Lembaga Keuangan Syariah
Oleh: Amirotun Nikmah dan Nailiy Rif’atul Mustafidah
A.
Pengertian
Lembaga Keuangan Syariah
Lembaga
Keuangan Syariah adalah badan usaha yang kekayaan utamanya berbentuk aset
keuangan, memberikan kredit dan menanamkan dananya dalam surat berharga. Serta
menawarkam jasa keuangan lain seperti: simpanan, asuransi, investasi,
pembiayaan, dan lain- lain berdasarkan prinsip syariah.
B.
Jenis- jenis
lembaga keuangan syariah
a)
Bank Syariah
Pengertian
Bank Syariah
Bank
Umum Syariah Dasar hukum: UU no. 10 thn 1998
adalah Bank yang dalam aktifitasnya baik penghimpunan dana maupun
penyaluran dana memberikan imbalan atas dasar syariah yaitu jual beli dan bagi
hasil.
Bank syariah
adalah lembaga yang menghimpun, menyalurkan dana, dan menyediakan jasa- jasa perbankan lainnya yang berasarkan prinsip
syariah.
Prinsip-
prinsip syariah disini adalah:
1.
Pembayaran
terhadap pijaman terhadap nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai
yang ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
2.
Pemberi dana
harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha intitusi
yang meminjam dana
3.
Islam tidak
memperbolehkan “menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media
pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memilki nilai intrinsik.
4.
Investasi hanya
boleh diberikan pada usaha- usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Misalnya
usaha minuan keras tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Berikut adalah
produk yang ditawarkan oleh perbankan syariah, antara lain:
a.
Al wadiah dapat
diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu
maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya. Sebagai imbalan, si penyimpan mendapat jaminan keamanan
terhadap hartanya.
b.
Al – mudharabah
adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak pertama yang menyediakan seluruh
modal, sedangan pihak lain menjadi pengelola.
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi, ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian di
pengelola. Seandainya
kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut. Pola transaksi
mudharabah, biasanya diterapkan pada produk- produk pembiayaan dan pendanaan.
·
Pada sisi penghimpunan dana, al-mudharabah diterapkan pada: tabungan dan
deposito.
·
Sedangkan pada sisi pembiayaan, al-mudharabah, diterapkan untuk: pembiayaan modal
kerja. Dengan menempatkan dana
dalam prinsip al- mudharabah, pemilik
dana tidak mendapatkan bunga seperti halnya di bank konvensional, melainkan
nasabah membagi keuntungan. Sedangkan
dalam sisi pembiayaan, bila seorang pedagang membutuhkan modal untuk berdagang
maka dapat mengajukan permohonan untuk pembiayaan bagi hasil seperti al- mudharabah. Caranya
terlebih dahulu perkiraan pendapatan yang akan diperoleh oleh nasabah dari
proyek tersebut.
c. Al- Musyarakah
Dalam
sistem ini terjadi kerjasama antar dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu. Para pihak yang bekerja sama memberikan kontribusi modal. Keuntungan
ataupun risiko usaha tersebut akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
d.
Al- Murabahah
Dalam sistem ini terjadi jual beli suatu barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang nilainya disepakati kedua belah pihak. Penjual
dalam hal ini harus memberi tahu harga produk yang memberi tahu harga produk
yang ia beli dan menentukan suatu
tingkat keuntungan sebagai tambahan.
Adapun pengertian prinsip syariah adalah aturan perjanjian
berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan
atau pembayaran kegiatan usaha, atau kegiatan lain yang dinyatakan sesuai
dengan syariah.
e.
Akad Salam
Adalah akad pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan
pembayaran haraga yang dilakukan terlebih dahulu dengan syarat tertentu..
f.
Akad Istishna’
Adalah akad pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang tertentu yang disepakati antara pemesan atau pembeli (mustashni’) dan
penjuan atau pembuat (sani’).
g.
Akad Qardh
Adalah akad pinjaman dana pada nasabah dengan ketentuan bahwa
nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya pada waktu yang telah
disepakati.
h.
Akad Ijarah
Adalah akad penyediaan dana dalam
rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa
berdasarkan transaksi sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.
i.
Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik
Adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau
manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang.
j.
Akad Hawalah
Adalah akad pengalihan utang dari pihak yang berhutang kepada pihak
yang lain yang wajib menanggung atau membayar.
k.
Akad Kafalah
Adalah akad pemberian jamian
yang diberikan suatu pihak kepada pihak
lain, di mana pemberi jaminan (kafil) bertanggung jawab atas pembayaran kembali
utang yang menjadi hak penerima jaminan (makful).
l.
Akad Wakalah
Adalah akad pemberian kuasa
kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.
·
Kegiatan Usaha Bank Umum Syariah.
1.
Menerima simpanan dana dari masyarakat dalam bentuk :
a.
Giro berdasarkan prinsip wadi’ah;
b.
Tabungan berdasarkan prinsip wadi’ah atau mudharabah;
c.
Deposito berjangka
berdasarkan prinsip mudharabah; atau
d.
Bentuk lain berdasarkan
prinsip wadi’ah atau mudharabah.
2.
Menyalurkan dana dalam bentuk :
a.
Piutang dengan prinsip jual beli meliputi
v mudharabah;
v isthishna;
v ijarah;
v salam.
b.
Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil meliputi :
v mudharabah;
v musyarakah;
c.
Pembiayaan berdasarkan prinsip qardh
3.
Membeli, menjual dan atau menjamin atas risiko sendiri surat-surat
berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata (underlying
transaction) berdasarkan prinsip jual-beli atau hiwalah.
4.
Membeli surat-surat berharga Pemerintah dan atau BI yang
diterbitkan atas dasar Prinsip Syariah;
5.
Memindahkan uang untuk kepentingan sendiri dan atau nasabah
berdasarkan prinsip wakalah;
6.
Menerima pembayaran tagihan atas surat berharga yang diterbitkan
dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga dengan prinsip
wakalah;
7.
Menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat-surat berharga
berdasarkan prinsip wadi’ah yad amanah;
8.
Melakukan kegiatan penitipan termasuk penatausahaannya untuk
kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak dengan prinsip wakalah;
9.
Melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lain dalam
bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek berdasarkan prinsip
ujrah;
10.
Memberikan fasilitas Letter
of Credit (L/C) berdasarkan prinsip walakah, murabahah, mudharabah, musyarakah,
dan wadi’ah, serta memberikan fasilitas garansi bank berdasarkan prinsip
kalafah;
11.
Melakukan kegiatan wali amanat berdasarkan prinsip walakah;
12.
Melakukan kegiatan usaha kartu debet berdasarkan prinsip ujrah;
13.
Melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan Bank sepanjang
disetujui oleh Dewan Syariah Nasional;
14.
Melakukan kegiatan dalam
valuta asing berdasarkan prinsip sharf;
15.
Melakukan kegiatan penyertaan modal berdasarkan prinsip musyarakah
dan atau mudharabah.
16.
Bertindak sebagai pendiri dana pensiun dan pengurus dana pensiun
berdasarkan Prinsip Syariah sesuai ketentuan dalam perundang-undangan yang
berlaku
17.
Bank dapat bertindak sebagai lembaga baitul ma’al yaitu menerima
dana yang berasal dari zakat, infaq, shadaqah, waqaf, hibah atau dana sosial
lainnya.
b)
Asuransi
Syariah
·
Pengertian
Asuransi Syariah
Asuransi
syariah menurut definisi Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk saling
melindungi dan tolong-menolong diantara sejumlah orang melalui investasi dalam
bentuk asset dan atau taba’ru (dana kebajikan) yang memberikan pola
pengembalian untuk menghadapi resiko/ bahaya tertentu melalui akad yang sesuai
dengan syariah.
·
Dasar hukum
Landasan
dasar asuransi syariah adalah sumber dari pengambilan hokum praktik asuransi
ayariah. Karena sejak awal asauransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis
pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam,
yaitu Al-Quran dan sunnah Rasul, maka landasan yang dipakai dalam hal ini tidak
jauh berbeda dengan metodologi yang dipakai oleh sebagian ahli hokum Islam.
Diantaranya
ayat-ayat Al-Qur’an yang mempunyai muatan nilai yang ada dalam praktik asuransi
adalah:
a)
Surah Al-Maidah
ayat 2
ÙˆَتَعَاوَÙ†ُوا عَÙ„َÙ‰ الْبِرِّ ÙˆَالتَّÙ‚ْÙˆَÙ‰ ÙˆَÙ„َا تَعَاوَÙ†ُوا عَÙ„َÙ‰ الْØ¥ِØ«ْÙ…ِ ÙˆَالْعُدْÙˆَانِ ÙˆَاتَّÙ‚ُوا اللَّÙ‡َ Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ Ø´َدِيدُ الْعِÙ‚َابِ.
“Dan tolong-menolonglah
kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam
berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
Allah amat berat siksa-Nya”
Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana social (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).
Ayat ini memuat perintah (amr) tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, nilai ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana social (tabarru’). Dana sosial ini berbentuk rekening tabarru’ pada perusahaan asuransi dan difungsikan untuk menolong salah satu anggota (nasabah) yang sedang mengalami musibah (peril).
b)
Surah
Al-Baqarah ayat 185
ÙŠُرِيدُ اللَّÙ‡ُ بِÙƒُÙ…ُ الْÙŠُسْرَ ÙˆَÙ„َا ÙŠُرِيدُ بِÙƒُÙ…ُ الْعُسْر
“Allah
menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
Dalam konteks bisnis asuransi, ayat
tersebut dapat dipahami bahwa dengan adanya lembaga asuransi, seseorang dapat
memudahkan untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupannya dimasa mendatang dan
dapat melindungi kepentingan ekonominya dari sebuah kerugian yang tidak
disengaja
·
Perkembangan
industri asuransi syariah di Indonesia
Diawali dengan kelahiran asuransi syariah
pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful Indonesia (STI)
berdiri pada 24 Februari 1994 yang dimotori oleh Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat Indonesia, PT
Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa pengusaha
Muslim Indonesia.
Selanjutnya, STI mendirikan dua anak
perusahaan. Mereka adalah perusahaan asuransi jiwa syariah bernama PT Asuransi
Takaful Keluarga (ATK) pada 4 Agustus 1994 dan perusahaan asuransi kerugian
syariah bernama PT Asuransi Takaful Umum (ATU) pada 2 Juni 1995. Setelah
Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari cukup
besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia.
Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.
Hal tersebut kemudian mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah.
Asuransi syariah sudah mulai dikenal
semenjak berdirinya Syarikat Takaful Indonesia pada tahun 1994. Pada tahun 2015
diperkirakan bahwa potensi penerimaan premi syariah di Indonesia akan mencapai
US$ 1,20 miliar. Pencapaian posisi ini menempatkan pada posisi terbesar kedua
setelah Malaysia yang diperkirakan oleh penelitian Institute of Islamic Banking
and Insurance di London sebesar US$ 1,22 miliar. Tetapi jika dibandingkan
dengan asuransi konvensional jumlah premi ini sangatlah kecil.
·
Perbedaan
Asuransi Syariah Dengan Asuransi Konvensional.
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional. Perbedaan tersebut adalah:
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syari’ah dengan asuransi konvensional. Perbedaan tersebut adalah:
1.
Asuransi
syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk
yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini
tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2.
Akad yang
dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan
asuransi konvensional berdasarkan jual beli.
3.
Investasi dana
pada asuransi syari’ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada
asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan
investasinya
4.
Kepemilikan
dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang
terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan
bebas menentukan alokasi investasinya.
5.
Dalam
mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang
terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing
period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana
kecil yang telah diniatkan untuk tabarru’.
6.
Pembayaran
klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan)
seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana
yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi
musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari
rekening dana perusahaan.
·
Pembagian
keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta
sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada
asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
c)
Pegadaian
Syariah
1.
Pengertian
pegadaian syariah
·
Gadai adalah suatu
hak yang diperoleh seorang yang mempunyai piutang atas suatu barang bergerak.
Barang bergerak tersebut diserahkan kepada orang yang berpiutang oleh seorang
yang mempunyai utang atau oleh orang lain atas nama orang yang mempunyai utang.
·
Gadai dalam
fiqh diebut Rahn, yang menurut bahasa adalah tetap, kekal, dan jaminan.
Menurut beberapa mazhab, Rahn berarti perjanjian penyerahan harta oleh
pemiliknya dijadikan sebagai pembayar hak piutang tersebut, baik seluruhnya
maupun sebagian. Penyerahan jaminan tersebut tidak haus bersifat actual
(berwujud), namun yang terlebih penting penyerahan itu bersifat legal misalnya
berupa penyerahan sertifikat atau surat bukti kepemilikan yang sah suatu harta
jaminan. Menurut mahab Syafi’i dan Hambali, harta yang dijadikan jaminan
tersebut tidak termasuk manfaatnya.
·
Jadi Gadai
Syariah adalah produk jasa berupa pemberian pinjaman menggunakan
sistem gadai dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariat Islam, yaitu
antara lain tidak menentukan tarif jasa dari besarnya uang pinjaman yang
diterimanya. Namun demikian masih dimungkinkan bagi penerima gadai untuk
memperoleh imbalan berupa sewa tempat penyimpanan marhun (barang
jaminan/agunan).
2.
Landasan hukum pegadaian
syariah
a.
AL-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah : 283
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah
tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh orang yang berpiutang.”
Dalam Q.S. An-Nisa : 29 Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
b.
Hadits
Dari Aisyah r.a., Nabi SAW bersabda :
“Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli
makanan seorang Yahudi dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya.” (H.R.
Bukhri dan Muslim)
Dari Abi Hurairah r.a., Nabi SAW
bersabda :
“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai
dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan
menanggung resikonya.” (H.R. As-Syafi’i, Al-Daraquthni dan Ibnu
Majah)
c.
Ijtihad ulama
Perjanjian
gadai yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan Hadits itu dalam pengembangan selanjutnya
dilakukan oleh para fuqaha dengan jalan ijtihad, dengan kesepakatan para ulama
bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama tidak pernah mempertentangkan
kebolehannya.Demikian juga dengan landasan hukumnya.
Namun demikian,
perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana seharusnya
pegadaian menurut landasan hukumnya.
d.
Fatwa DN No.
25/DSN-MUI/III/2002
e.
Fatwa DSN
No. 26/DSN-MUI/III/2002
3. Operasionalisasi
Pegadaian Syariah
Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara sukarela atas dasar
tolong menolong dan tidak untuk semata-mata mencari keuntungan. Sedangkan gadai
menurut hukum perdata, disamping berprinsip tolong menolong juga menarik
keuntungan melalui sistem bunga atau sewa modal yang ditetapkan dimuka. Dalam
hukum Islam tidak dikenal istilah “bunga uang”, dengan demikian dalam transaksi
Rahn (gadai syariah) pemberi gadai tidak dikenakan tambahan pembayaran atas
pinjaman yang diterimanya. Namun demikian masih dimungkinkan bagi penerima
gadai untuk memperoleh imbalan berupa sewa tempat penyimpanan marhun (barang
jaminan/agunan).
4.
Teknik
transaksi
Pada dasarnya Pegadaian Syariah berjalan atas dua akad
transaksi syariah, yaitu :
a.
Akad Rahn. Rahn yang dimaksud adalah menahan
harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya, pihak
yang menahan memperoleh jaminan untuk mengambil kembali seluruh atau sebagian
piutangnya.
b. Akad
Ijarah.
Yaitu akad pemindahan hak guna atas barang dan atau jasa melalui pembayaran
upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barangnya sendiri.
5.
Rukun gadai
·
Ar-Rahin (yang menggadaikan)
·
Al-Murtahin (yang menerima gadai)
·
Al-Marhun (barang yang digadaikan)
·
Al-Marhun bih (utang)
·
Sighat, Ijab, dan Qabul.
6.
Produk – Produk yang di Kembangkan
Layanan jasa serta
produk yang ditawarkan oleh pegadaian syariah adalah sebagai berikut :
1. Pemberian pinjaman
atau pembiayaan atas dasar hukum gadai.
Syaratnya harus terdapat jaminan berupa barang bergerak seperti emas, elektronik dan lainnya. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, besarnya akan sangat tergantung oleh nilai dan jumlah barang yang digadaikan.
Syaratnya harus terdapat jaminan berupa barang bergerak seperti emas, elektronik dan lainnya. Besarnya pemberian pinjaman ditentukan oleh pegadaian, besarnya akan sangat tergantung oleh nilai dan jumlah barang yang digadaikan.
2. Penaksirannilai barang, Jasa ini diberikan bagi mereka yang menginginkan informasi tentang
taksiran barang yang berupa emas, perak dan berlian. Biaya yang dikenakan
adalah ongkos penaksiran barang.
3. Penitipan barang (ijaroh). Barang yang dapat dititipkan antara lain : sertifikat motor,
tanah, ijazah. Pegadaian akan mengenakan biaya penitipan bagi nasabahnya.
4. Gold counter. Merupakan
fasilitas penjualan emas yang memiliki sertifikat jaminan sebagai buktikualitas
dan keasliannya .
EmoticonEmoticon