapun secara istilah, Ijma’ adalah
“kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasul
terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus”. Dari definisi tersebut ada beberapa
kata kunci yang harus diperjelas :
a.
Semua
Mujtahid, artinya bahwa ijma’itu harus disepakati semua mujtahid. Tidak ada
diantara mereka yang menolaknya.
b.
Sesudah
nabi wafat, artinya bahwa pada masa Nabi masih hidup tidak ada ijma’.Karena
segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung oleh Nabi.
c.
Hukum
Syara’, artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada masalah hukum amaliah
(syara’) dan tidak masuk kepada masalah akidah.
Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa kedudukan ijma’ menempati salah
satu sumber atau dalil hukumsesudah al-Quran dan Sunnah. diantara dalil yang
menunjukkannya adalah:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا (العمران ١٠٣)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai berai...(al Imron 103)
Adapun
dari dalil sunnah adalah :
امّتي لا تجتمع
على الخطأ. امّتي لا تجتمع على الضّلالة. لم يكن الله بالذي يجمع على الضّلالة. لم
يكن الله ليجمع امّتي على الخطأ
Umatku tidak akan sepakat melakukan kesalahan. Umatku tidak akan
sepakat melakuka kesesatan. Allah tidak akan membuat umatku sepakat untuk
melakukan kesesatan. Allah tidak akan membuat umatkusepakat untuk melakukan
kesalahan.
Menurut mayoritas ulama’ kedudukan ijma’ sebagai dalil bersifat qath’iy.
Karena itu, jika terjadi ijma’ atas hukum suatu persoalan maka hukum tersebut
pun bersifat qath’iy dan tidak boleh ada seorang pun yang
menyelisihkannya. Dengan telah terjadinya ijma’ mengenai hukum satu persoalan
maka persoalan tersebut tidak boleh lagi menjadi obyek ijtihad. Bahkan sebagia
ulama’ mengatakan bahwa orang yang mengingkari ijma’ menjadi kafir. (Al-Razi, al
Mahsul., 790)
Posisi ijma’ sebagai sumber hukum didasari oleh nas
al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ .... (٥٩)
Lafal ulil amri mengandung dua pengertian sebagaimana
tafsir Ibnu Abbas:
1. penguasa dunia seperti raja, presiden, atau
umara.
2. penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan
ahli fatwa agama.
Maka dapat disimpulkan :
1.
Ijma’
bukanlah sumber hukum, namun dalil hukum bagi mereka yang tidak
berijtihad. Pada saat berijtihad, para mujtahid mendasarkan pada dalil-dalil
lain.
2.
Kedudukan
Ijma’ tidak bersifat qath’iy dan hukum yang telah di sepakati pun
tidak qathiy sehinga mungkin untuk ditinjau ulang.
3.
Terjadinya
Ijma’ atas hukum suatu persoalan hanyalah klaim belaka karena tidak
didukung oleh bukti yang menunjukkan terjadinya Ijma’ tersebut.
Contoh Ijma’ Klasik :
a. Pembagian hasil bumi Irak dan tanah taklukan lainnya yang merupakan
Ghanimah pada masa khalifah Umar bin Khattab.
b.
Wajib
memiliki khalifah ( pemimpin ) dengan
tenggang waktu 3 hari sebelum masa kepemimpinan sebelumnya habis.
c. kesepakatan
para ulama’ tentang keharaman menikahi nenek dan cucu perempuan berdasarkan QS.
An-Nisa’ ayat 23. Para ulama’ sepakat bahwa kata ummahat (para ibu)
dalam ayat tersebut mencakup ibu kandung dan nenek, sedangkan kata banat (anak-anak
wanita) dalam ayat tersebut mencakup anak perempuan dan cucu perempuan.
Contoh Ijma’ Kontemporer:
a.
Hukum halalnya Rajungan dan haramnya kepiting (mbah
kholil bangkalan disetujui oleh ulama yang hadir).
b.
Fatwa MUI tentang pelarangan rokok untuk ibu hamil dan anak-anak.
c.
Penetapan satu syawal dan awal ramadhan. Dalam siding isbat dihadiri oleh beberapa ormas Islam yang berasal dari berbagai aliran dan daerah, pemimpin adat, MUI dan dipimpin oleh Kementrian Agama RI.
4.
Qiyas
Dilihat dari segi bahasa, kata اْلقِيَاسُ
berasal dari bahasa Arab, bentuk masdar dariقَاسُ,
تَقِيْسُ، قِيَاسًا artinya mengukur dan membandingkan sesuatu dengan
semisalnya.Adapun menurut istilah syara’, adalah“Menghubungkan suatu
perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkara lain yang ada nas hukumnya
karena ada persamaan illat”.Dengan demikian, Qiyas merupakan metode
penentuan hukum. Dalam metode ini terdapat empat unsur, yaitu :
a.
Al-Asl
(Asal), yaitu persoalan yang telah
dijelaskan hukumnya dalam nass.
b.
Al-Far’
(Cabang), yaitu persoalan yang belum
dijelaskan hukumnya dalam nass dan hendak dicari hukumnya.
c.
Hukm
al-asl, yaitu hukum persoalan yang telah
dijeaskan dalam nass.
Dasar al Qur’an yang menunjukkan qiyas sebagai dalil hukum adalah
QS al Hasyr ayat 2:
فَاعْتَبِرُوا
يَا أُولِي الْأَبْصَارِ...
Maka ambillah
(kejadian itu) untuk menjadi ibarat, hai orang-orang yang mempunyai pandangan (al Hasyr ayat
2).
Dalil dari
Sunnah yang dikemukakan oleh Jumhur ulama’ argumentasi bagi penggunaan qiyas
adalah:
Hadits mengenai percakapan Nabi dengan Muadz ibn Jabbal, saat ia
diutus ke Yaman untuk menjadi penguasa disana. Nabi bertanya, “Dengan cara apa
engkau menetapkan hukum seandainya kepadamu diajukan sebuah perkara?” Muadz
menjawab, “Saya menetapkan hukum berdasarkan Kitab Allah.” Nabi bertanya lagi,
“Bila engkau tidak menemukan hukumnya dalam kitab Allah?” Jawab Muadz, “Dengan
sunnah rasul” Nabi bertanya lagi, “Kalu dalam sunnah juga tidak engaku
temukan?” Muadz menjawab “ Saya akan menggunakan ijtihad dengan nalar saya. “
Nabi bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepadautsan
Allah dengan apa yang diridhai Rasul Allah.”
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum
syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.
Jumhur
Ulama menjadikan qiyas sebagai dalil hukum syara’. mereka menggunakan qiyas
dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran, sunnah, dan ijma’
ulama. mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan tidak melampaui
batas kewajaran.
2.
Kelompok
ulama Zhahiriah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak penggunaan qiyas secara
mutlak. zahiriah juga menolak penemuan ‘illat atas suatu hukum dan menganggap
tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu hukum syara’.
3.
Kelompok
yang meggunakan qiyas secara luas dan mudah. mereka pun berusaha mengabungkan
dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, kadang-kadang
memberi kekuatan yang lebih tingi terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat
membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau sunnah.[4]
Contoh Qiyas Klasik :
a. Harta anak wajib dikeluarkan zakat disamakan dengan harta dewasa.
Menurut syafei karena sama-sama dapat tumbuh dan berkembang, dan dapat,
menolong fakir miskin.
b. Makruhnya Jual beli waktu adzan. Karena illat melalaikan salat, makagadai,
sewa dll. makruh, diqiyaskan dengan jual beli.
c. Pembunuhan ahli waris terhadap orang yang mewariskan. Hadis: “orang
yang membunuh tidak memperoleh bagian harta pusaka”, karena illat menyegerakan
sesuatu sebelum waktunya, maka ia dihukum tidak dapat bagian. Pembunuhan penerima wasiat terhadap orang yang member wasiat dihukum sama.
Contoh Qiyas Kontemporer:
a.
Setiap
minuman yang memabukan co mensen, sabu-sabu dll disamakan dengan khamar, ilatnya
sama-sama memabukan.
b.
Mengatakan
telmi kepada ortu disamakan dengan membentak dan ah, karena ilatnya sama-sama
menyakiti dengan ucapan.
c.
Korupsi sama saja dengan mencuri.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-Qur’an bukan sumber
hukum, tetapi dalil hukum.karena dikhawatirkan kalau Al-Qur’an dijadikan
sumber hukum akan melahirkan kecenderungan adanya pengabaian terhadap
eksistensi Allah. Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat teologis.Apabila kita
terpaksa kita mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum, yang dimaksud
sumber disana dalam artian majazi.
Dalil syara’ dilihat dari aspek kesepakatannya dibagi menjadi dua
yaitu dalil syara’ yang disepakati (Muttafaq) dan dalil syara’ yang
tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil syara’ yang disepakati ada empat
yaitu, Al-Qur’an. As-Sunah, Ijma’ dan Qiyas.Adapun Dalil syara’ yang tidak
disepakati (diperserlisihkan) s ada tujuh yaitu, istihsan, mashalah mursalah,
istishab, urf, mazhab sahabi, syar’u man qablana, dan saddu al-zariat.
DAFTAR PUSTAKA
Khollaf, Abdul Wahhab. Taariikhut
tasrii’il islaamy. Surabaya
:Alharomayn
Shidiq, Sapiudin. 2011.Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Supriadi, Dedi.
2013.Ushul Fiqh Perbandingan. Bandung: CV Pustaka Setia
Syarifuddin,
Amir. 2008. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Kharisma Putra Utama
[1]Dedi Supriadi, Ushul
Fiqh Perbandingan, (Bandung: CV Pustaka Setia,2013), hlm.135-136
[2]Abdul Wahhab
Khollaf, Taariikhut tasrii’il islaamy, (Alharomayn, Surabaya) hlm 34.
[3] Sapiudin
Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana,2011), hlm.26
[4]Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Kharisma Putra Utama, 2008), hlm.
323-324
EmoticonEmoticon