BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan, sosok
Ibnu Sina dalam banyak hal unik, sedang diantara para filosof muslim ia tidak
hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga masa
modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah
mendominasi tradisi filsafat muslim beberapa abad.
Pengaruh
ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang
ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius
dalam menemukan metode - metode dan alasan - alasan yang diperlukan untuk
merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme
yang ia warisi dan lebih jauh lagi dalam sistem keagamaan Islam.
B.
Rumusan Masalah
a.
Siapakah Ibnu Maskawaih?
b.
Apa saja karya-karya yang dihasilkan
oleh Ibnu Maskawaih?
c.
Apa saja
pemikiran filsafat yang dikemukakan Ibnu Maskawaih?
d.
Siapakah Ibnu
Sina?
e.
Apa saja
karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina?
f.
Apa saja
pemikiran filsafat yang dikemukakan oleh Ibnu Sina?
C.
Tujuan Penulisan
a.
Untuk
mengetahui sejarah singkat tentang Ibnu Maskawaih
b.
Untuk
mengetahui Karya-karya Ibnu Maskawaih
c.
Untuk
mengetahui pemikira filsafat yang di kemukakan oleh Ibnu Maskawaih
d.
Untuk
mengetahui sejarah singkat tentang Ibnu Sina.
e.
Untuk
mengetahui Karya-karya Ibnu Sina.
f.
Untuk
mengetahui pemikira filsafat yang di kemukakan oleh Ibnu Sina.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Ibnu Maskawaih
Nama
lengkapnya adalah Abu Ali Ahmad ibn Muhammad ibn Ya’qub ibn Maskawaih. Nama Maskawaih itu diambil dari
nama kakeknya yang bermula beragama Majusi (Persia) yang kemudian masuk islam.
Gelarnya Abu Ali, diperoleh dari nama sahabat Rasulullah yaitu Ali, yang bagi
kaum Syiah dipandang yang berhak menggantikan Rasulullah sebagai pemimpin umat
islam sepeninggal beliau. Dari hal tersebutlah jika orang mengatakan bahwa ibnu
Ibnu Maskawaih tergolong penganut aliran Syiah. Gelar lain yang di beliau dapat
adalah Al-Khazim, yang berarti bendaharawan. Gelar tersebut beliau dapat
dikarenakan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buwaih beliau
dipercaya menjadi bendaharawannya.
Ibnu Maskawaih lahir di Ray (Teheran, Iran).
Mengenai tahun kelahirannya banyak perbedaan pendapat, menurut M.M. Syarif
menyebutkan tahun 320 H/932 M, menurut Margoliouth menyebutkan tahun 330H /932
M, dan menurut M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H/932 M. Tetapi
mengenai wafatnya sepakat pada 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M.[1]
Ketika muda Ibnu Maskawaih mengabdi kepada
Al-Muhallabi yang menjabat sebagai Dinasti Buwaih. Setelah Al-Muhallabi
wafat pada 352 H, dan di gantikan oleh
Ibn ‘al-Amid. Ketika dalam kepemimpinan Ibn al’-Amid, Ibnu Maskawaih mengabdi sebagai
pustakawan. Jabatan yang beliau duduki ini sampai pada masa jabatan Abu al-Fath
(putra dan pengganti dari Ibn al’- Amid). Ibnu Maskawaih meninggalkan Ray
menuju Baghdad dikarenakan kepemimpinan setelah Abu al-Fath wafat digantikan
oleh musuhnya yaitu Al- Shahib ibn ‘Abbad. Sesampainya di Baghdad Ibnu
Maskawaih mengabdi kepada Istana Buwaih yaitu pangeran ‘Adhud al-Daulah sebagai
bendaharawan. Dari jabatan tersebutlah maka beliau diberi gelar Al – Khazim.
Setelah pangetaran ‘Adhud al- Daulah wafat dan digantikan oleh Shamsham
al-Daulah dan diteruskan oleh Baha’ al-Daulah[2].
Pada masa –masa ini juga Ibnu Maskawaih
muncul sebagai seorang Filsuf, Tabib, Ilmuwan dan Pujangga. Pengetahuan Ibnu
Maskawaih yang amat menonjol dari hasil banyak membaca buku itu ialah tentang
sejarah, filsafat dan sastra. Sampai saat ini nama Ibnu Maskwaih tetap terkenal
karena keahlian beliau dibidang sejarah dan filosuf. Dan sebagai Filosuf, Ibnu
Maskawaih memperoleh sebutan sebagai Bapak Etika Islam , dikarenakan
beliaulah yang mula-mula mengemukakan terori etika dan sekaligus menulis buku
tentang etika.
B.
Karya-Karyanya
Beberapa Karya dari Ibnu
Maskawaih:
a. Al-Fauz Al- Ashgar, tentang
Ketuhanan, jiwa dan kenabian (Metafisika)
b.
Al-Fauz Al-Akbar, tentang etika
c.
Thabarat Al-Nafs, tentang etika
d.
Tahdzib Al-Akhlaq wa That-hir Al-‘Araq,
tentang etika
e.
Tartib As-Sa’adat, tentang etika dan politik
(terutama mengenai pemerintahan Bani’Abbas dan Bani Buwaih)
f.
Tajarib Al-Umam, tentang sejarah peristiwa
sejak air bah Nabi Nuh a.s hingga tahun 369 H
g.
Al-Jami’, tentang ketabiban
h.
Al-Adwiyah, tentang obat-obatan
i.
Al-Asyribah, tentang minuman
j.
Al-Mustaudi, tentang kumpulan syair-syair
pilihan
k.
Maqalat fi Al-Nafsi Wa Al-‘Aql, tentang jiwa
dan akal
l.
Jawizan Khard, tentang koleksi ungkapan bijak[3]
m.
Uns al-Farid, tentang koleksi anekdot, syair,
peribahasa dan kata-kata hikmah
n.
Al-Syiar, tentang tingkah laku kehidupan
o.
One the Simple Drugs, tentang kedokteran
p.
On the
Composition of the Bajats, tentang seni memasak
q.
Al- Asyribah, tentang minuman
r.
Risalah fi al-Lazzah wa al-alam fi jauhar
al-Nafs
s.
Al- Jawab wa fi al- Masa’il al-Tsalats
t.
Risalah fi
Jawab fi Su’al Ali ibn Muhammad Abu Hayyan al-Shufi fi Haqiqah al-Aql[4]
C.
Pemikiran
Ibnu Maskawaih
1.
Hikmah dan
falsafah
Maskawaih membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan,
wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang
cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah bahwa
engkau mengetahui segala yang ada (Al-maujudat) sebagai adanya. Atau jika
engkau mengetahui perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari
pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat
membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan.
Sedangkan mengenai filsafat, Maskawaih tidak memberikan
pengertian secara tegas. Ia hanya membagi filsafat menjadi dua bagian, bagian
teori dan bagian praktis, bagian teori merupakan kesempurnaan manusia yang
mengisi potensinya untuk dapat melakukan segala sesuatu, hingga dengan
kesempurnaan ilmunya itu fikirannya benar. Keyakinannya benar dan tidak
ragu-ragu terhadap kebenaran. Sedangkan bagian praktis merupakan kesempurnaan
manusia yang mengisi potensinya untuk dapat melakukan perbuatan-perbuatan
moral. Kesempurnaan moral ini dimulai dengan kemampuan mengatur potensi-potensi
dan perbuatan-perbuatan itu dapat sejalan benar dengan potensi rasionalnya yang
dapat membeda-bedakan hal yang benar dan salah, yang baik dan buruk, hingga
perbuatan-perbuatan itu benar-benar teratur sebagaimana mestinya. Akhir dari
kesempurnaan moral adalah sampai dapat mengatur hubungan antar sesama manusia
hingga tercipta kebahagiaan hidup bersama.
2.
Metafisika
Metafisika Maskawaih mencangkup pembahasan tentang bukti adanya
Tuhan sang pencipta, jiwa dan kenabian (nubuwwah).
a.
Bukti-bukti
adanya Tuhan pencipta
Maskawaih mengatakan
bahwa sebenarnya tentang adanya Tuhan pencipta itu telah menjadi kesepakatan
para filosof sejak dulu kala. Maskawaih berusaha membuktikan bahwa Tuhan
pencipta itu esa, tanpa awal, bukan materi (jism).
b.
Jiwa
Maskawaih mengatakan
bahwa jiwa berasal dari limpahan akal aktif. Jiwa bersifat rohani, suatu
substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu pancaindra.
Jiwa tidak bersifat material dibuktikan oleh maskawaih dengan adanya
kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran-gambaran tentang banyak hal yang
saling bertentangan satu sama lain. Dengan demikian jiwa merupakan kesatuan
yang didalamnya terkumpul unsur-unsur akal, obyek yang berpikir dan obyek-obyek
yang dipikirkan, dan ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang satu.
c.
Teori evolusi
Maskawaih berpendapat
bahwa segala yang ada dialam mengalami proses evolusi, dilaluinya rentetan
proses kejadian yang mata rantainya tidak terputus. Dikatakannya bahwa segala
sesuatu di alam ini bermula dari wujud yang sederhana. Kemudian mengalami
revolusi menjadi benda-benda yang lebih tinggi. Bermula dari jamad (benda
mati), kemudian berkembang menjadi tumbuh-tumbuhan, yang dalam evolusi
berikutnya mengalami perkembangan menjadi hewan, dari tahapan hewan berevolusi
menjadi manusia yang dipandang sebagai puncak perkembangan. Manusiapun pada
gilirannya mengalami evolusi juga, yaitu terus berkembang dan meningkat
kecerdasannya.[5]
d.
Kenabian
(An-Nubuwwah)
Menurut Ibnu Maskawaih,
Nabi adalah manusia pilihan yang memperoleh hakikat-hakikat kebenaran, karena
pengaruh akal aktif atas daya imajinasinya. Hakikat-hakikat yang sama diperoleh
juga oleh filsuf. Perbedaan terletak pada cara memperolehnya. Para filsuf
memperoleh kebenaran dari bawah ke atas, yaitu dari daya inderawi naik kedaya
khayal dan naik lagi kedaya pikirsehingga dapat berhubungan dan menangkap
hakikat-hakikat kebenaran dari akal aktif. Sedangkan para Nabi memperoleh
langsung dari akal aktif sebagai rahmat Tuhan.
3.
Sejarah
Adapun pemikiran Ibnu
Maskawaih tentang sejarah bersifat filosofis, ilmiah, dan kritis. Menurutnya,
sejarah bukanlah sekedar narasi yang hanya mengungkapkan keberadaan diri
raja-raja dan menghiburnya, tetapi lebih jauh merupakan pencerminan struktur
politik, ekonomi masyarakat pada masa tertentu. Atau dapat dikatakan bahwa
sejarah merupakan rekaman bangsa-bangsa atau negara-negara tentang pasang surut
kebudayaannya. Sejarah tidak hanya mengumpulkan kenyataan-kenyataan yang telah
lampau menjadi suatu kesatuan organik, tetapi juga menentukan bentuk sesuatu
yang akan datang.[6]
D.
Biografi Ibnu
Sina
Nama
lengkapnya adalah Abu ‘Ali Al-Husyain ibn Abdullah bin Sina. Sebagian dari para
ahli mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari bahasa latin, Avin Sina, dan
sebagian yang lain mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata al-Shin
yang dalam bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada yang berpendapat bahwa nama
tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahiranya yaitu Asfhana. Ia lahir
pada 370 H. Bertepatan dengan tahun 980 M, di Afshana, suatu daerah yang dekat
Bukhara, Transoxinia, Persia utara di kawasan Asia Tengah. Ayahnya bernama
Abdullah, seorang sarjana terhormat Ismaili, berasal dari Balk, Khurasan . Dan
pada saat kelahiran putranya dia adalah gubenur di salah satu pemukiman Nuh ibn
Manur, sekarang wilayah Afganistan dan juga Persia. Dia menginginkan putranya
dididik dengan baik di Bukhara. [7]
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan
yang luar biasa sehingga di usia 10 tahun telah mampu menghafal Al-Qur’an,
sebagian besar sastra arab, dan ia juga hafal kitab metafisika karangan
aristoteles setelah di bacanya empat puluh kali, kendatipun ia
baru memahaminya setelah membaca ulasan Al-Farabi.[8]
Dari hal tersebut maka dengan tulus ikhlas dia
mengakui bahwa dia menjadi murid yang setia dari Al-Farabi.[9]
Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya melebihi enam
belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan
banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan
teori - teori kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang -
orang sakit .Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat
dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan untuk
diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah
dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam
tidurnya itu dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang
dihadapinya.[10]
a.
Ilmu agama
Dimulainya
belajar Qur’an pada tahun 375 H, sewaktu umur baru 5 tahun. Kemudian terus
mempelajari ilmu-ilmu islam yamg lainnya seperti tafsir, fikih, ushuluddin,
tasawuf dan lainnya.
b.
Ilmu-ilmu
filsafat
Setelah umurnya mencapai 10
tahun dia sudah menguasai ilmu-ilmu agama, ayahnya mulai menyuruhnya belajar
ilmu falsafah dengan segala cabangnya. Dia di suruh
belajar kepada saudagar rempah-rempah untuk mempelajari ilmu hitung india.
c.
Ilmu politik
Tidak kurang
pentingnya untuk diketahui, bahwa ilmu politik sudah diperkenalkan kepada ibnu
sina pada umur mudanya. Ayahnya adalah tokoh terkemuka dari aliran
“isma’iliyah” dari partai syi’ah. Pada waktu itu pemimpin propogandis aliran
tersebut yang berpusat di mesir di bawah pimpinan Fathimiyah, sering kali
berkunjung dan berunding dengan ayahnya, untuk meluaska sayap partai itu ke
daerah bukhara. Ibnu sina selalu disuruh duduk mendengarkan segala uraian
politik mereka.
d. Ilmu kedokteran
Di dalam tingkat terakhir, Ibnu Sina tertarik kepada ilmu
kedokteran. Dia mempelajari ilmu itu sewaktu umurnya 16 tahun, dan dalam
waktu 18 bulan (1½ tahun) selesailah ilmu itu ia kuasainya. Sewaktu
berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana
pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi
perpustakaan yang penuh dengan buku-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya
dengan segala keasyikan.
E.
Karya-Karyanya
Diantara karangan - karangan Ibnu
Sina adalah :
1.
As- Syifa’ ( The Book of Recovery
or The Book of Remedy = Buku tentang Penemuan, atau Buku tentang Penyembuhan).
Buku ini dikenal didalam bahasa
Latin dengan nama Sanatio, atau Sufficienta. Seluruh buku ini terdiri atas 18
jilid, naskah selengkapnya sekarang ini tersimpan di Oxford University London.
Mulai ditulis pada usia 22 tahun (1022 M) dan berakhir pada tahun wafatnya
(1037 M). Isinya terbagi atas 4 bagian, yaitu :
Ø Logika (termasuk didalamnya terorika dan syair)
Ø Fisika (termasuk psichologi, pertanian, dan hewan)
Ø Matematika. Bagian matematika
Ø Metafisika. Bagian falsafah
2. Nafat, buku ini adalah ringkasan dari buku As-Syifa’.
3. Qanun, buku ini adalah buku lmu kedokteran, dijadikan buku pokok pada
Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas Lourain (Belgia).
4. Sadidiyya. Buku ilmu kedokteran.
5. Al-Musiqa. Buku tentang musik.
6. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
7. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
8. Danesh Nameh. Buku filsafat.
9. Uyun-ul Hikmah. Buku filsafat terdiri atas 10 jilid.
10. Mujiz, kabir wa Shaghir. Sebuah buku yang menerangkan tentang dasar -
dasar ilmu logika secara lengkap.
11. Hikmah el Masyriqiyyin. Falsafah Timur.
12. Al-Inshaf. Buku tentang Keadilan Sejati.
13. Al-Hudud. Berisikan istilah - istilah dan pengertian - pengertian yang
dipakai didalam ilmu filsafat.
14. Al-Isyarat wat Tanbiehat. Buku ini lebih banyak membicarakan dalil -
dalil dan peringatan - peringatan yang mengenai prinsip Ketuhanan dan
Keagamaan.
F. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1.
Filsafat Jiwa
Dalam segi fisika, ia
banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh
pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika terdapat kedalaman dan pembaharuan
yang menyebabkan dia mendekati pendapat - pendapat filosof modern.
Pengaruh Ibnu Sina dalam soal
kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke 10
Masehi sampai akhir abad ke 19 M, terutama pada Gundisallinus, Albert the
Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scot.[13]
Untukmembuktikan
adanya jiwa Ibn Sina mengajukan beberapa Argumen yakni:[14]
a. Argumen Psikofisik
Untuk pembuktian ini Ibn sina mengatakan bahwa gerak
dapat di bedakan kepada gerak terpaksa, yakni gerak yang didorong
unsur luar. Dan gerak tidak terpaksa . gerak yang tidak
terpaksa ada kalanya terjadi karena hukum alam, seperti jatuhnya batu dari atas
kebawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia berjalan di kulit
bumi ini.
b. Argumen “Aku” dan kesatuan fenomena psikologis.
Untuk membuktikan argumen ini, Ibn Sina membedakan aku
sebagai jiwa, dan badan sebagai alat. Ketika seseorang mengatakan aku akan
tidur, maksudnya bukan ia akan pergi ke tempat tidur atau memejamkan mata dan
tidak menggerakkan badan, tetapi adalah seluruh pribadi yang merupakan
aku. Aku menurut pandangan Ibn Sina adalah bukanlah fenomena fisik, tetapi
adalah jiwa dan kekuatannya.
c. Argumen kelangsungan (kontinuitas).
Menurut Ibn Sina hidup rohaniah kita hari ini berkaitan
dengan hidup kita yang kemarin tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi hidup
adalah berubah dalam satu untaian yang tidak putus-putus.
d. Argumen manusia terbang di udara
Dalil ini adalah berdasarkan atas perkiraan dan khayalan,
namun tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut
mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan
yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak
dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan
di udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur
sedemikian rupa sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun
ini semua terjadi namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu
ada, meskipun ia sukar dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya.
Bahkan ia boleh jadi tidak mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang
wujud yang digambarkannya adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau
panjang, lebar dan dalam (tiga dimensi). Kalau pada saat tersebut
ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan dan kakinya. Dengan demikian maka
penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari indera atau melalui badan
seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama sekali dengan badan
yaitu jiwa.
2.
Filsafat Wujud
Berkaitan dengan metafisika, Ibnu Sina juga membicarakan
sifat wujudiyah yang terpenting dan yang mempunyai
kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi sendiri. Esensi, dalam
faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal.
Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar
akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih
penting dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah
terlebih dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari
filosof - filosof lain.[15]
Kalau dikombinasikan,
esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a.
Esensi yang tak dapat mempunyai
wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu Sina yaitu sesuatu yang
mustahil berwujud (mamnu’ul wujud/impossible being). Contohnya, adanya sekarang ini juga kosmos lain di
samping kosmos yang ada.
b.
Esensi
yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa
ini disebut mumkinyaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi
mungkin pula tidak berwujud (mumkinul wujud/ contingent being).
Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya
akan hancur menjadi tidak ada.
c.
Esensi yang
tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak bisa dipisahkan dari
wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak dimulai oleh
tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan esensi dalam
kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya.
Yang serupa ini disebut mesti berwujud (waibul wujud/ necessary being) yaitu
Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dengan demikian, tuhan adalah unik dalam arti Dia adalah
Kemaujudan yang Mesti, segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan
keberadaan tuhan. Kemaujudan yang mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di
dalam kemaujudan ini tak boleh terdapat kelipata sifat-sifat Nya. Tetapi tuhan
mempunyai esensi lain, tak ada antribut antribut lain kecuali bahwa Dia itu
ada, dan mesti ada. Ini dinyataka Ibn Sina dengan mengatakan bahwa esensi tuhan
identik dengan keberadaan Nya yang mesti itu. Karena tuhan tidak berensensi
maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat di definisikan.
Ibn Sina adalah penganut faham emanasi Ia
berpendapat bahwa dari tuhan memancar akal pertama. Sekalipun tuhan terdahlu
dari segi zat, namun tuhan dan akal pertama adalah sama-sama azali. Selajutnya
ibn Sina berpendapat, berbeda dengan al farabi, bahwa akal pertama mempunyai
dua sifat: sifat wjib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin
wujudnya jika di tinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ia mempunyai tiga
objek pemikiran:
a.
Tuhan, Dari pemikiran tentang tuhan
timbul akal-akal
b.
Dirinya sebagai wajib wujudnya, Dari
pemikiran ini timbul jiwa-jiwa
c.
Dirinya
sebagai mungkin wujudnya, Dari pemikiran ini timbul langit-langit.
3. Falsafat Wahyu dan Nabi
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil,
akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad.[16]
Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal materiil.
Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi
kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya
yang ada pada akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui
latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat
menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci.
Inilah bentuk akal tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya
pada nabi – nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong
manusia untuk beramal dan menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan
intelektual dan ilham belaka. Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal
murni. Namun demikian, wahyu teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi
yang diperlukan, juga tak pelak lagi menderita karena dalam kenyataannya wahyu
tersebut tidak memberikan kebenaran yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam
selubung simbol – simbol. Namun sejauh mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali
kalau nabi dapat menyatakan wawasan moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan
prinsip – prinsip moral yang memadai, dan sebenarnya ke dalam suatu struktur
sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan wahyu imajinatifnya tak akan
banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi seorang pembuat hukum dan
seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah pembuat hukum dan negarawan
yang sebenarnya.
4. Tasawuf
Mengenai
tasawuf, menurut ibnu sina tidak dimulai dengan zuhud, beribah dan meninggalkan
keduniaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi sebelumnya. Ia
memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati.[17] Dengan kebersihan hati dan pancaran
akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari akal fa’al. Dalam pemahaman ibnu
sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan ma’rifahnya dan ukuran yang
dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak kepada ukuran
persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai
bersatunya tuhan dengan manusia atau bertempatnya tuhan di hati manusia tidak
diterima oleh ibnu sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada tuhannya,
tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak kebahagiaan itu tidak
tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan tuhan saja. Karena manusia
mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut. Pancaran dan sinar ini
tidak langsung keluar dari allah, tetapi melalui akal fa’al.
Berkaitan
dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa bersatunya makhluk dengan
penciptanya tidak dapat diterima akal sehat, karena hal ini mengharuskan
sesuatau menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama.
5. Hukum Sebab Musabab
Ibn Sina
menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan sebab ini. mutakallimun
berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat dari atau hasil dari
tuhan yang bertindak sebagai pencipta.[18] Pendapat ini
digunakan berbagai istilah dalam bahasa arab yang artinya sama dengan
penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan, pembawaankepada wujud dan lain –
lain. Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat rumah, rumah itu tidak ada,
kalau rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah tidak membutuhkan lagi wakil
atau sebab untuk ada. Penciptaan alam oleh tuhan berbeda dengan pembuatan
sebuah rumah oleh arsitek :
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil,
sedangkan alam selamanya perlu wakil. Sesudah dia diciptakan, ia butuh
terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah
itu. Dengan perkataan lain, sebab
mendahului perbuatan dalam segala perbuatan yang terjadi dalam alamTuhan adalah
sebab yang efisien dari alam, tidak perlu didahului oleh waktu. Dengan
kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan akibat, walaupun bagaimana sebab
itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina
mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata : “kehendak
adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan oleh kehendak
dan bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya adalah sama”.
Dalam bagian ini ibnu sina berkata : “teranglah, bahwa dalam setiap
makhluk terdapat suatu kehendak batin. Kehendak batin ini dengan kebutuhannya
menjadi sebab dari penciptanya. Setiap unsure ditemani kehendak batin yang
senantiasa kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian ini
menjadi bentuk filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak
gambaran tuhan sebagai wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari
pendiriannya tentang Tuhan Maha Mengatur.
6. Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu[19]
Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah
perwakilan dalam undang alam semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu
waktu tertentu”. Undang pelimpahan tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan
adalah dengan pelimpahan rasionil. Keterangan tersebut menyebabkan orang dapat
melihat bagaimana ibnu sina menguraikan tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai
baik dan buruk. Orang akan merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa antara
baik dan buruk, baiklah yang akan menang. Tuhan menghendaki baik oleh karena
itu ia menyempurnakan wujud-Nya. Makhluk adalah baik dan kesempurnaan makhluk
itu adalah terdapat dalam segala makhluk. Karena segala kebaikan dan kesempurnaan
datang dari tuhan. Sebab tuhan itu mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan
menjelma dalam setiap yang dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu
sebagai seorang perempuan yang tidak cantik yang memakai topeng sehingga dia
tampak cantik sekedar untuk menutupi ketidakcantikannya. Oleh karena itu,
perempuan tidak dapat terpisah dari topeng tersebut, topeng tersebut
memberi kecantikan padanya. Tuhan sebagai puncak makhluk, maka tuhan pula
merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Kita harus mengenal tuhan
sebagai wakil sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk yang mencoba
memperoleh kesempurnaan dan kebaikan.
Undang alam semesta adalah sebaik – baik undang makhluk,
dan dunia kita adalah sebaik – baik alam yang dapat difahamkan oleh otak
manusia. Selama dunia ini tersusun dari kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini
terjadi dari benda bentuk, potensi dan hakikat, kejahatan selamanya aka nada,
kejahatan lebih sedikit daripada kebaikan dan kejahatan itu bersifat negative
dan kebaikan itu bersifat positif. Kejahatan timbul dari makhluk sendiri.
Pengetahuan
manusia terbatas, dia tidak dapat mengerti hikmah yang berada dalam kejahatan
tuhan tidak melihat kepada sesuatu pendirian kita yang terbatas, akan tetapi
tuhan memandang secara keseluruhannya terletak dalam aturan hirarki yang turun
dari tuhan. Untuk membuktikan bahwa tuhan maha mengetahui, ibnu sina pernah
menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan, yaitu :
a.
Tentang pendirian filsafat
aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan berada diluar alam.
b.
Tesis Alqur’an
yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala yang tidak terlihat.
Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih besar di langit dan
di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang – terangnya bukti” (Surat
34/4)
c.
Tentang
pendapat Plato dan Neoplatenis, yang mengatakan bahwa tuhan adalah prinsip
pertama, Yang Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh pengetahuan
, sebab dengan meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai sifat yang
rangkap yaitu tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat
ibnu sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya sendiri, dia tahu
bahwa Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu yang keluar
daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang
kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu
berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
7. Pandangan Tentang Akal
Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang
terdapat dalam jiwa. Ada dua macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif.[20]
Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk mencari kebenaran
disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang
mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga
terkenal dengan rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini
kedalam bentuk.
[1]
H.A. Mustofa, Filsafat
Islam, (Bandung: CV.Pustaka Setia,1997), hlm166
[2]
Hasyimsyah
Nasution, Filsafat Islam, ( Jakarta Timur: Gaya Media Pratama, 1999),
hlm 57
[3]
H.A. Mustofa, op.
cit, hlm 167-169
[4]
Hasyimsyah Nasution, op.cit ,hlm 57-58
[7]Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak
pemikiran Tokoh Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm.
75-76.
[9] H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu
Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang), 1949,
hal. 49
[12] Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah
Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama Semarang), 1993, hal. 37 - 39
EmoticonEmoticon