MAKALAH IKHTIAR DAN KANZUL MAL (PBS STAIMAFA PATI)

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Allah telah memberikan keluasan rizki bagi hamba-hambaNya. Tentunya dengan cara-cara yang makruf. Salah satu jalan rizki tersebut adalah dengan berdagang. Karena perdagangan adalah jalan yang dihalakan oleh Allah. Sebagai jalan yang banyak memberikan keuntungan bagi para pelaku perdagangan, tak jarang jika hal tersebut sering dimainkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab yang hanya mementingkan kuntungan pribadi, terutama adalah para tengkulak dan spekulan (pelaku penimbunan). Tanpa menghiraukan kepentingan umum, para spekulan dan tengkulak mempermainkan barang dan dagangan dan harga di pasaran. Sehingga terjadi kelangkaan di pasar. Apalagi menjelang hari-hari besar keagamaan, seperti Ramadhan dan idul Fitri 1433 H ini, harga-harga kebutuhan pokok semakin melambung harga-harganya, sehingga memberatkan masyarakat dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah. Sebagaimana di singgung di atas, setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan demikian. Pertama karena memang kelangkaan barang secara alami, misalnya karena gagalnya panen. Kedua, karena sengaja dipermainkan oleh para tengkulak dan spekulan (penimbun). Padahal perbuatan demikian sangat dilarang keras oleh Islam.  Islam melarang penimbunan karena dapat menimbulkan kesenjangan ekonomi dan akan mendatangkan kemadhorotan.
Dalam makalah kali ini kami akan mencoba menjelaskan tentang adanya bab penimbunan baik barang (ikhtikar) maupun penimbunan harta( kanzul mal) yang dapat mendatangkan kemodhorotan. Semoga melalui makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita. Amin
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ikhtikar dan kanzul mal ?
2.      Bagaimana dasar hukum ikhtikar dan kanzul mal?
3.      Apa hikmah dibalik larangan ikhtikar dan kanzul mal?
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian
Ikhtikar
·         Ikhtikar (الاحتكار ) artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan
 (اساء المعاشرة), jadi ikhtikar adalah upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga barang, penimbunan barang adalah salah satu perkara dalam perdagangan yang diharamkan oleh agama karena bisa membawa madhorot.
·         Para ulama mengemukakan arti atau definisi ihtikar (menimbun) berbeda-beda seperti halnya yang diterangkan dibawah ini:
a.        Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani mendefinisikan: Penimbunan atau penahan barang dagangan dari peredarannya.
b.      Imam Al-Ghazali mendefinisikan: Penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga melonjak.
c.       Ulama madzhab maliki mendefinisikan : Penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang merusak pasar.[1]
        Adapun yang dimaksud dengan penimbun adalah orang yang mengumpulkan barang- barang dengan menunggu waktu naiknya harga, sehingga dia bisa menjualnya dengan harga yang tinggi, hingga warga setempat sulit untuk menjangkaunya.
        Syarat terjadinya penimbunan adalah sekedar mengumpulkan dengan menunggu naiknya harga sehingga bisa menjualnya dengan harga yang mahal, baik menimbun dari hasil pembeliannya, atau hasil buminya yang luas.[2]

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum ihtikar, dengan perincian sebagai berikut:
1.      At Tirmidzi berkata [sunan III/567], “Hukum inilah yang berlaku dikalangan ahli ilmu. Mereka melarang penimbunan bahan makanan. Sebagian ulama membolehkan penimbunan selain bahan makanan. Ibnul Mubarak berkata, “Tidak mengapa menimbun kapas, kulit kambing yang sudah disamak (sakhtiyan), dan sebagainya“.
2.      Al Baghawi berkata [Syarhus Sunnah VIII/178-179], “Para ulama berbeda pendapat tentang masalah ihtikar. Diriwayatkan dari Umar bahwa ia berkata, “Tidak boleh ada penimbunan barang di pasar kami. Yakni sejumlah oknum dengan sengaja memborong barang-barang di pasar lalu ia menimbunnya. Akan tetapi siapa saja yang memasukkan barang dari luar dengan usaha sendiri pada musim dingin atau musim panas, maka terserah padanya apakah mau menjualnya atau menyimpannya.”
3.      Diriwayatkan dari Utsman bahwa beliau melarang penimbunan barang. Imam Malik dan Ats Tsauri juga melarang penimbunan seluruh jenis barang. Imam Malik mengatakan, “Dilarang menimbun jerami, kain wol, minyak dan seluruh jenis barang yang dapat merugikan pasar”.
4.      Sebagian ulama berpendapat bahwa penimbunan barang hanya berlaku pada bahan makanan saja. Sedangkan barang-barang lainnya tidak mengapa. Ini pendapat Abdullah bin Al Mubarak dan Imam Ahmad.
Imam Ahmad berkata, “Penimbunan barang hanya berlaku pada tempat-tempat tertentu seperti Makkah, Madinah atau tempat terpencil di batas-batas wilayah. Tidak berlaku seperti di Bashrah dan Baghdad, karena kapal dapat berlabuh di sana“.
5.      An Nawawi berkata [Syarh Shahih Muslim XI/43],  “Para ulama Syafi’i mengatakan bahwa ihtikar yang diharamkan adalah penimbunan barang-barang pokok tertentu, yaitu membelinya pada saat harga mahal dan menjualnya kembali. Ia tidak menjual saat itu juga, tapi ia simpan sampai harga melonjak naik. Tetapi jika dia mendatangkan barang dari kampungnya atau membelinya pada saat harga murah lalu ia menyimpannya karena kebutuhannya, atau ia menjualnya kembali saat itu juga, maka itu bukan ihtikar dan tidak diharamkan. Adapun selain bahan makanan, tidak diharamkan penimbunan dalam kondisi apapun juga”.
6.      Kemudian para ulama berpendapat, penimbunan yang dilarang kepada penimbunan bahan makanan pokok yang sangat dibutuhkan dan pada saat harga mahal. Demikian juga Imam Syafi’i, Abu Hanifah dan ulama lainnya. Dan pendapat itulah yang benar.”"[3]
Kanzul mal
Kanzu adalah mashdar dari kanaza–yaknizu–kanz[an]. Al-Kanzu secara bahasa artinya harta yang dipendam. Al-Kanzu juga merupakan sebutan untuk harta yang disimpan di dalam kotak dan sebutan untuk apa saja yang disimpan di dalamnya. Dalam pembicaraan orang Arab, al-kanzu artinya adalah apa saja yang dikumpulkan sebagian atas sebagian yang lain, baik di dalam tanah atau di atas tanah. Harta yang dikumpulkan itu untuk ditimbun, yaitu dikumpulkan dan disimpan. Dengan demikian, al-kanzu adalah harta yang dikumpulkan dan disimpan, baik di dalam atau di atas tanah.
Kanzul mal adalah menyimpan uang agar tidak beredar di pasar atau menyimpan mata uang tertentu dalam rangka profit taking (menunggu harga naik, lalu dijual).
Namun, bahaya penimbunan itu terjadi dari penimbunan uang bukan dari menabung uang. Sebab, uang yang ditabung itu pada waktunya akan dibelanjakan sehingga pertukaran harta terjadi sehingga sirkulasi kekayaan tetap terjadi di masyarakat dan roda perekonomian tetap berjalan.
Islam membolehkan seseorang menabung uang untuk membiayai suatu keperluan yang ia rencanakan. Islam hanya mewajibkan pengeluaran zakat dari uang yang ditabung itu jika sudah mencapai batas /nishab/ dan berlalu haulnya. Sebaliknya, Islam mengharamkan penimbunan emas dan perak.  Pada saat diharamkan, emas dan perak menjadi alat tukar dan standar bagi tenaga, jasa atau manfaat suatu harta.  Atas dasar itu, larangan penimbunan emas dan perak itu juga terkait dengan fungsinya sebagai alat tukar. Artinya, larangan  itu juga mencakup larangan terhadap penimbunan uang secara umum.  Namun, perlu diketahui ada kewajiban berzakat jika simpanan uang atau emas kita yang ada di deposito atau tabungan telah mencapai nishab, sudah haul (berlalu setahun).[4]
Nishab emas adalah 85 gr emas sedang nishab perak 595 gr perak. Perhitungan haul (mengendap setahun) didasarkan pada sistem kalender Islam (qamariyah), bukan kalender masehi (syamsiyah). Zakatnya 2,5 %. Misal, pada 1 Muharam 1428 H Assegaf punya emas yang telah mencapai nishab, katakan 100 gr emas. Jika dia memiliki emas itu selama satu tahun hingga 1 Muharam 1429 H (sudah haul), wajib dizakati sebesar 2,5 % X 100 gr = 2,5 gr emas. Zakat boleh dikeluarkan dalam bentuk emas, atau harta lain yang senilai (qimah), misal diuangkan senilai 2,5 gr emas. Nabi SAW pernah mengambil baju sebagai pembayaran zakat emas.
Uang kertas yang kita tabungkan di bank atau di bawah bantal juga wajib dizakati, meski bukan berstandar emas dan perak. Sebab fungsinya sama dengan dinar dan dirham yakni sebagai alat tukar serta pengukur nilai barang dan jasa. Ketentuan zakat uang sama dengan ketentuan zakat emas dan perak. Contoh, Nani punya uang Rp 20 juta. Ini berarti sudah melebihi nishab (asumsinya harga 1 gr emas = Rp 200 ribu, berarti nishab zakat uang Rp 17 juta). Jika uang itu sudah dimiliki selama satu tahun (haul), wajib dizakati 2,5 % X Rp 20 juta = Rp 500 ribu.[5]




B.     Dasar Hukum Ikhtikar Dan Kanzul Mal
Ikhtikar
Al- Qur’an
Tafsiran surat Al Baqarah : 279
bÎ*sù öN©9 (#qè=yèøÿs? (#qçRsŒù'sù 5>öysÎ/ z`ÏiB «!$# ¾Ï&Î!qßuur ( bÎ)ur óOçFö6è? öNà6n=sù â¨râäâ öNà6Ï9ºuqøBr& Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè? ÇËÐÒÈ  
 “Maka jika kamu tidak melaksanakan (apa yang diperintahkan ini) maka ketahuilah, bahwa akan terjadi perang (dahsyat) dari Allah dan Rasul-nya. Dan jika kamu bertaubat, maka bagi kamu pokok harta kamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya”.
Kata dahsyat dipahami dalam bentuk nakirah pada kata(حرب) harb. Sulit dibayangkan, betapa dahsyatnya perang itu, apalagi ia dilakukan oleh Allah, dan rasanya terlalu besar jika meriam digunakan membunuh lalat. Karena itu banyak yang memahami kedahsyatan yang dimaksud bukan dalam perangnya, maka itu adalah yang bersumber dari Rasul-Nya. Perang yang dimaksud tidak harus dalam bentuk mengangkat senjata, tetapi segala upaya untuk memberantas dan menghentikan praktek riba.
Sedangkan kata تبتم  (jika kamu bertaubat), maksud dari kata ini adalah tidak lagi melakukan transaksi riba, dan melaksanakan tuntunan illahi ini. Tidak mengambil sisa riba yang belum diambil, maka perang tidak akan berlanjut, bahkan kamu boleh mengambil kembali pokok hartamu  dari mereka. Dengan demikian kamu tidak menganiaya mereka dengan membebani mereka pembayaran hutang yang melebihi apa yang mereka terima, dan tidak pula dianiaya oleh mereka karena mereka harus membayar penuh sebesar jumlah utang yang mereka terima.[6]
Tafsiran Surah Al-Hajj ayat 78
(#rßÎg»y_ur Îû «!$# ¨,ym ¾ÍnÏŠ$ygÅ_ 4 uqèd öNä38u;tFô_$# $tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4 s'©#ÏiB öNä3Î/r& zOŠÏdºtö/Î) 4 uqèd ãNä39£Jy tûüÏJÎ=ó¡ßJø9$# `ÏB ã@ö6s% Îûur #x»yd tbqä3uÏ9 ãAqߧ9$# #´Îgx© ö/ä3øn=tæ (#qçRqä3s?ur uä!#ypkà­ n?tã Ĩ$¨Z9$# 4 (#qßJŠÏ%r'sù no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qßJÅÁtGôã$#ur «!$$Î/ uqèd óOä39s9öqtB ( zN÷èÏYsù 4n<öqyJø9$# zO÷èÏRur 玍ÅÁ¨Z9$# ÇÐÑÈ
Artinya: “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.”
[993] Maksudnya: dalam Kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
Shalat, ibadah  dan amal kebajikan bukanlah sesuatu yang mudah dipenuhi karena dalam diri manusia ada nafsu yang selalu mengajak kepada kejahatan, disekelilingnya ada setan yang menghambat, karena itu manusia perlu berjihad mencurahkan seluruh tenaga dan kemampuan agar amal-amal kebajikan itu dapat terlaksana dengan baik. Dari sini ayat 78 yang menyususl perintah beramal baik itu menegaskan bahwa : perhatikanlah ajakan kami dan berjihadlah yakni mencurahkan semua kemampuan dan totalitas kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya yakni demi karena Allah dan mengalahkan musuh dan hawa nafsu kamu sehingga kamu menjadi hamba-hambaNya yang ta’at.
Kata (جها د ) jihad  terambil dari kata ( جهد) juhd yang mempunyai aneka makna, antara lain : upaya, kesungguhan, keletihan, kesulitan, penyakit, kegelisahan, dan lain-lain. Dalam al-Qur’an ditemukan sekitar empat puluh kali kata jihad dengan berbagai bentuknya. Maknanya bermuara pada mencurahkan seluruh kemampuan atau menanggung pengorbanan.
Mujtahid adalah yang mencurahkan seluruh kemampuannya dan berkorban dengannya waktu atau tenaga, pikiran, emosi dan apa saja yang berkaitan dengan diri manusia. Jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Caranya disesuaikan dengan tujan yang ingin dicapai dan dengan modal yang tersedia. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, bahkan kelesuan, tidak pula pamrih.
Kata (اجتبا كم) ijtabakum /telah memilihkamu, dipahami oleh Thabathaba’I dalam arti pilihan khusus yang menjadikan seseorang hanya mengarahkan pandangan kepada Allah.  Allah telah menjadi perhatiannya yang penuh sehingga tidak ada lagi tempat di dalam hatinya untuk selain Allah.
Kata (  ملة) millah, terambil dari kata yang yang berarti meng-imla’kan, yakni membacakana kepada orang lain agar ditulis olehnya. Kata ini sering kali dipersamakan dengan kata din/agama. Ini karena agama atau millah adalah tuntunan-tuntunan yang disampaikan Allah SWT yang bagaikan sesuatu  yang di imla’ kan dan ditulis, sehingga sama sepenuhnya dengan apa yang disampaikan itu.
Kata ( اعتصموا ) I’tashimu terambil dari kata ( عصم) ‘ashama yang bermakna menghalangi. Penggalanya ini mengandung perintah untuk berpegang kepada tali agama Allah yang berfungsi menghalangi seseorang terjatuh.[7]


Tafsiran Surah Al-Maidah ayat 2
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
 Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
Kata (شعا ئر) sya’air  adalah jama’ dari kata ( شعيرة) sya’irah  yang berarti tanda, atau bias juga dinamai isyi’ar . yakni tanda-tanda agama dan ibadah yang ditetapkan Allah.
Kata ( حرام) haram pada mulanya berarti terhormat. Sesuatu yang dihormati biasanya lahir sebagai penghormatan terhadap aneka larangan yang berkenaan dengannya. Jika anda menghormati orang tua, maka anda tidak boleh memperlakukannya sama dengan perlakuan kepada sahabat atau adik anda. Dari sisni, kata haram diartikan dengan“larangan” . [8]
Hadist
    مَنِ احْتَكَرَ فَهُوَ خَاطِئٌ 
Barangsiapa menimbun maka dia telah berbuat dosa. (HR. Muslim 1605) kata “bersalah” disini bukanlah kata yang boleh dianggap enteng. Sebab kata itu dipakai oleh al-Qur’an untuk mengidentifikasi orang-orang yang durhaka dan congkak. [9]
Kanzul mal
Al- qur’an
Tafsiran Surah At- Taubah ayat 34- 35
* $pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä ¨bÎ) #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Í$t6ômF{$# Èb$t7÷d9$#ur tbqè=ä.ù'us9 tAºuqøBr& Ĩ$¨Y9$# È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ šcrÝÁtƒur `tã È@Î6y «!$# 3 šúïÏ%©!$#ur šcrãÉ\õ3tƒ |=yd©%!$# spžÒÏÿø9$#ur Ÿwur $pktXqà)ÏÿZムÎû È@Î6y «!$# Nèd÷ŽÅe³t7sù A>#xyèÎ/ 5OŠÏ9r& ÇÌÍÈ   tPöqtƒ 4yJøtä $ygøŠn=tæ Îû Í$tR zO¨Zygy_ 2uqõ3çGsù $pkÍ5 öNßgèd$t6Å_ öNåkæ5qãZã_ur öNèdâqßgàßur ( #x»yd $tB öNè?÷t\Ÿ2 ö/ä3Å¡àÿRL{ (#qè%räsù $tB ÷LäêZä. šcrâÏYõ3s? ÇÌÎÈ  
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."
Kata (šcrâÏYõ3s?) dipahami dalam arti menghimpun sesuatu dalam satu wadah, baik wadah itu berada dalam tanah maupun dipermukaan bumi. Ayat ini cuma menyebut dua macam yang dihimpun yaitu emas dan perak karena biasanya kedua hal itulah yang menjadi ukuran nilai atau yang umumnya disimpan.
Asy- Sya’rawi mengemukakan bahwa salah satu aspek kemukjizatan Al- Qur’an adalah uraian ayat ini dimana Allah menguraikan tentang emas dan perak dua jenis barang tambang yang dijadikan Allah sebagi dasar penetapan nilai uang dan alat tukar dalam perdagangan, kendati ada barang tambang lainnya yang lebih mahal dan berharga. Tetapi demikian keadaannya, hingga kini seluruh dunia kedua barang tambang itu masih tetap menjadi dasar bagi perdagangan dan nilai uang setiap negara. Ayat ini tidak mengecam semua mengumpulkan harta apalagi yang menabungnya untuk masa depan. Kecaman ditunjukkan terhadap mereka yang menghimpun tanpa menafkahkannya dijalan Allah, yakni tidak melaksanakan fungsi sosial dari harta antara lain zakat, dan itulah yang dinamai ayat ini kanz. Atas dasar itu mereka yang telah menginfakkan hartanya dan menabung sisanya, tidaklah dinamai taknizun.
Siksa yang menimpa para penghimpun harta lagi tidak menfkahkannya dijalan Allah dilukiskan oleh ayat diatas akan menimpa tiga bagian dari tubuh penghimpunnya. Menurut Asy-Sya’rawi masing- massing dari bagian tubuh manusia yang disebut oleh ayat tersebut mempunyai peranan dalam kekikiran mereka. Dahi yang merupakan bagian dari wajah manusia adalah yang pertama berperan ketika seseorang datang meminta bantuan. Ketika itu yang enggan bernafkah memalingkan wajahnya dan mengerutkan dahinya saat mengetahui kedatangan si peminta. Saat itu juga si peminta merasa terhina, tetapi boleh jadi dia belum mengurungkan niatnya, dan berlanjut dalam usahanya maka ketika itu si kikir memalingkan badannya,  menghadap kearah lain tetapi kalau si peminta masih berkeras meminta maka si kikir mengambil sikap yang tegas, kali ini dengan meninggalkan si peminta dan menghalanginya. Demikian terlihat ketiga anggota tubuh itu yakni dahi yang terdapat di wajah, lambung dan punggung tersebut yang kikir berperanan agar harta yang dihimpunnya tidak ia nafkahkan dijalan Allah.[10]
Hadist
Kemudian diantara hadits yang penting mengenai masalah penimbunan adalah haditst yang diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar yaitu :
مَنْ دَخَلَ فِيْ شَيْئٍ مِنْ أَسْعَا رِ الْمُسْلِمِيْنَ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ كَا نَ حَقًاعَلي اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَا لَئ أَنْ يُقْعِدَ هُ بِعَظْمِ مِنَ النَّارِ يَوْمَ اْلقِيَا مَةِ قَلَ : اَنْتَ سَمِعْتُ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ ص.م؟ قَا لَ: غَيْرَ مَرَّ ةٍ وَلاَمَرَّ تَيْنِ.(احمد و الطبر انئ)
“Siapa ikut campur tentang harga bagi orang Islam supaya menaikkanya sehingga mereka keberatan, maka menjadi ketentuan Allah untuk mendudukan dia itu pada api yang sangat besar nanti pada hari kiamat. Kemudian Abdullah bertanya : Engkau benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah SAW? Maqil menjawab : Bukan sekali dua kali.” ( Riwayat Ahmad dan Tabrani ).
Dari nas hadits tersebut dan mahfumnya, para ulama beristinbath bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat :
1.      Dilakukan di suatu negara tempat penduduk negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2.      Dengan maksud untuk menaikan harga sehingga orang merasa payah supaya dia memperoleh keuntungan yang berlipat ganda[11]
C.    Hikmah larangan ikhtikar dan kanzul mal
Untuk mencegah munculnya perkara yang dapat merugikan orang banyak. Sebagaimana halnya para ulama sepakat bahwa bila seseorang memiliki bahan makanan, lalu orang- orang sangat membutuhkannya dan mereka tidak mendapatkan selain itu, maka ia boleh dipaksa untuk menjualnya demi mencegah kemudharatan atas orang banyak[12].
 Dengan melarang menimbun harta, maka harta itu dapat disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
D.    Respon Masyarakat Terhadap Ikhtikar dan Kanzul Mal
Menurut sebagian masyarakat mengenai ikhtikar dan kanzul mal itu sama-sama penyebab terjadinya distorsi pasar yang dapat menyebabkan produksi berkurang dikalangan masyarakat yang membutuhkan sehingga akan menghambat laju perekonomian. Menurut mereka antara kanzul mal dan ikhtikar itu bedanya cuma pada objek dan teknis pelaksanaannya saja. Ikhtikar dan kanzul mal  tidak diperbolehkan kalau komoditas yang ditimbun itu merupakan komoditas publik. Sedangkan mengenai hukumnya (ikhtikar dan kanzul mal) para ulama’ itu masih berbeda pendapat, yakni  sebagian ada yang membolehkan dan sebagiannya lagi ada yang melarangnya.[13]





BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Ikhtikar  artinya menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik. Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan.
2.      Kanzul mal adalah harta yang dikumpulkan untuk ditimbun, yaitu dikumpulkan dan disimpan.namun disini menabung di bank tidak termasuk didalamnya
3.      Mayoritas ulama’ mengharamkan melakukan ikhtikar dan kanzul mal berdasarkan sumber-sumber dari al-Qur’an dan hadits yang ada.
4.      Hikmah larangan ikhtikar dan kanzul mal: Untuk mencegah munculnya perkara yang dapat merugikan orang banyak. Sebagaimana halnya para ulama sepakat bahwa bila seseorang memiliki bahan makanan lalu orang- orang sangat membutuhkannya dan mereka tidak mendapatkan selain itu, maka ia boleh dipaksa untuk menjualnya demi mencegah kemudharatan atas orang banyak











DAFTAR PUSTAKA

Qardawi Yusuf, Halal Haram dalam Islam, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2003.
Shaikh Salim Bin ‘Ied-Al- Hilali, Ensiklopedia Laranga, Bogor: Pustaka Imam 2005.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah vol.5, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Taqyuddin An- Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, Surabaya: Risalah Gusti, 2009, hal. 210, Cet.VIII
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah vol.3, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah vol.9, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran vol.3, Jakarta: Al- Huda, 2003.
Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah, Jakarta.Gaya Media Prartama, 2000.










[1]Nasrun Haroen,Fiqh Muamalah, (Jakarta.Gaya Media Prartama, 2000, hal. 58).
[2] Taqyuddin An- Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009, hal. 209, Cet.VIII)
[3] Syaikh Salim bin Ied Al Hilali, Ensiklopedi Larangan Menurut Al Qur’an dan As Sunnah , Pustaka Imam Asy Syafi’i.
[4] Ar-Razi, Mukhtar ash-Shihah, cet. I, hlm.124
[5] Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilalah, hal. 169
[6] Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Quran vol.3, (Jakarta: Al- Huda, 2003) hal.69
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah vol.9, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm.220
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah vol.3, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm.9
[9] Taqyuddin An- Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif, (Surabaya: Risalah Gusti, 2009, hal. 210, Cet.VIII)

[10]M. Quraish Shihab, Tafsir Al- Mishbah vol.5, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm.572
[11] Yusuf Qardawi. Halal Haram dalam Islam, (Surabaya : PT. Bina Ilmu) 2003 hlm.361
[12] Shaikh Salim Bin ‘Ied-Al- Hilali, Ensiklopedia Laranga, (Bogor: Pustaka Imam 2005) hlm.216
[13] Hasil wawancara Bpk. Isyrokh Fuaidi, di ruang dosen, tgl 28 November 2012, jam 09.00
   Hasil wawancara Saudari Zahro Shulhah, di halaman Staimafa, tgl 28 November 2012, jam 09.00 


EmoticonEmoticon