BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Salah satu kelemahan yang dialami oleh umat Islam saat ini adalah
kecenderungan yang sangat tinggi untuk memperlajari fiqh, namun mengabaikan
ushul fiqh. padahal ushul fiqh adalah akar dari fiqh. dengan mempelajari ushul
fiqh akan lebih mudah dan lebih mendalam dalam mempelajari fiqh, karena ushul
fiqh merupakan kerangka berpikir berupa kaidah-kaidah yang selalu digunakan
dalam melahirkan ijtihad fiqh. dengan demikian, ushul fiqh merupakan ilmu yang
pokok dalam dalam bingkai hukum islam yang penting untuk dipelajari.
Seperti yang
kita ketahui bahwa belajar itu adalah proses dan bertahap, begitu pula ketika
kita belajar ushul fiqh kita juga akan mempelajari poin demi poin. Salah satu
poin yang dipelajari dalam ushul fiqh adalah tentang sumber-sumber hukum. Tidak
hanya itu kajian ushul fiqh begitu luas
diantaranya adalah hukum syara’, dalil hukum syara’ dan usaha merumuskan hukum
syara’ dari sumbernya atau ijtihad dan yang berkenaan dengannya. tapi kali ini
kita hanya akan terfokus untuk memperdalam tentang sumber-sumber hukum Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dengan sumber hukum?
2.
Apakah yang dimaksud dengan Al-Qur’an?
3.
Apakah yang dimaksud dengan As-Sunnah?
4.
Apakah yang dimaksud dengan Ijma’?
5.
Apakah yang dimaksud dengan Qiyas?
C.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM
Makna sumber hukum adalah persoalan polemik antara ahli ilmu
tashawuf dan ahli fiqh. Ahli tashawuf
berpendapat bahwa sumber hukum, secara hakiki adalah Allah, sementara
ahli fiqh berpendapat bahwa sumber hukum itu adalah Al-Qur’an sebagai dalil
hukum. Senada dengan pikiran tersebut, Jaih Mubarok menegaskan bahwa: “...
Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-Qur’an bukan sumber hukum,
tetapi dalil hukum. Pendapat ini saya ungkapkan karena saya khawatir
kalau Al-Qur’an dijadikan sumber hukum akan melahirkan kecenderungan adanya
pengabaian terhadap eksistensi Allah. Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat
teologis. Dengan demikian, terdapat tiga tema yang berhubungan dengan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum, Allah berfirman tanpa suara dan huruf (bi shaut wa
harf) sebagai madlul, dan mushaf Al-Qur’an yang beredar di
masyarakat yang ditulis dengan suara dan huruf (bi shaut wa harf) adalah
dalil hukum. Apabila kita terpaksa kita mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah sumber hukum, yang dimaksud sumber disana dalam artian majazi.”
Sumber hukum yang bersifat wahyu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah,
sedangkan hukum bersifat ijtihadi diantaranya adalah ijma’, qiyas, istihsan,
maslalah mursalah, dan lainnya. Wahyu adalah sumber utama dan utama. Menurut
Al-Ghazali, maksud wahyu sebagai sumber utama disini adalah Al-Qur’an,
sementara As-Sunnah, sekalipun sifatnya wahyu, hanya berfungsi sebagai hukum
penjelas atau pemberita (mukhbir) tentang hukum Allah. Adapun kehadiran
ijma’ berfungsi sebagai petunjuk atau argumen (dalil) tentang eksistensi dan
fungsi As-Sunnah. Disamping itu, kehadiran akal menjadi penting pula sebagai
penegas mengenai tidak adanya hukum apabila tidak terdapat keterangan dari
ketiga sumber hukum itu. Walaupun hukum Islam dari segi sumbernya dapat
dibedakan beberapa macam, semuanya berfungsi sebagai petunjuk (dalil),
tentang ada atau tidak adanya suatu hukum. Oleh karena itu, semuanya disebut
sebagai dalil-dalil utama hukum (adillah al-ahkam).[1]
B.
DALIL SYARA’ YANG DISEPAKATI DAN TIDAK DISEPAKATI
Dalil syara’ dilihat dari aspek kesepakatannya dibagi menjadi dua
yaitu dalil syara’ yang disepakati (Muttafaq) dan dalil syara’ masih
diperselisihkan (mukhtalaf) :
a.
Sumber Hukum Islam yang Muttafaq (Disepakati)
1.
Al Qur’an
Secara bahasa kata اْلقُرْآنُ terambil dari kata قَرَاَ . bentuknya sepola
dengan kata فُعْلَان seperti kata اْلغُفْرَانُ. Penambahan huruf alif
dan nun berfungsi untuk menunjukkan kesempurnaan. maka secara bahasa
kata اْلقُرْآنُ bukan sekedar bacaan (قِرَاءةٌ), tetapi bacaan yang
sempurna.
Secara istilah, Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang diturunkan oleh
Allah kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat jibril dengan lafadz berbahasa Arab
dengan makna yang benar sebagai hujah bagi Rasul, sebagai pedoman hidup,
dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-Fatihah dan di
akhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya.
Al-Qur’an diturunkan pertama kali di Kota Mekkah tepatnya di Gua
Hira pada tahun 611 M dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M dalam rentang
waktu 22 tahun beberapa bulan. Berdasarkan terjemah Departemen Agama RI.
Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Berdasarkan turunnya Al-Qur’an terbagi menjadi dua yaitu ayat Makiyah dan ayat
Madaniyah. Al-Qur’an juga disebut sebagai mu’jizat. Al-Qur’an juga memiliki
keotentikan dan keorisinalan yang terjamin dari mulai diturunkannya sampai
sekarang, hal ini berarti bahwa tidak ada perubahan baik berupa pengurangan
maupun penambahan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an. Maka tidak ada keraguan
terhadap kebenaran dan keaslian Al-Qur’an.
Al-Qur’an merupakan hujjah
dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai undang-undang yang harus diikuti dan
ditaati oleh manusia karena Al-Qur’an diturunkan dari Allah SWT, disampaikan
kepada manusia dengan jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang
kebenarannya tanpa ada campur tangan manusia. Hal ini mengandung arti bahwa
Al-Qur’an merupakan mu’jizat yang membuat manusia tidak mampu untuk
mendatangkan semisalnya.
2.
As-Sunnah
Sunnah
merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepakati) setelah Al-Qur’an. Kata
sunnah (سُنَّةُ) berasal dari bahasa Arab yang terbentuk
dari kata سَنَّ, يَسُنُّ. yang artinya jalan atau cara. Adapun
menurut Abu Zahra Sunnah berarti “perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi”.
a.
Sunnah Qauliyah
Sunnah qauliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibanding
sunah fi’liyah dan taqririyah. Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam
berbagai kondisi yang didengar oleh sahabat dan disanpaikan kepada orang lain.
Dalam sunah qauliyah terdapat permasalahan yang tampaknya perlu
dipertegas karena ada dua bentuk yang dapat keluar dari lisan Nabi. Pertama
bisa berupa perkataan Nabi (sunah qauliyah) bisa juga berupa ayat al-Qur’an
untuk membedakan apakah itu qauliyah atau al-Qur’an maka dapat diteliti, jika
benar yang keluar dari lisan Nabi itu al-Qur’an, maka biasanya Nabi menyuruh
sahabatnya untuk menghafal, menulis, dan mengurutkannya sesuai denganpetunjuk
Allah. Jika keluar lisan Nabi ini berupa sunah qauliyah, maka nabi melarang
untuk menuliskannya karena khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an.
b.
Sunnah Fi’liyyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan
diperhatikan oleh sahabat Nabi semuanya
disebut sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi bisa beraneka ragam bentuknya.
Hal ini, dapat dilihat dari kedudukan Nabi sebagai manusia biasa dan sebagai utusan
Allah.
Pertama, perbuatan
Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah dikerjakan oleh manusia pada umumnya
seperti cara makan dan minum, berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara
jenggot dan mencukur kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia
biasa. Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu
dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tetapi sebagian ulama
yang lain, mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan Nabi seperti itu tidak
berdampak hukum dengan demikian tidak harus diikuti.
Kedua, perbuatan
Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi tidak wajib bagi umatnya
seperti Nabi wajib shalat Dhuha, tahajud, dan berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan
tersebut tidaklah wajib. Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya
boleh lebih dari empat.
Ketiga, perbuatan
Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang terkandung dalam al-Qur’an seperti
tentang cara shalat, puasa, haji, jual-beli, dan utang piutang. Maka semua
perbuatan itu berdampak kepada pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi tetapi
juga bagi umatnya.
c.
Sunnah Taqririyyah
Maksudnya
adalah sikap Nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnya berupa perbuatan dan
ucapan sahabat. Sikap Nabi itu adakalnya dengan cara mendiamkannya, tidak
menunjukkan tanda-tanda mengingkari atau menyetujuinya atau melahirkan anggapan
baik terhadap perbuatan itu dianggap sebagai perbuatan Nabi yang hukumannya
boleh dilakukan. Contoh, ketika ketika Nabi mendiamkan orang yang memakan
binatang dhab (sebangsa biawak). Dengan sikap diam Nabi itu berarti
boleh hukumnya makan daging tersebut. Karena seandainya haram niscaya Nabi
tidak diam, pasti beliau melarangnya. Contoh lain, ketika Nabi menepuk dada
Muadz bin Jabal setelah diutus oleh Nabi ke negeri Yaman yang menandakan bahwa
Nabi membenarkan semua yang dikatakan oleh Muadz bin Jabal seraya berkata “segala
puji hanya milik Allah yang telah meberikan pertolongan kepada utusan Rasul-Nya”.
3.
Ijma’
Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu
bentuk masdar dari kata اَجْمَعَ،
يُجْمِعُ، اِجْمَاعُ , yang memiliki banyak
arti diantaranya: ketetapan hati atau keputusan untuk melakukan sesuatu
dan sepakat. Adapun secara istilah, Ijma’ adalah “kesepakatan
semua imam mujtahid pada suatu masa setelah wafatnya Rasul terhadap hukum
syara’ mengenai suatu kasus”. Dari definisi tersebut ada beberapa kata kunci yang harus
diperjelas :
a.
Semua Mujtahid, artinya bahwa ijma’itu harus disepakati semua
mujtahid. Tidak ada diantara mereka yang menolaknya.
b.
Sesudah nabi wafat, artinya bahwa pada masa Nabi masih hidup tidak
ada ijma’.Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung oleh Nabi.
c.
Hukum Syara’, artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada masalah
hukum amaliah (syara’) dan tidak masuk kepada masalah akidah.
Para ulama sepakat bahwa ijma’ merupakan salah satu sumber
hukum dalam islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-Qur’an dan sunah. Tak
ada ulama yang menolak keberadaan ijma sebagai sumber hukum. posisi ijma’
sebagai sumber hukum didasari oleh nas al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ .... (٥٩)
lafal ulil amri mengandung dua
pengertian sebagaimana tafsir Ibnu Abbas:
1. penguasa dunia sperti raja, presiden, atau
umara.
2.
penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa
agama.
4.
Qiyas
Dilihat dari segi bahasa, kata اْلقِيَاسُ berasal dari bahasa
Arab, bentuk masdar dariقَاسُ,
تَقِيْسُ، قِيَاسًا artinya
mengukur dan membandingkan sesuatu dengan semisalnya.
Adapun menurut istilah syara’, adalah “Menghubungkan suatu
perkara yang tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkara lain yang ada nas hukumnya
karena ada persamaan illat”. Dari definisi diatas dapat ditarik beberapa
poin penting :
a.
Ada dua kasus yang mempunyai illat yang sama.
b.
Kasus yang lama sudah ada hukumnya berdasarkan nas. Adapun hukum
yang baru (cabang) belum ada nasnya.
c.
Antara hukum yang lama dan hukum yang baru masing-masing memiliki
sebab yang yang sama. [2]
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum
syara’, Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
1.
Jumhur Ulama menjadikan qiyas sebagai dalil hukum syara’. mereka
menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash al-Quran,
sunnah, dan ijma’ ulama. mereka menggunakan qiyas secara tidak berlebihan dan
tidak melampaui batas kewajaran.
2.
Kelompok ulama Zhahiriah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak
penggunaan qiyas secara mutlak. zahiriah juga menolak penemuan ‘illat atas
suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan ditetapkannya suatu
hukum syara’.
3.
Kelompok yang meggunakan qiyas secara luas dan mudah. mereka pun
berusaha mengabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara
keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tingi terhadap qiyas,
sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian ayat al-Qur’an atau
sunnah.[3]
b.
Dalil hukum yang diperselisihkan (Mukhtalaf)
1.
Istihsan
Istihsan adalah
berpindahnya seorang mujtahid dari qiyas jali (jelas) kepada qiyas khafi
(samar), atau mejtahid beralih dari apa yang dituntut oleh nas yang umum kepada
hukum yang bersifat khusus atau mujtahid berpindah dari hukum kulli
(umum) kepada hukum pengecualian dikarenakan adanya dalil yang membenarkannya.
Contoh: hukum air yang dijilat oleh burung buas (seperti elang dan
gagak). Nas syara’ tidak menyebutkan hukumnya. Cara yang bisa digunakan
oleh ulama adalah adalah dengan memakai qiyas dengan demikian air bekas
jilatan burung buas hukumnya tidak bersih karena di-qiyas-kan bekas
jilatan binatang buas. Karena ada persamaan illat, yaitu dagingnya haram untuk
dimakan, maka air liurnya pun dianggap tidak bersih. Jika menggunakan istihsan
(qiyas kahfi) maka hukum air yang bekas jilatan burung buas itu bersih.
Dalam hal ini, karena burung buas tidak di-qiyas-kan kepada binatang
buas tetapi di-qiyas-kan kepada burung biasa.
Kehujjahan istihsan, terdapat dua kelompok ulama, pertama, kelompok
ulama yang menerima yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, dan Hambali. Kedua,yang
menolak adalah Imam Muhammad Ibn Idris al-Syafi’i (Imam Syafi’i).
2.
Mashlahah Mursalah
Kata mashlahah berarti kepentingan hidup manusia. Prinsipnya
adalah menarik manfaat dan menghindarkan kerusakan dalam upaya memelihara
tujuan hukum yang lepas dari ketetapan dalil syara’. Mashlahah Mursalah
dapat dijadikan dasar dalam menetapkan hukum bila:
1.
Penetapan hukum terhadap masalah benar-benar memberi manfaat dan
menghindarkan mudharat.
2.
Masalah itu bersifat umum, bukan kepentingan perseorangan, tetapi
bermanfaat untuk orang banyak.
3.
Masalah itu tidak bertentangan dengan nash dan terpenuhinya
kepentingan hidup manusia serta terhindar dari kesulitan.
Kehujjahannya, ada ulama yang menerima yaitu Imam Malik dan
pengikutnya dan ada yang menolak yaitu Imam Hanafi, dan Imam Syafi’i.
3.
Istishab
Istishab adalah
menjadikan ketetapan hukum yang ada tetap berlaku hingga ada ketentuan dalil
yang mengubahnya. Istishab antara lain pertama, memberlakukan
ketetapan akal tentang bolehnya sesuatu jika tidak ditemui dalil yang
mengubahnya. Kedua, tetap memberlakukan hukum syara’ berdasarkan
ketentuan suatu dalil seperti seseorang yang sudah berwudhu, kemudian ia
ragu-ragu apakah wudhunya sudah batal atau belum. Wudunya belum batal atas
dasar keyakinannya sudah berwudhu. Keraguan tidak menghilangkan keyakinan.
Dengan demikian, Istishab tidak melahirkan hukum baru dalam
satu kasus, melainkan membuat tetap berlakunya hukum akal mengenai kebolehan
suatu hal selama tidak bertentangan dengan syara’ dan tetap memberlakukan hukum
syara’ bagi suatu kasus atas dasar terpenuhinya sebab terjadinya hukum.
Kehujjahannya, Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat istishab
dapat dijadikan landasan secara penuh baik menimbulkan hak yang baru atau
mempertahankan hak yang sudah ada. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendpat
istishab sifat hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada bukan
menimbulkan hak yang baru.[4]
4.
‘Urf atau Adat
‘Urf disebut juga al-‘adah artinya
kebiasaan. Hanya saja, di dalam urf tidak ada yang berpendapat tidak ada
kebiasaan yang menyimpang dari nash-nash Al-Quran dan hadis yang sahih, contohnya,
kebiasaan menghormati orang tua dengan mencium kedua tangannya. sedangkan dalam
adat ada kebiasaan yang sahih dan ada pula yang fasid, yakni yang bertentangan
dengan syari’at Islam yang telah ditetapkan kedudukan hukumnya oleh Al-Quran
dan As-Sunnah. ‘Urf adalah
adat yang baik, yang tidak menyimpang dari tujuan syari’at Islam.
Para ulama fiqh mengatakan nahwa adat adalah syari’at yang
dikukuhkan sebagai hukum. Imam malik mendasarkan sebagian hukumnya kepada amal
perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i ketika berada di Mesir mengubah
sebagian hukum yang telah ditetapkannya ketika beliau di Baghdad. Hal ini
karena urf yang berbeda. [5]
5.
Madzhab Shahaby
Madzhab sahabi yaitu “Kumpulan hasil ijtihad dan fatwa yang
dhasilkan oleh para sahabat Nabi. Fatwa tersebut terkait dengan suatu masalah
yang hukumnya tidak ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Sunah. Ada dua kelompok
pendapat ulama tentang kehujjahan mazhab sahabi sebagai sumber hukum.
1.
Syafi’iyah, Jumhur Asy’ariyah, mu’tazilah, dan syi’ah berpendapat
bahwa mazhab sahabi tidak dapat dijadikan hujjah, alasannya karena mazhab
sahabi adalah hasil ijtihad individual semata dari manusia yang tidak ma’shum
yang mungkin melakukan kesalahan dan lupa.
2.
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah secara tegas mengakui mazhab
shahabi sebagai hujjah syar’iyyah. Alasannya para sahabat adalah orang-orang
yang bergaul sangat dekat dengan Rasulullah SAW. dan banyak menyaksikan secara
langsung sebab-sebab turunnya Al-Quran. Bahkan, para sahabat sering menanyakan
langsung kepada Rasulullah SAW. Keistimewaan-keistimewaan dimaksud tidak
dimiliki oleh mujtahid lain.
Beberapa
contoh fatwa sahabat diantaranya:
a.
Menurut Aisyah, batas maksimal kehamilan seorang perempuan selama
dua tahun.
b.
Menurut Anas bin Malik batas minimal batas waktu haid seorang
wanita adalah tiga hari.
c.
Menurut Umar bin Khattab, laki-laki yang menikahi wanita yang haid
harus dipisahkan dan haram bagi laki-laki itu menikahinya untuk selamanya.
6.
Saddu al-Zariat
Saddu al-Zariat ialah “sesuatu yang secara lahiriah hukumnya boleh,
namun hal itu akan membawa kepada hal yang dilarang.” Pembagian Saddu al-Zariat
terbagi empat:
1.
Zariat yang sudah pasti membawa mafsadat seperti membuat sumur di
jalan umum.
2.
Zariat yang jarang membawa mafsadat seperti membudidayakan pohon
anggur.
3.
Zariat yang berdasarkan dugaan yang kuat akan membawa kepada
mufsadat, seperti menjual angur kepada orang atau perusahaan yang memproduk
minum-minuman keras.
4.
Zariat yang sering kali membawa mafsadat, namun kekhawatirkan itu
tidak sampai kepada dugaan yang kuat akan tetapididasari oleh dugaan biasa.
Contohnya, transaksi jual beli secar kredit.
Metode zariat ini dikembangkan oleh Imam al-Syatibi dari kalangan
malikiyah.
7.
Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana
artinya syari’at orang sebelum kita. Syari’at orang sebelum kita adalah
“hukum-hukum Allah yang disyari’atkan kepada umat terdahulu melalui nabi-nabi
mereka seperti Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Daud, dan Nabi Isa”.
Kehujahannya dapat diterima jika memenuhi ketentuan:
1. Berdasarkan
dari sumber ajaran Islam.
2. Tidak dinasakh (dihapus).
Pendapat ulama
madzhab terbagi menjadi dua :
1.
Jumhur Ulama Hanafiah dan sebagian ulama Hanafiah serta sebagian
Syafi’iyah syari’at orang sebelum kita dapat dijadikan syari’at.
2.
Sebagian ulama berpendapat tidak dapat dijadikan syari’at kita. [6]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-Qur’an bukan sumber
hukum, tetapi dalil hukum. karena dikhawatirkan kalau Al-Qur’an
dijadikan sumber hukum akan melahirkan kecenderungan adanya pengabaian terhadap
eksistensi Allah. Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat teologis. Apabila
kita terpaksa kita mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum, yang
dimaksud sumber disana dalam artian majazi.
Dalil syara’ dilihat dari aspek kesepakatannya dibagi menjadi dua
yaitu dalil syara’ yang disepakati (Muttafaq) dan dalil syara’ yang
tidak disepakati (mukhtalaf). Dalil syara’ yang disepakati ada empat
yaitu, Al-Qur’an. As-Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Adapun Dalil syara’ yang tidak
disepakati (diperserlisihkan) s ada tujuh yaitu, istihsan, mashalah mursalah,
istishab, urf, mazhab sahabi, syar’u man qablana, dan saddu al-zariat.
DAFTAR
PUSTAKA
Saebani, Beni Ahmad. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: CV Pustaka
Setia
Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Supriadi, Dedi.
2013. Ushul Fiqh Perbandingan. Bandung: CV Pustaka Setia
Syarifuddin,
Amir. 2008. Ushul Fiqh 1. Jakarta: Kharisma Putra Utama
EmoticonEmoticon